Liputan6.com, Jakarta - Mencari siapa orang ketiga merupakan pola yang paling sering terbentuk setiap kali kasus perselingkuhan terjadi. Padahal, hal ini tidak benar.
Dijelaskan Konselor Pernikahan, Indra Noveldy bahwa dalam kebanyakan kasus, perselingkuhan hanyalah gejala dari masalah dalam pernikahan, bukan penyebab utama.
Baca Juga
Pria yang juga Pendiri Konsultan Pernikahan dot Com sekaligus penulis buku Menikah untuk Bahagia, mengatakan, perselingkuhan bisa terjadi karena begitu banyak aspek dan sudah ada masalah di pernikahan itu sendiri.
Advertisement
Sehingga, kata Indra, pihak ketiga bukan penyebab utama perselingkuhan.
"Justru ketika kita menunjuk pelakor atau laki-laki lain, itu seperti melimpahkan kesalahan ke pihak ketiga dan suami istri tidak akan instropeksi ke dalam," kata Indra dikutip dari keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Minggu, 26 Juni 2022.
Indra meningatkan bahwa pihak ketiga bisa masuk karena ada celah. Kalau pun ada satu oknum berniat mengganggu, jika rumah tangga yang diganggu terbangun solid, gangguan tersebut akan terpental.
"Jadi, kuncinya bukan mengusir pelakor atau menghindari pelakor, tapi benahi pernikahan, perkuat fondasi di dalam," ujarnya.
Memperkuat fondasi hubungan pernikahan memiliki banyak elemen, seperti memperbaiki cara berkomunikasi, menyamakan values, dan memiliki visi-misi yang sama.
Namun, terlepas dari semua itu, satu yang ditegaskan Indra adalah memenuhi kebutuhan masing-masing. Terdengar mudah, nyatanya kebutuhan yang tak terpenuhi di dalam pernikahan sering terjadi dan tidak disadari.
Â
Â
Perselingkuhan di Rumah Tangga yang Harmonis
Menurut Indra, perselingkuhan juga bisa terjadi di pernikahan yang terlihat harmonis. Pernikahan yang benar-benar harmonis dan yang terlihat harmonis, kata Indra, adalah dua hal yang bertolak belakang.
"Berapa banyak pasangan suami-istri yang sadar bahwa kebutuhan pasangannya terpenuhi? Banyak yang enggak karena semua tampak baik-baik saja, pasangannya enggak komplain, pasangannya saleh, dan lain-lain," katanya.
"Artinya, banyak orang yang tidak sadar bahwa pernikahannya bermasalah, dan itu adalah masalah besar," Indra menekankan.
Â
Â
Advertisement
Kenapa Ini Bisa Terjadi
Jika ditelaah kembali, rutinitas menjadi alasannya. Sejatinya, lanjut Indra, rutinitas bukanlah hal yang buruk, tetapi dapat menjadi musuh.
Rutinitas cenderung menciptakan kebiasaan yang sulit dilewati. Saat itulah akan muncul rasa monoton, ketidakbahagiaan, dan ketidakpuasan.
Baik suami atau istri mulai mempertanyakan siapa yang ia nikahi dan mengapa, maupun tidak menemukan kebahagiaan atau kepuasan di dalam pernikahannya.
Apa yang dijelaskan Indra senada dengan hasil survei yang dilakukan Teman Bumil dan Populix yang melibatkan 1.943 responden ibu berumur 20 s/d 35 tahun.
Sebanyak 50 persen responden menyatakan rutinitas yang monoton bisa membuat pernikahan berubah, dan 46 persen lainnya mengatakan bahwa kehadiran orang ketiga yang mengubah pernikahan.
"Benar banget. Rutinitas yang monoton bisa menjadi masalah dalam pernikahan. Karena terjebak peran normatif sebagai istri, ibu, suami, dan ayah, banyak orang lupa tiga perannya sebagai partner, sahabat, dan kekasih," ujarnya.
"Kalau ketiga peran ini enggak dijalani, pastinya pernikahan akan membosankan. Lama-lama pernikahan itu jadi normatif, rasa itu akan menguap, lama-lama akan menjadi dingin dan datar, lalu lama-lama mencari rasa dari orang lain yang bukan pasangan resminya," Indra menekankan.
Terjadi Perselingkuhan = Harus Berpisah atau Bercerai ?
Tak bisa dipungkiri bahwa perselingkuhan dapat merusak fondasi pernikahan. Pengkhianatan ini akan menyebabkan patah hati, kehancuran, kesepian, dan kebingungan pada salah satu atau kedua pihak dalam pernikahan.
Dari hasil survei Teman Bumil dan Populix diketahui sebanyak sembilan dari 10 ibu setuju bahwa perselingkuhan merupakan kesalahan fatal yang dapat menghancurkan pernikahan. Mayoritas responden pun merasa pantas jika perselingkuhan menjadi alasan perceraian.
Sementara 64 persen di antaranya merasa bahwa perceraian itu menyakitkan, tetapi perlu dilakukan karena pernikahan sudah tidak sehat.
Sedangkan sebagian kecil dari mereka atau sekitar 21 persen merasa bahwa perceraian tidak patut dilakukan karena menyakiti anak-anak.
Menurut Indra, siapa pun berhak untuk memilih jalan berpisah jika perselingkuhan terjadi. Walau begitu, tetap ada harapan pernikahan bisa dibenahi dan bertahan dengan perjuangan, berdarah-darah dalam prosesnya, serta melalui waktu yang tidak sebentar.
Selain itu, jika memutuskan untuk konseling, kedua belah pihak akan diajak banyak transformasi dan introspeksi diri. Itulah mengapa tidak banyak orang yang kuat menjalani prosesnya.
Sebab, pasti akan ada pikiran 'Dia yang selingkuh kenapa saya yang introspeksi? Kan yang salah dia'.
Advertisement