Liputan6.com, Jakarta Pakar penyakit menular dari University of Maryland, Amerika Serikat Dr. Faheem Younus mengatakan untuk mencegah penularan COVID-19 penting bagi setiap orang melakukan vaksinasi. Dari penelitian, Sinovac atau Sinopharm mungkin tidak seefektif Pfizer, namun belum ada penelitian yang menyandingkan keunggulan vaksin ini.
"Jadi kalau adanya vaksin Sinovac atau Sinopharm ya vaksin dengan itu. Karena vaksin itu seperti seatbelt (sabuk pengaman) yang tidak bisa melindungi 100 persen kecelakaan, tapi bisa mengurangi dampak kecelakaan," kata Faheem dalam diskusi daring Symposium Covid-19: OPTIMIS INDONESIA PULIH, ditulis Selasa (20/7/2021).
Baca Juga
Dokter lulusan Fakultas Kedokteran King Edward Medical University, Pakistan ini pun mengingatkan masyarakat Indonesia untuk tidak merasa kebal setelah divaksin.
Advertisement
"Sesudah divaksinasi tolong jangan ke tempat-tempat yang berisiko tinggi COVID-19. Misalnya ke acara ulang tahun, atau tempat ibadah yang sudah tahu akan ramai, berkerumum serta tidak mematuhi protokol kesehatan," ujarnya.
Â
Simak Video Berikut Ini:
Soal Kombinasi Vaksin
Dokter Faheem yang sudah menjalani profesi sebagai dokter lebih dari 20 ini juga memberikan pandangannya terkait jenis vaksin yang berbeda. Menurutnya, setiap orang memiliki kondisi yang berbeda sehingga baiknya tetap individu berkonsultasi lebih dulu ke dokter.
"Tetap harus mengambil langkah aman. Kita tidak tahu kombinasi Sinovac-Sinopharm itu efektif. Begitu pun dengan AstraZenenca dan Pfizer. Pada kelompok risiko tinggi seperti pasien dengan diabetes, autoimun, jantung, kondisi ini harus dikonsultasikan pada dokter masing-masing," jelasnya.
Dalam kesempatan ini juga dibahas mengenai konsumsi obat bagi pasien COVID-19. Penggunaan antibiotik pun, menurut Dr Faheem harus hati-hati. Sebab menurutnya, 93 persen pasien COVID-19 tidak perlu antibiotik.
"Karena antibiotik membunuh bakteri, bukan virus."
"COVID-19 itu virus. Sepertiga pasien memiliki efek samping antibiotik. efek samping ini mirip dengan gejala COVID-19. Inilah yang dikhawatirkan akan terjadi resistensi (kekebalan) antibiotik," ujarnya.
Akibat antibiotik yang salah guna, lanjut Dr Faheem, 2 tahun kemudian pasien yang sama tidak bisa mendapatkan antibiotik yang serupa.
"Kalau Anda 2 minggu lemas itu wajar. Dalam 2 minggu, 80 persen kondisi akan membaik. 20 persennya pemulihan selama 6-8 minggu, agak lama. Tapi optimis saja, kalau Anda tidak memburuk dalam 2 minggu berarti akan membaik," katanya.
Â
Â
Advertisement
Pasien COVID-19 Usia Muda
Bagi pasien COVID-19 di kalangan anak muda, Dr Faheem mengatakan tidak perlu obat spesifik. Khususnya bagi pasien yang memiliki saturasi oksigen di atas 92 persen dan tidak memiliki penyakit bawaan (komorbid).
"Gunakan pereda panas seperti paracetamol, uap, cuci hidung atau semprot hidung. Selebihnya istirahat, makan yang baik, jangan menularkan ke orang lain. Sekitar 10 hari mungkin bergejala tapi seterusnya tidak ada virus yang hidup," pungkasnya.
Â
Â
Infografis Ayo Jangan Ragu, Vaksin Covid-19 Dipastikan Aman
Advertisement