Liputan6.com, Jakarta Amerika Serikat (AS) menghentikan evaluasi uji klinis penggunaan plasma konvalesen pada pasien COVID-19 dengan gejala ringan atau sedang. National Institutes of Health (NIH) menilai meski aman, terapi tersebut tidak menunjukkan manfaat signifikan bagi kelompok itu.
Plasma konvalesen COVID-19, atau sering disebut dengan plasma penyintas, dilaporkan mengandung antibodi atau protein khusus, yang dihasilkan sistem kekebalan terhadap virus Corona.
Baca Juga
Lebih dari 100 ribu orang di AS dan lebih banyak lagi di seluruh dunia, telah mendapatkan terapi ini sejak awal pandemi dimulai.
Advertisement
Mengutip laman resmi NIH, Kamis (4/3/2021), studi plasma konvalesen di AS memasukkan pasien yang diperiksa di unit gawat darurat, dengan gejala infeksi virus Corona ringan hingga sedang selama sepekan atau kurang.
Dalam laman resminya, NIH mengatakan "sementara intervensi plasma penyembuhan tidak berbahaya, itu tampaknya tidak bermanfaat bagi kelompok pasien ini."
Mereka menambahkan, Data and Safety Monitoring Board pun merekomendasikan agar National Heart, Lung, and Blood Institute, untuk berhenti menerima pasien baru ke dalam penelitian.
Â
Â
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Studi Plasma Konvalesen di AS
Uji coba untuk menilai keamanan dan efektivitas terapi konvalesen di AS sendiri dimulai pada Agustus 2020, dengan melibatkan 47 unit gawat darurat di negara tersebut. Sebanyak 511 orang dewasa telah direkrut, dari target awal yaitu 900.
Studi secara khusus melihat efektivitas plasma konvalesen COVID-19 pada orang dewasa yang datang ke gawat darurat dengan gejala ringan hingga sedang yang mereka alami selama sepekan atau kurang.
Pasien juga memiliki setidaknya satu faktor risiko terkait gejala parah seperti obesitas, hipertensi, diabetes, penyakit jantung, atau penyakit paru kronis, namun tidak cukup parah saat harus dirawat.
Setelah peserta penelitian menerima plasma konvalesen atau plasebo, para peneliti lalu memantau apakah mereka membutuhkan perawatan darurat yang mendesak atau lebih lanjut, harus dirawat di rumah sakit, atau meninggal 15 hari usai uji klinis.
"Analisis data terbaru dari penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam proporsi peserta yang mengalami salah satu dari hasil ini," tulis NIH.
"Bahkan jika pendaftaran dilanjutkan, percobaan ini sangat tidak mungkin menunjukkan bahwa plasma konvalesen COVID-19 mencegah perkembangan dari penyakit ringan menjadi parah pada peserta gawat darurat berisiko yang tidak dirawat di rumah sakit."
Advertisement