Liputan6.com, Jakarta Ada begitu banyak aspek yang bisa dibahas bila bicara soal stunting. Mulai dari pemenuhan gizi, dampaknya pada perkembangan otak, hingga hasilnya pada penampilan fisik anak.
Stunting seringkali dikaitkan dengan tubuh anak yang pendek dan kurus. Namun, tahukah Anda bahwa stunting pun bisa menyebabkan kelebihan berat badan bahkan obesitas saat anak besar?
Baca Juga
Dokter spesialis gizi klinik, Nurul Ratna Mutu Manikam mengungkapkan bahwa ketika stunting sudah tidak bisa dikoreksi, salah satu efek jangka panjang yang paling berbahaya adalah obesitas atau kelebihan berat badan.
Advertisement
"Metabolisme linearnya terganggu, sel-sel lain terganggu. Akhirnya anak tersebut karena tidak bisa mengadaptasi dengan baik, terjadilah obesitas yang kemudian bisa jadi diabetes, hipertensi, dan penyakit lain yang berbahaya," ujar Nurul dalam acara Aksi Gizi Generasi Maju bersama Danone Indonesia di Lombok, Nusa Tenggara Barat ditulis Jumat, (17/2/2023).
Nurul menjelaskan, obesitas bisa muncul lantaran stunting menyebabkan adanya gangguan pertumbuhan.
Sehingga setelahnya ketika anak sudah semakin dewasa, ia hanya mengadaptasi proses metabolisme yang sama.
"Jadi yang mestinya dia tumbuh linear ke atas, ototnya terbentuk dengan baik, karena dia stunting jadi enggak optimal. Di usia kemudian hari, proses metabolisme masih tetap mengadaptasi yang awal itu, yang rate-nya rendah," kata Nurul.
"Begitu dewasa dia makan banyak, karena rate metabolismenya rendah di awal, akhirnya dia menjadi overweight dan obesitas," tambahnya.
Sebabkan Gangguan Kognitif dan Banyak yang Anemia
Lebih lanjut Nurul mengungkapkan bahwa selain menyebabkan obesitas, diabetes, dan menimbulkan penyakit tidak menular yang berbahaya, stunting masih punya dampak lainnya terkait gangguan kognitif.
"Overweight, obesitas, terus termasuk juga jadi penyakit tidak menular. Selain juga prestasi belajarnya ya. Jadi kemampuan kognitifnya jadi lebih rendah," ujar Nurul.
Nurul menambahkan, dari penelitian yang sudah ada, banyak anak-anak stunting yang mengalami anemia. Sehingga perlu melakukan skrining tambahan yang dikhususkan untuk anemia.
"Kita harus skrining. Kalau dari penelitian yang sudah ada, anak-anak yang datang ke pusat layanan kesehatan itu kan diukur pertumbuhan linearnya. Kemudian dilihat juga wasting, underweight atau enggak," kata Nurul.
"Ternyata anak-anak yang stunting itu lebih banyak yang anemia. Jadi harus pakai skrining anemia juga, dicek HB-nya juga," sambungnya.
Advertisement
Harus Perhatikan Asupan, Terutama 1.000 Hari Pertama
Dalam kesempatan yang sama, Nurul mengungkapkan bahwa stunting telah menjadi masalah kekurangan gizi yang kronis. Terjadinya stunting sendiri tak semata-mata bisa terdeteksi dalam satu waktu.
Berkaitan dengan hal itu pula, Nurul pun mengingatkan bahwa penting bagi para orangtua memerhatikan asupan nutrisi anak agar tetap seimbang.
"Penting untuk diperhatikan para orangtua bahwa asupan nutrisi yang tepat dengan gizi seimbang menjadi salah satu elemen kunci dalam optimalisasi masa 1.000 hari pertama kehidupan anak, termasuk untuk pencegahan stunting," ujar Nurul.
Mengingat asupan nutrisi yang tidak optimal tersebut bisa berujung pula pada anemia seperti penjelasan di atas. Menurut Nurul, salah satunya anemia bisa disebabkan lantaran rendahnya asupan protein hewani dan zat besi.
"Rendahnya asupan protein hewani dan zat besi dapat menyebabkan anemia, menjadi salah satu faktor penyebab stunting pada anak," kata Nurul.
Tubuh Kekurangan Protein Hewani dan Zat Besi, Apa Dampaknya?
Nurul mengungkapkan bahwa tubuh yang kekurangan asupan protein hewani dan zat besi akan mengalami gangguan fungsi hormonal, regenerasi sel, sistem kekebalan tubuh, massa otot, fungsi kognitif, dan kemampuan motorik.
"Oleh karena itu, bersama dengan asupan nutrisi yang tidak optimal, anemia menjadi salah satu faktor risiko terjadinya gangguan pertumbuhan yang merupakan awal terjadinya stunting," pungkasnya.
Advertisement