Dekan FKUI: Lockdown Bantu Tenaga Kesehatan 'Bernapas' tapi Bukan Kebijakan Jangka Panjang

Dekan FKUI menilai kebijakan lockdown memang dibutuhkan untuk memberikan "napas" bagi layanan kesehatan, namun hal itu tak bisa diterapkan terlalu lama

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 12 Okt 2020, 17:00 WIB
Diterbitkan 12 Okt 2020, 17:00 WIB
Hari Pertama Kerja di Kantor saat PSBB Transisi
Pegawai memasuki gedung Balai Kota DKI pada hari pertama kerja di tengah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masa transisi di Jakarta, Senin (8/6/2020). PNS di lingkungan Pemprov DKI kembali mulai bekerja di kantor dengan sistem shifting. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Pakar World Health Organization (WHO) baru-baru ini merekomendasikan ke negara-negara untuk mengandalkan lockdown atau karantina wilayah sebagai cara utama untuk mengatasi penyebaran COVID-19.

"Kami di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak menganjurkan penguncian (lockdown) sebagai cara utama pengendalian virus ini," kata David Nabarro, Utusan Khusus WHO seperti dikutip dari Global Liputan6.com.

Nabarro beralasan, lockdown hanya memiliki satu konsekuensi yaitu membuat mereka yang miskin menjadi lebih miskin.

Terkait hal ini, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga praktisi kesehatan Ari Fahrial Syam mengatakan bahwa lockdown atau karantina wilayah yang berkepanjangan memang sebaiknya dihindari karena juga menyangkut hal lain seperti ekonomi.

"Lockdown itu masih ada tempatnya kasih napas, seperti kemarin PSBB diperketat itu kan sebenarnya memberikan napas petugas kesehatan untuk mengatur diri, mempersiapkan diri lagi," ujarnya saat dihubungi oleh Health Liputan6.com pada Senin (12/10/2020).

 

Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini

Pelonggaran Harus Tetap Disertai Penerapan 3M

Jakarta Kembali Berlakukan PSBB Transisi
Aktivitas warga saat menikmati sore di Jalan Jenderal Soedirman, Jakarta, Minggu (11/10/2020). Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kembali memberlakukan PSBB Transisi selama dua pekan ke depan mulai 12-25 Oktober 2020. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Ari menyebutkan bahwa lockdown mampu mengurangi pergerakan masyarakat yang juga menurunkan jumlah kasus. Namun, metode ini bukan cara yang tepat untuk dilakukan jangka panjang.

"Tapi tetap pada waktu-waktu tertentu, lockdown itu tetap dibutuhkan. Karena untuk memberikan kesempatan kepada fasilitas kesehatan mempersiapkan diri dan lain-lain."

Untuk masyarakat, Ari mengatakan bahwa pernyataan tersebut harus dimaknai bahwa seseorang boleh beraktivitas tetapi dengan protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.

Sayangnya, masih banyak orang yang mengartikan suatu pelonggaran pembatasan berarti mereka bebas melakukan apa saja, salah satunya adalah pemberlakuan kembali PSBB transisi di DKI Jakarta. 

"PSBB transisi ini tetap harus warning. Apabila naik lagi, ya kita mesti rem lagi. Karena harus dikasih kesempatan untuk petugas kesehatan untuk menurunkan dulu. Prinsipnya itu tetap harus 3M harus dijaga."

Ari menambahkan, yang tak kalah penting juga adalah pemeriksaan usap (swab) secara masif haruslah dilakukan. "Kalau tidak diikuti dengan itu ya susah, karena virus itu masih ada di tengah-tengah kita." 

Ari menilai, apabila dibandingkan dengan negara yang sudah melakukan lockdown total sejak awal pandemi, Indonesia sudah terlambat apabila ingin melakukan karantina wilayah. "Jadi ya itu tadi, rem-gas, rem-gas saja."

 

Infografis Transportasi Publik Jakarta saat PSBB Transisi

Infografis Transportasi Publik Jakarta saat PSBB Transisi. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Transportasi Publik Jakarta saat PSBB Transisi. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya