Liputan6.com, Jakarta - Bakteri resisten antibiotik (antimicrobial resistant/AMR) bisa muncul tidak hanya dari penggunaan antibiotik yang salah di masyarakat, tetapi juga pemakaiannya yang tidak tepat di lingkungan industri peternakan.
Sebuah studi yang dilakukan World Animal Protection pada 2020 mengungkapkan bahwa saluran air umum yang berada bersebelahan dengan pabrik peternakan di Kanada, Spanyol, Thailand, dan Amerika Serikat, mengandung bakteri resisten antibiotik.
Baca Juga
Hasil investigasi ini dimuat dalam laporan berjudul "Silent Superbug Killers in a River Near You."
Advertisement
Dalam studinya, ditemukan adanya gen bakteri resisten antibiotik atau Antibiotic Resistance Genes (bahan penyusun bakteri super) yang kuat di daerah hilir sungai dari pabrik peternakan di Kanada, Spanyol, Thailand dan AS.
Sampel yang terkontaminasi juga ditemukan di daerah hulu dengan kepadatan peternakan babi yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pabrik peternakan dapat melepaskan gen bakteri resisten dan bakteri super ke lingkungan yang lebih luas.
Dalam temuannya, World Animal Protection mengungkapkan bahwa antibiotik juga digunakan secara rutin untuk mencegah hewan yang stres agar tidak sakit.
"Apa yang terjadi tadi bisa terjadi di Indonesia," kata Rully Prayoga, Manajer Kampanye Peternakan World Animal Protection. "Tentunya AMR ini bisa mengontaminasi residu, mengontaminasi tanah, mengontaminasi air yang kita minum."
"Jadi secara tidak langsung bakteri-bakteri super ini tidak hanya dari makanan, tetapi juga dari lingkungan," kata Rully. dalam sebuah temu media pada Senin (5/4/2021).
World Animal Protection menilai bahwa hal ini merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan, mengingat penggunaan antibiotik pada industri peternakan di Indonesia sesungguhnya masih cukup besar.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Penyalahgunaan Antibiotik di Indonesia
Survei Kementerian Pertanian pada 2017 menunjukkan bahwa 81,4 persen peternak menggunakan antibiotik pada unggas untuk pencegahan penyakit, 30,2 persen menggunakannya untuk pengobatan dan 0,3 persen masih menggunakannya untuk promosi pertumbuhan.
"Tidak ada antibiotik yang boleh digunakan sebagai promotor pertumbuhan pada hewan ternak," kata Rully.
Data The State of the World's Antibiotics 2021 mengungkapkan perkiraan total penggunaan antimikroba pada hewan di Indonesia mencapai 761,27 ton pada tahun 2020 dan diperkirakan mencapai 913,94 ton pada 2030.
Meski tidak ada perkiraan formal secara nasional, resistensi antimikroba (AMR) dianggap tinggi dan meningkat. Indonesia termasuk lima negara dengan proyeksi kenaikan persentase terbesar dalam konsumsi antimikroba pada 2030.
Lima negara terbesar dari 50 negara dengan jumlah antimikroba terbanyak yang digunakan untuk peternakan pada tahun 2010 termasuk Myanmar (205 persen), Indonesia (202 persen), Nigeria (163 persen), Peru (160 persen), dan Vietnam (157 persen).
Rully pun mengatakan bahwa data tersebut merupakan tanda bahaya bagi kontaminasi bakteri resisten antibiotik yang dihasilkan dari industri peternakan, yang akan menjadi bagian dari rantai pangan dan tersaji di meja makan masyarakat.
Mereka pun menyerukan agar pemerintah melarang penggunaan antibiotik untuk mencegah penyakit di seluruh kelompok hewan ternak, serta memastikan bahwa pabrik peternakan memenuhi standar kesejahteraan hewan.
"Kami juga mendorong para pelaku rantai pangan, termasuk produsen, ritel, restoran cepat saji, untuk membuat komitmen untuk menerapkan prinsip kesejahteraan hewan ternak yang tinggi, sehingga dapat menghindari meluasnya kontaminasi bakteri resisten antibiotik," katanya.
Â
Advertisement