Tanpa Disadari, Pandemi Senyap Bakteri Resistan Antibiotik Mengintai

WHO telah menjadikan resitensi antimikroba sebagai satu dari sepuluh ancaman kesehatan global paling berbahaya di dunia. Bahkan diperkirakan di 2050, kematian akibat masalah ini bisa mencapai 10 juta per tahun

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 15 Jun 2021, 06:00 WIB
Diterbitkan 15 Jun 2021, 06:00 WIB
Obat/dok. Unsplash Kendal
Obat/dok. Unsplash Kendal

Liputan6.com, Jakarta - Para pakar sepakat bahwa bakteri kebal atau resistensi antibiotik bisa menjadi ancaman dan krisis kesehatan di dunia. Beberapa bahkan menyebutnya sebagai silent pandemic atau pandemi senyap.

"Sebenarnya dia pandeminya sudah terjadi, tetapi dibilang slow pandemic karena tidak semua orang menyadari dan akibatnya pun tidak terlihat seperti COVID-19," kata Vida Parady dari Yayasan Orangtua Peduli (YOP).

"Antibiotic resistance juga disebut sebagai tsunami di dunia kesehatan, karena sudah merenggut banyak sekali nyawa," kata Vida dalam temu media beberapa waktu lalu, ditulis Senin (14/6/2021).

Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai bijak merpakan salah satu penyumbang terbesar angka antimicrobial resistance (AMR) di dunia kesehatan.

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) penggunaan antibiotik di dunia meningkat 91 persen, dan meningkat 165 persen di negara-negara berkembang pada periode 2000 hingga 2015.

WHO telah menjadikan resistansi antimikroba sebagai satu dari sepuluh ancaman kesehatan global paling berbahaya di dunia. Bahkan diperkirakan di 2050, kematian akibat masalah ini bisa mencapai 10 juta per tahun.

Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini

Beberapa Penyakit yang Perlu Antibiotik

Jenis-jenis Bakteri
Jenis-jenis Bakteri (Sumber: Pixabay)

Erwin Astha Triyono, dokter spesialis penyakit dalam, konsultan penyakit tropik dan infeksi RSUD Dr. Soetomo pun mengungkapkan bahwa terdapat persepsi bahwa setiap penyakit harus menggunakan obat atau antibiotik.

"Padahal banyak penyakit infeksi khususnya yang disebakan oleh virus sebenarnya bersifat self-limiting disease, sehingga lebih banyak memerlukan istirahat dan nutrisi yang baik," kata Erwin.

Padahal, antibiotik hanya digunakan untuk pengobatan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri.

Beberapa penyakit yang menggunakan antibiotik antara lain: demam tifoid atau tifus, meningitis encephalitis karena bakteri, tuberkulosis, difteri, infeksi saluran cerna seperti disentri di mana ada diare berdarah karena bakteri, infeksi saluran kemih seperti gonorea, dan sifilis.

Tanggung Jawab Semua Pihak

Pertumbuhan Berlebih Sel Bakteri Kecil
Ilustrasi Sel Bakteri Credit: unsplash.com/CDC

Namun, masih banyak pihak yang belum peduli akan dampak resistensi antibiotik. Vida mengatakan bahwa masih sering ditemukan tenaga kesehatan yang meresepkan antibiotik pada penyakit karena infeksi virus.

"Di sisi lain, masyarakat berpikir antibiotik dapat mencegah sakit menjadi lebih berat," ujarnya. "Semua pihak bertanggung jawab untuk menekan laju resistensi antimikroba."

YOP pun berharap agar pemerintah dapat menerapkan aturan dengan lebih tegas, misalnya melarang toko obat atau apotek menjual antibiotik tanpa resep. "Penyedia layanan kesehatan kami harap dapat menekan peresepan antibiotik broad spectrum yang tidak rasional," kata Vida.

"Pasien pun dapat meredam peresepan antibiotik yang tidak rasional dengan memahami strategi berdiskusi dengan tenaga kesehatan yang meresepkan antibiotik untuk penyakit akibat infeksi virus."

"Perusahaan farmasi juga perlu mendorong tenaga kesehatan dan konsumen untuk menggunakan antibiotik secara tepat guna."

"Lalu juga beberapa tahun terakhir tidak ada antibiotik baru yang ditemukan, sehingga perlu riset dan pengembangan dari untuk menemukan antibiotik yang efektif. Kalau tidak kita akan kembali ke era pra-antibiotik."

INFOGRAFIS: Deretan Kandidat Obat Covid-19

INFOGRAFIS: Deretan Kandidat Obat Covid-19
INFOGRAFIS: Deretan Kandidat Obat Covid-19
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya