Liputan6.com, Jakarta Saat ini, Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Kementerian Sosial, sedang melakukan pemeriksaan dan rehabilitasi terhadap 52 anak yang diduga terlibat aksi 22 Mei 2019. Anak-anak datang ke BRSAMPK pada Sabtu, 25 Mei 2019 pagi dengan empat kloter secara bertahap.
Tiga kloter dikirim oleh Polda Metro Jaya dengan jumlah 27 anak. Lalu sisanya sebanyak 25 anak dikirim dari Polres Metro Jakarta Barat.
Advertisement
Baca Juga
Kondisi anak yang terlibat kerusuhan aksi 22 Mei saat pertama kali datang tampak mereka kelelahan secara fisik. Ada juga anak yang merasa menyesal dan trauma. Apalagi mereka menghadapi situasi yang mencekam lalu ditangkap aparat keamanan.
"Yang pasti kan anak-anak itu menghadapi situasi mencekam dan perasaan ketakutan. Bahkan ada anak yang menangis. Seperti tadi pagi, Senin, 27 Mei 2019, mereka menangis tersedu-sedu dan menyesal atas apa yang telah diperbuat," ungkap Kepala BRSAMPK Kemensos Neneng Heryani saat diwawancarai khusus Health Liputan6.com di di Kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jakarta, ditulis Selasa (28/5/2019).
Saksikan video menarik berikut ini:
Terlihat lebih fit
Dalam kondisi itu, anak perlu ditanamkan ilmu dan pengetahuan bahwa perbuatan mereka itu salah. Ada juga anak yang meminta Lebaran kali ini pulang ke rumah.
"Ya, walaupun anak juga minta pulang ke rumah buat merayakan Lebaran. Saya sedang berusaha membangun kepercayaan dengan orangtua agar orangtua tetap bisa bekerjasama dengan kami dan Polda. Bahwa informasi dari anak-anak itu terus digali lagi lebih dalam," jelas Neneng. "Apakah anak-anak itu benar-benar terlibat secara langsung atau ada yang menyuruhnya."
Walaupun anak-anak menangis menyesali perbuatannya, kondisi mereka sekarang jauh lebih baik dibanding saat pertama kali datang ke balai rehabilitasi. Mereka terlihat sudah fit. Dalam pemeriksaan, anak-anak juga istirahat.
"Mereka capek dan lelah. Tidak bisa dipaksa utnuk menyampaikan informasi," tutup Neneng.
Advertisement
Orangtua tidak tahu
Dari pengakuan orangtua yang mendatangi BRSAMPK, mereka tidak tahu bahwa sang anak ikut dalam suasana kerusuhan aksi 22 Mei 2019. Aksi yang berlanjut hingga 23 Mei itu membuat sebagian besar anak tidak pulang ke rumah.
Mereka pun sempat hilang keberadaanya hingga orangtua berupaya mencari sang anak. Ada yang mencari anaknya dengan bertanya ke teman-teman si anak dan menyebarluaskan pencarian lewat media sosial maupun WhatsApp Grup.
"Saya sempat mengumpulkan orangtua juga. Kebanyakan mereka tidak tahu anaknya ikut aksi 22 Mei. Padahal, mereka kehilangan anak sudah dua hari, apakah tidak was-was atau bagaimana. Ada juga orangtua yang memang mencari anaknya," tutur Neneng.
Yang lebih menyedihkan, ada orangtua yang punya anak kembar. Kedua anak itu sudah dua hari tidak pulang ke rumah saat aksi 22 Mei.
"Saya bilang ke orangtua tersebut, 'Bapak kok tidak mencari anaknya yang hilang. Tidak was-was atau bagaimana. Sampai akhirnya (mungkin tidak mencari anaknya) kalau tidak ditelepon pekerja sosial Kemensos untuk mengecek keberadaan anaknya di sini," tambah Neneng.
Pengawasan orangtua
Ketika mendengar ada orangtua yang tidak mencari anak mereka saat aksi 22 Mei, Neneng memberikan parenting skill (kemampuan mengasuh anak).
"Saya memberikan pemahaman, kita tidak bisa memungkiri ini soal pandangan yang bisa mencelakakan diri dalam hal politik. Anak hanya mendengar bahwa 'pandangan ini' yang benar. Padahal, pandangan yang diyakini anak bisa saja keliru," Neneng melanjutkan.
Oleh karena itu, Neneng menyarankan, anak harus didampingi orangtua saat menonton dan melihat suatu kasus kejadian. Pandangan yang ditangkap dan diyakin anak juga harus diarahkan.
"Tapi ya mungkin orangtua dari beberapa anak ini sibuk bekerja. Yang terjadi adalah anak bergaul dengan teman yang kebetulan terlibat dalam hal-hal ini (aksi 22 Mei). Demi tahu informasi lebih lanjut, kami masih perlu pendalaman khusus. Karena kita tidak boleh menjustifikasi anak," tegas Neneng.
Advertisement