Liputan6.com, Jakarta Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyampaikan, peran LIPI dalam hal penemuan dan kajian ilmu pengetahuan terkait Corona COVID-19 terus dilakukan. Para peneliti LIPI bekerja keras memberikan sumbangsih, baik saran kebijakan dan temuan lain kepada pemerintah dan masyarakat.
"Kami, peneliti, berpikir keras apa yang bisa disampaikan kepada publik, masyarakat khususnya juga untuk disumbangkan kepada Pemerintah sebagai masukan atas kebijakan. Nantinya berkaitan dengan penanganan COVID-19," ujar Siti dalam webinar Transformasi LIPI di 53 Tahun, Rabu (19/8/2020).
"Dampak COVID-19 ini ternyata luar biasa terhadap masalah sosial kemasyarakatan. Bagaimana sosial ekonomi tersentuh dengan sangat luar biasa. Dampak positif dan negatif juga."
Advertisement
Melihat situasi pandemi COVID-19, lanjut Siti, para peneliti LIPI berupaya menuliskan berbagai temuan dan survei terkait apa yang tengah terjadi.
"Ada (peneliti LIPI) yang sampai turun langsung ke lapangan. Untuk melihat bagaimana dampak-dampak pandemi COVID-19 terhadap ketahanan sosial kemasyarakatan," lanjutnya.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Produk Riset Terkait COVID-19
Melalui riset, peneliti LIPI memberikan dukungan terhadap kinerja para tenaga kesehatan dalam menanggulangi dampak pandemi COVID-19.
"Contohnya, kami sudah ada riset produk alat terapi oksigen beraliran tinggi. Hal itu diciptakan untuk membantu meringankan gejala gangguan pernapasan pasien, ketimbang memasang ventilator mekanik," terang Siti.
"Jadi, ini sangat mulia temuan-temuan hasil riset. Tentu kita sangat konsen (fokus) dengan dampak-dampak dari virus Corona. Temuan sebelumnya ada nanoteknologi (masker berteknologi nano). Saya mengapresiasi luar biasa temuan itu.
Masker berteknologi nano (nanomasker) bertujuan mencegah penularan COVID-19. Nanomasker menggunakan bahan-bahan berukuran nano.
Bahan masker menggunakan bahan bahan berukuran mikro. Kinerjanya menjadi lebih baik dibandingkan dengan masker konvensional. Salah satu keunggulannya adalah sirkulasi udara jadi lebih baik karena pengaruh slip flow dari bahan nano yang digunakan.
Advertisement
Immunomodulator dari Tanaman Herbal
Riset terbaru LIPI terkait COVID-19, yakni imunomodulator yang berasal dari tanaman herbal asli Indonesia. Pada 16 Agustus 2020, uji klinis kandidat imunomodulator yang berasal dari tanaman herbal asli Indonesia untuk pasien Covid-19 di Wisma Atlet telah selesai.
Dua produk yang diuji klinis adalah Cordyceps militaris dan kombinasi ekstrak herbal yang terdiri dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale var Rubrum), daun meniran (Phyllanthus niruri), sambiloto (Andrographis paniculata), dan daun sembung (Blumea balsamifera).
Saat ini, data uji klinis tengah diverifikasi untuk memastikan hasilnya akurat. Kemudian dikirimkan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selaku regulator.
“Uji klinis imunomodulator dengan bahan asli dari keanekaragaman hayati Indonesia merupakan yang pertama yang dilakukan secara independen serta melibatkan banyak pihak. Demi memastikan obyektifitas dan akurasinya terjaga,” jelas Kepala LIPI Laksana Tri Handoko di Jakarta, Senin (17/8/2020).
Jika dua produk imunomodulator itu terbukti dan dinyatakan BPOM berkhasiat berdasarkan analisis terhadap data hasil uji klinis dan penelitian, maka itu bisa menjadi fitofarmaka.
“Jika menjadi fitofarmaka, maka produk imunomodulator dapat diproduksi massal dan diresepkan oleh dokter untuk dipakai dalam penanganan pasien. Tentunya, dengan harga relatif jauh lebih murah karena formula dan bahan baku lokal," lanjut Handoko sebagaimana keterangan resmi LIPI.
Melihat Perbaikan Gejala Klinis
Koordinator Kegiatan Uji Klinis Kandidat Imunomodulator Herbal untuk Penanganan COVID-19, Masteria Yunovilsa Putra dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI menjelaskan, hasil uji klinis akan disampaikan berdasarkan hasil analisa BPOM terhadap hasil uji klinis yang diberikan tim tersebut.
"Kami tidak akan menyatakan klaim khasiat sebelum ada hasil resmi dari BPOM," ujarnya.
Uji klinis melibatkan 90 subjek penelitian dengan rentang usia 18 hingga 50 tahun yang diberikan intervensi selama 14 hari. Kriteria subyek penelitian adalah pasien positif COVID-19 baru yang telah dikonfirmasi melalui Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dan memiliki gejala pneumonia ringan.
“Subjek juga tidak hamil atau menderita penyakit lain, seperti DBD, demam tipus, gangguan jantung, gangguan ginjal, maupun memiliki alergi terhadap produk yang diujikan,” terang Masteria.
Terdapat dua produk uji dan satu plasebo yang diberikan secara acak dan merata kepada 90 subjek uji yang dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok perlakuan pertama mendapat terapi standar COVID-19 dan Investigational Product 1 (kombinasi herbal).
Kelompok perlakuan kedua mendapat terapi standar COVID-19 dan Investigational Product 2 (Cordyceps), dan kelompok kontrol mendapat terapi standar COVID-19 dan plasebo.
Tujuan utama dari uji klinis untuk melihat, apakah waktu yang diperlukan untuk mencapai perbaikan gejala klinis non-spesifik menjadi lebih pendek durasinya.
“Uji klinis juga ditujukan untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai hasil RT-PCR negatif, setelah adanya perbaikan gejala klinis,” tutup Masteria.
Advertisement