Liputan6.com, Jakarta Pengendalian COVID-19 di Jerman menarik perhatian media karena total kasus infeksi positif maupun meninggal di Jerman relatif kecil dibanding negara Eropa lain.
Trik yang mereka terapkan rupanya cukup simpel namun efektif (selain yang sering dikutip: teknologi yang efektif, seperti pelacakan kontak, memperbanyak kapasitas tempat tidur di ICU, dsb.). Berikut empat kunci penting yang dilakukan Jerman untuk menekan COVID-19, dilansir dari Vox.
Baca Juga
1. Kecepatan tes COVID-19 di awal kasus
Advertisement
Menurut seorang dokter pengobatan tropis di Universitas Munich, Gunter Froschl yang memimpin unit pengujian COVID-19 yang beroperasi paling lama di Jerman, ia memeriksa empat dari lima pasien virus Corona pertama pada akhir Januari.
Pada saat itu, pasangannya yang merupakan dokter spesialis penyakit menular, kebetulan bekerja di Brescia, Italia-- titik nol wabah COVID-19 paling mematikan di Eropa. Keduanya berbicara di telepon setiap hari untuk membandingkan catatan.
Froschl menyimpulkan bahwa satu-satunya alasan jalur kedua negara sangat berbeda pada awal pandemi adalah sesuatu yang tidak dapat dikontrol oleh kedua negara.
“Kami sangat beruntung di Jerman,” kata Froschl.
Kasus COVID-19 pertama yang diketahui di Jerman berasal dari sebuah perusahaan suku cadang mobil di area Munich bernama Webasto. Di sana, seorang karyawan dari China yang dites positif terkena virus setelah kembali ke rumah, menginfeksi beberapa orang lainnya selama kunjungan ke Munich.
Ketika karyawan tersebut memberi tahu rekan-rekan Jermannya tentang hasil tes positifnya, perusahaan langsung memberi tahu stafnya, termasuk seorang karyawan yang tidak memiliki gejala serius.
“Pasien datang kepada kami dan berkata, 'Saya menderita flu biasa selama beberapa hari. Saya merasa baik-baik saja, tetapi kami memiliki seorang kolega China yang datang mengunjungi kami yang dinyatakan positif," kenang Froschl.
Fakta bahwa pasien ini melapor berarti pejabat kesehatan masyarakat dapat mengidentifikasi, melacak, dan mengisolasi kasus lain, dan alih-alih wabah besar dan diam-diam di awal pandemi, otoritas kesehatan menghentikan penyebaran virus lebih jauh pada saat itu.
Ada elemen keberuntungan lain yang terlibat: The Bundeswehr Institute of Microbiology di Munich adalah rumah bagi laboratorium biosafety level 3 (jenis laboratorium yang menangani virus yang sangat menular dan mematikan yang dapat menyebar, seperti SARS-CoV-2).
Ketika China merilis urutan genetik dari virus corona baru pada Januari, rekan Froschl di institut tersebut sudah bersiap-siap dengan tes PCR virus corona. Itu berarti tes itu tersedia di Munich ketika pasien pertama muncul di sana, dan Froschl dapat menggunakannya untuk mendiagnosis kasus pertama dengan cepat.
“Itu adalah keberuntungan. Bukan karena kami begitu pintar."
Bukan hanya Munich yang menyiapkan tes. Di Berlin, para ilmuwan membuat alat tes yang digunakan World Health Organization (WHO) dan banyak negara akhirnya menggunakan bahkan sebelum China merilis urutan virus.
Froschl menunjukkan bahwa jika pasien pertama itu muncul di bagian negara yang kurang siap, hasilnya mungkin berbeda, mungkin mirip situasi di Italia, tempat kasus-kasus tidak terdeteksi selama berminggu-minggu dan kemudian membebani sistem kesehatan. “Saya selalu menekankan, kami hanya beruntung.”
Simak Juga Video Berikut Ini:
2. Belajar dari pengalaman negara lain
Selain karena keberuntungan, Jerman belajar dan bertindak cepat berdasarkan pengetahuan baru. Ini yang diklaim menjadi salah satu faktor keberhasilan pengelolaan COVID-19.
Setelah cluster Webasto terkendali, Froschl dan rekan-rekannya mulai bekerja menerapkan apa yang mereka pelajari dari pengalaman, yaitu menetapkan protokol untuk mendiagnosis, mengisolasi, dan merawat pasien COVID-19 dengan aman.
Pada akhir Februari, saat para pelancong mulai kembali dari Austria, Italia, dan negara-negara lain dengan wabah, mereka sudah siap. Wabah Webasto memberi para dokter dan pejabat kesehatan masyarakat pengalaman yang sangat berharga dalam menangani virus.
“Semuanya ada di tempatnya,” kata Froschl. "Kami memiliki pengalaman bagaimana memperlakukan orang dan tetap tenang."
Ada juga pembelajaran dari negara lain. “Kami mencoba mengambil strategi Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan, semua contoh bagus tentang bagaimana tanggapan yang cepat dan cepat dapat mengurangi jumlah kasus positif,” kata Nicolai Savaskan, kepala petugas medis dari departemen kesehatan setempat di Berlin.
Salah satu respons cepat yaitu berupa program pengujian massal. Jerman yang juga lebih cepat mengeluarkan kebijakan lockdown di awal pandemi, serta kemudian berulang kali menyesuaikan program untuk menanggapi perubahan dalam dinamika epidemi.
Untuk mengantisipasi peningkatan kasus setelah pergantian musim, Jerman telah siap meningkatkan pasokan laboratorium di seluruh negeri. Hal ini terlihat dari metriks hasil tes yang positif di negara ini.
"Tentu ada pasang-surut COVID-19 di Jerman, namun perbedaannya adalah mereka berhasil meningkatkan pengujian," kata Edouard Mathieu, manajer data proyek Our World in Data Universitas Oxford yang berbasis di Paris.
Dari Mei hingga saat ini, kata dia, Jerman melakukan sekitar 60.000 tes per hari menjadi 160.000. Bahkan sekarang, Jerman kembali mengadaptasi pengujiannya dengan menambahkan strategi pengujian antigen baru yang cepat yang akan diluncurkan minggu ini untuk mencegah kasus meningkat saat memasuki musim dingin, menurut laporan Wall Street Journal.
“Mereka menguji lebih banyak orang setiap kali mereka menemukan kasus, yang berarti mereka tidak kehilangan kontak dengan epidemi,” kata Mathieu.
"Itu juga berarti mereka tidak menyia-nyiakan lockdown: Mereka menggunakannya untuk membangun sistem yang kuat yang kemungkinan akan membantu mereka mengontrol peningkatan saat ini juga," ujarnya.
Advertisement
3. Kekuatan masyarakat lokal
Jerman merupakan negara federal yang terdiri dari 16 negara bagian dengan sekitar 400 departemen kesehatan kota. Populasi inilah yang dimanfaatkan Jerman dalam merespons virus Corona lokal.
Terkadang hal ini menyebabkan serangkaian kebijakan yang membingungkan. Untungnya, pemerintah kota dapat bertindak cepat dan menyesuaikan kebijakan pandemi dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi penduduk lokal di 16 negara bagian federal dengan lebih dari 400 kabupaten.
Dan ini mungkin alasan lain untuk kesuksesan Jerman dibandingkan dengan tetangga dengan sistem yang lebih terpusat seperti Prancis, Spanyol, dan Inggris.
“Pendekatan desentralisasi untuk mengelola pandemi mungkin merupakan cara yang baik untuk menghadapi situasi yang berubah dengan cepat,” kata Savaskan dari Berlin.
Dia menjelaskan bahwa otoritas kesehatan lokal harus melaporkan kasus ke badan kesehatan masyarakat nasional Jerman, Robert Koch Institute (RKI), mereka masing-masing dapat menyesuaikan respons pandemi untuk memenuhi kebutuhan lokal di wilayah mereka dan bereaksi dengan cepat setiap kali masalah muncul.
Jadi, misalnya, RKI merekomendasikan karantina 14 hari setelah kontak dengan orang yang terinfeksi, di Berlin bisa lebih cepat dengan karantina tujuh hari.
“Kita bisa menyesuaikan apa yang direkomendasikan oleh RKI dan kemudian menerapkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” kata Savaskan.
Demikian pula, pada awal pandemi--sekitar bulan Maret, Berlin memutuskan untuk menutup bar, ruang dansa, dan klub malam sebelum daerah lain, karena mereka adalah sumber penularan lokal. Ketika mereka dibuka kembali pada bulan Juni, otoritas kesehatan kota terus berhubungan dengan industri untuk mendorong mereka bekerja sama dalam pelacakan kontak.
"Kami memiliki tingkat pelacakan kontak lebih tinggi dari 90 persen," kata Savaskan, yang berarti hampir semua kontak dari orang yang terinfeksi diidentifikasi dan ditindaklanjuti.
Di akhir September, Savaskan mengunjungi menteri kesehatan di Berlin. Wabah di bar dan klub malam sedang meningkat lagi, dan politisi ingin melibatkan departemen kesehatan setempat tentang cara mengendalikan situasi. Pada 10 Oktober, jam malam tengah malam untuk bar dan klub mulai berlaku.
Sejauh ini yang membuat Jerman unggul, menurut Savaskan yaitu bahwa warga setempat mempercayai departemen kesehatan mereka. Sehingga ketika mereka memberikan informasi yang sangat rinci terkait keberlangsungan hidup mereka, ini akan ditanggapi dengan sangat serius. Itu juga memungkinkan pihak berwenang untuk mengidentifikasi dan menghentikan rantai infeksi pada tahap awal.
4. Kekuatan mendengarkan para ilmuwan
"Satu faktor lain yang membedakan Jerman dengan yang lainnya, yang tidak dilakukan di banyak negara lain, terutama AS, yaitu sejak berita kemunculan COVID-19 di Jerman, pihak berwenang Jerman telah mendengarkan pendapat para ilmuwan dengan baik," kata Clemens-Martin Wendtner, seorang dokter penyakit dalam yang berbasis di Munich. Sesuatu hal yang merupakan konsep asing di AS.
Sejak Februari, Wendtner telah mengirim SMS tentang temuan dan wawasan baru kepada Menteri Kesehatan di Bavaria, negara bagian Jerman yang menjadi rumah bagi Munich, setiap minggu. Kemudian selama berminggu-minggu pertama pandemi, sebelum menuju ke rumah sakit, dia akan mengikuti pengarahan jam 9 pagi di kantor Kementerian Kesehatan untuk membagikan datanya di sana juga.
“Setiap informasi yang kami dapatkan dari rumah sakit, juga dari sisi keputusan politik,” katanya.
Itulah mengapa Jerman menerapkan kebijakan wajib masker di ruang publik pada musim semi dan menutup sekolah. Itulah mengapa Jens Spahn, menteri kesehatan federal, mencabut ide paspor imunitas Covid-19 setelah mendengarkan para ilmuwan. "Dia menggunakan pendekatan langsung, hanya memanggil saya ke sini di kantor saya," kata Wendtner.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan para pemimpin mendengarkan para ilmuwan, kebijakan terus berubah. Baru-baru ini, pemerintah Bavaria memutuskan untuk menginvestasikan 50 juta euro di hepafilter yang menonaktifkan aerosol infeksius untuk digunakan di ruang kelas di seluruh negara bagian.
“Tidak masuk akal untuk membuka jendela di Bavaria setiap 20 menit” di musim dingin, kata Wendtner. Jadi, saat suhu turun, filter dapat membantu sekolah tetap membuka jendela pada saat kita tahu virus corona dapat menyebar melalui aerosol, terutama di ruangan yang berventilasi buruk."
Tentu saja, selain pengaruh sains politik juga berpengaruh di Jerman. Hanya secara gambaran besarnya, kata Wendtner, publik mempercayai politisi Jerman karena mereka tidak pernah berbohong pada awal kasus dan mereka terus membangun kepercayaan serta mengikuti sains, bukan menyangkalnya.
Advertisement