Pemanfaatan Dana Jaminan Sosial Akan Berimbas pada BPJS Kesehatan

Integritas BPJS Kesehatan bisa tercoreng bila surplus Dana Jaminan Sosial (DJS) untuk bayar selisih kenaikan iuran kelas III diterapkan.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 20 Jan 2020, 15:54 WIB
Diterbitkan 20 Jan 2020, 15:54 WIB
BPJS Kesehatan
Ada 6 rumah sakit yang belum berkomitmen menerapkan verifikasi digital klaim (Vedika) BPJS Kesehatan. (Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Liputan6.com, Jakarta Citra BPJS Kesehatan bisa tercoreng bila surplus Dana Jaminan Sosial (DJS) diterapkan. Dalam hal ini, demi membayar selisih kenaikan iuran peserta mandiri kelas III sebesar Rp16.500 (total naik Rp42.000--peserta tetap membayar Rp25.500).

Hal ini terkait pemanfaatan surplus DJS yang merupakan solusi alternatif hasil Rapat Komisi IX DPR RI pada 12 Desember lalu. 

"Soal pengalihan DJS untuk bayar selisih kenaikan iuran kelas III tidak diatur di dalam UU Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), UU BPJS, dan PP 87 Tahun 2013. Jika nekat diterapkan, maka BPJS Kesehatan dianggap melanggar peraturan," jelas Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Oce Madril pada temu media di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ditulis Jumat (17/1/2020).

Menurutnya, integritas BPJS Kesehatan sebagai lembaga dana publik menurun dan dipertanyakan. "Setahun-dua tahun diaudit bisa jadi pelanggaran ini jadi temuan. Ini akan mencoreng kewibawaan dan integritas BPJS Kesehatan."

Simak Video Menarik Berikut Ini:

Pengaruhi Relasi

BPJS Kesehatan
Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto bersama BPJS Kesehatan dan DJSN rapat Komisi IX DPR RI soal iuran BPJS Kesehatan dan pengadaan alat kesehatan di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta pada Kamis (12/12/2019). (Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Lantas bagaimana bila rekomendasi pemanfaatan surplus dana jaminan sosial ini tidak diterapkan untuk menutupi selisih kenaikan iuran BPJS peserta mandiri kelas III ? 

Pakar hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono menegaskan, jika tidak diterapkan akan memengaruhi relasi. Hal ini dilihat berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU BPJS Kesehatan adalah badan hukum publik dan pasal 7 ayat 2, BPJS Kesehatan bertanggung jawab terhadap presiden. 

"Dari sisi presidensial, rekomendasi surplus DJS punya relasi kepada DPR dan presiden, bukan relasi DPR dengan BPJS Kesehatan. Ketika BPJS Kesehatan melaksanakan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang penyesuaian kenaikan iuran, itu bentuk pertanggungjawaban BPJS kepada Presiden," Bayu menerangkan.

Perpres Nomor 75 Tahun 2019 sudah jelas, tetapi rekomendasi rapat Komisi IX DPR yang mempunyai rekomendasi lain ternyata tidak sesuai UU Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), UU BPJS, dan PP 87 Tahun 2013.

"Bagaimana posisi rekomendasi tersebut? Menurut saya, rekomendasinya gugur. Karena tidak sesuai ketentuan peraturan. Namun, kalau akhirnya DPR RI tidak puas dengan keterangan BPJS, maka (keputusan) kembali kepada presiden. BPJS bertanggung jawab kepada presiden," lanjut Bayu.

Undang-undang Harus Diubah

BPJS Kesehatan
Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto bersama BPJS Kesehatan dan DJSN rapat Komisi IX DPR RI soal iuran BPJS Kesehatan dan pengadaan alat kesehatan di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta pada Kamis (12/12/2019). (Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Oce menegaskan, rekomendasi pemanfaatan surplus untuk membayar selisih kenaikan iuran kelas III bisa saja diterapkan dengan catatan: undang-undang harus diubah (UU Dewan Jaminan Sosial Nasional, UU BPJS, dan PP 87 Tahun 2013).

"Semestinya rekomendasi ditujukan kepada pemerintah (kementerian/lembaga) karena BPJS Kesehatan sebagai operator. Tidak mungkin disuruh menyiapkan undang-undang yang baru," jelasnya.

"Pemanfaatan surplus tidak mungkin dilakukan, kalau UU-nya tidak diubah. Seharusnya pahami regulasi, baru keluarkan rekomendasi."  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya