Perlukah Gunakan Big Data untuk Cegah Covid-19 Menyebar Luas?

Tak bisa dipungkiri, keberhasilan China dalam membasmi wabah virus corona tak lepas dari sistem surveillance canggih yang dimilikinya.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 03 Apr 2020, 13:00 WIB
Diterbitkan 03 Apr 2020, 13:00 WIB
Ilustrasi Robot dengan Big Data
Ilustrasi Robot (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta Tak bisa dipungkiri, keberhasilan China dalam membasmi wabah virus corona tak lepas dari sistem surveillance canggih yang dimilikinya.

Terutama penggunaan Artificial Intelligence (AI), China telah menerapkan robot pengantar makanan di rumah sakit, sehingga mengurangi kontak petugas dengan pasien.

Lalu, ada kamera pendeteksi wajah yang bisa mengukur suhu tubuh di beberapa tempat seperti bandara dan stasiun, sehingga orang yang terdeteksi demam akan segera diungsikan di ruang isolasi yang telah disediakan di bandara dan stasiun. Juga ada drone yang berpatroli mengelilingi semua tempat dan menggiring orang yang masih berkeliaran di luar rumah, mengutip BBC.

Terlihat dalam video yang telah viral sebelumnya, sebuah drone terus mengikuti seorang nenek yang sedang berjalan di luar rumah sambil drone tersebut tak hentinya mengatakan, "Anda tak bisa dibujuk oleh kami semua, maka terpaksa kami mengirim drone."

Namun, kecanggihan alat yang dimilikinya ini juga membawa kontroversi. Itu karena mereka menggunakan Big Data untuk mendeteksi setiap aktivitas warganya. Artinya data pribadi Anda terbuka lebar dan bisa diketahui orang yang bersangkutan setiap tertangkap alat tersebut. Walaupun, sistem surveilans ini rupanya efektif saat pandemi.

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Korea Selatan juga gunakan Big Data

Big Data
Ilustrasi Big Data (iStockphoto)

Akibat terbukanya segala data dan infomasi tersebut, China sempat menerima berbagai kritikan dari berbagai dunia. Namun kini, saat sejumlah belahan dunia lain terkena imbas corona, banyak negara yang mulai melirik model surveillance ini sebagai jawabannya.

Di Korea Selatan misalnya, mereka menggunakan ponsel untuk mendeteksi lokasi Anda dan mereka akan mengirim peringatan darurat jika Anda sedang berada di dekat pasien Covid-19.

Metode ini juga sudah digunakan oleh berbagai negara alainnya, seperti Singapura, Israel, Iran, Taiwan, dan Rusia. Mereka semua memanfaatkan big data.

Di area lockdown, data lokasi ponsel juga digunakan untuk memonitor pergerakan dan memberlakukan jam malam.

Jika pasien harusnya dikarantina, akan muncul pemberitahuan di ponsel mereka dan memberitahu orang sekitarnya saat ia berkeliaran di luar rumah. Data lokasi ponsel juga digunakan untuk mengetahui keberadaan Anda dan Anda sudah pergi kemana saja dalam 2 minggu terakhir.

Dengan kombinasi manusia dan analisis komputerisasi otomatis inilah, pemerintah atau lembaga bisa secara efektif mendeteksi siapapun. Jika pasien bepergian ke lokasi yang ramai, sebuah pesan akan masuk memperingatkan mereka yang berisiko tinggi.

Setiap orang dibuat QR code yang berbeda-beda tergantung risiko yang mereka lalui. Misalnya, warna hijau artinya Anda tidak berisiko, warna kuning artinya Anda berpotensi karena pernah kontak dengan virus, warna merah artinya Anda positif dan bisa menularkan ke orang lain.

Namun penggunaan Big Data ini juga sangat berisiko. Adam Scwartz, pengacara senior di Electronis Frontier Foundation, mengatakan kepada BBC, kekuasaan kepemilikan data oleh pemerintah di setiap negara akan terus bertahan bahkan setelah 19 tahun lamanya, sebagaimana yang pernah dialami para warga Amerika Serikat.

Ia menyarankan untuk setiap negara,bahwa sebelum menggunakan sistem surveilans masal ini, sebaiknya pemerintah dan tenaga kesehatan masyarakat maju lebih dulu untuk memastikan teknologi ini benar-benar bisa membantu krisis saat ini. Keseimbangan antara keamanan dan privasi sudah menjadi masalah sejak lama bagi pemerintah dan publik.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya