Liputan6.com, Jakarta Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan kebijakan isolasi mandiri di rumah bisa membahayakan anggota keluarga lain di rumah tersebut. Tidak setiap rumah layak untuk melakukan isolasi mandiri pada pasien COVID-19 tanpa gejala atau gejala ringan.
"Menurut saya kebijakan ini tidak menggunakan nalar yang baik. Tidak setiap rumah, tidak setiap keluarga bisa melakukan isolasi mandiri di rumah. Jadi, harus dicek rumahnya seperti apa," kata Pandu dalam Diskusi Urgensi Penanganan Permukiman Padat Penduduk Menghadapi Pandemi Covid-19 pada Kamis (9/7/2020).
Baca Juga
Pandu menyorot mengenai sosial budaya di Indonesia di mana di dalam satu rumah terdapat banyak anggota keluarga. Mulai dari kakek, nenek, anak, menantu, dan cucu. Kemungkinan orang yang melakukan isolasi mandiri melakukan kontak dengan anggota rumah yang lain tetap ada.
Advertisement
Sudah banyak kasus ketika ada satu orang yang terinfeksi kemudian menularkan ke anggota lain di rumah. Bahkan, katanya, cucu yang ada di rumah itu juga terinfeksi.
"Jadi, kalau ada yang terinfeksi jangan isolasi di rumah. Harus ada tempat tertentu yang sdah disiapkan untuk isolasi mandiri," kata Pandu.
Saksikan juga video berikut ini:
Sulit Terapkan 3M di Pemukiman Padat Penduduk
Khusus untuk pemukiman padat penduduk, ketika seseorang yang terinfeksi COVID-19 menjalani isolasi mandiri di rumah, menurut Pandu maka bukan hanya keluarga saja yang berisiko terinfeksi, tetangga juga.
Di pemukiman padat penduduk seperti di kawasan kumuh yang dalam satu rumah dengan lahan sempit diisi oleh banyak orang amat sulit melakukan 3M (menjaga jarak, mencuci tangan, menggunakan masker).
"Hampir tidak mungkin menjaga jarak, tidak mungkin mencuci tangan karena akses air terbatas, pakai masker? Siapa yang menyediakan? Mereka ini kan juga kelompok miskin," katanya.
Padahal virus SARS-COV-2 menular dari orang ke orang sangat dipengaruhi dengan kontak dengan orang lain. Di pemukiman padat penghuni kemungkinan kontak antarpenghuni sangat tinggi.
Advertisement