Liputan6.com, Jakarta - Pelabelan 'Berpotensi Mengandung BPA' di kemasan air minum dinilai belum perlu dilakukan. Justru yang perlu dilakukan sekarang adalah analisis risiko paparan BPA dari berbagai sumber paparan.
Anggapan ini disampaikan Guru Besar Bidang Keamanan Pangan dan Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Ir Ahmad Sulaeman MS CHt mengacu kepada hasil kajian-kajian lembaga pengawasan keamanan pangan di berbagai negara.
Baca Juga
Ahmad, mengatakan, di EFSA saja hal itu dilakukan dengan sangat hati-hati dan waktu yang panjang. Kajian sudah dilakukan bahkan sejak 2007.
Advertisement
"Sampai sekarang saja mereka belum memutuskan dan terus me-review," ujar Ahmad dikutip dari keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Kamis, 16 Maret 2023.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa peraturan yang ada di Indonesia mengizinkan keberadaan BPA dan zat kimia lain di dalam aneka kemasan pangan, termasuk yang berpotensi bermigrasi ke pangan.
Menurut Ahmad batasan migrasi berbagai jenis senyawa kimia dan semua jenis kemasan pangan juga telah diatur secara komprehensif dalam PERBPOM Nomor 20 tahun 2019.
Contohnya, kata Ahmad, BPA pada PC serta asetaldehid, etilen glikol, dietilen gliko pada PET.
Dijelaskan Ahmad bahwa batas maksimum migrasi BPA di Indonesia adalah 0,6 bpj dan ini masih sangat sesuai dengan mayoritas batas maksimum migrasi BPA negara-negara maju di dunia lainnya.
"Jadi, sampai saat ini, sepengetahuan saya, tidak ada satu pun negara di dunia yang mengeluarkan peraturan kewajiban pelabelan khusus terkait BPA pada kemasan air minum dalam kemasan (AMDK)," ujarnya.
Tidak Perlu Embel-Embel BPA Free, Cukup Logo Recycle dengan Nomor
Dia juga menyampaikan bahwa pencantuman logo recycle dengan nomor serta nama bahan kemasan di bawah kemasan botol minuman untuk saat ini sudah cukup, dan tidak perlu ditambah embel-embel bebas BPA atau BPA free.
Sementata itu, Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, mengatakan ketidaksepahaman yang masih terjadi antar kementerian dan lembaga terkait sehubungan dengan adanya rencana perubahan Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan harus diselesaikan dalam pembahasan antar Kementerian (PAK).
"Jadi, sebelum ada kesepakatan antara kementerian dan lembaga terkait, maka perlu ditunda dulu penerbitan peraturannya. Karena, itu berarti secara substansi belum dapat disepakati K/L terkait," ujarnya..
Advertisement
Peraturan Pelabelan atau Segala Hal yang Berkaitan dengan BPA dan AMDK Harus Dilakukan Transparan
Dia menegaskan bahwa selayaknya pembentukan suatu peraturan, prosesnya harus dilakukan secara transparan, partisipatif, dan tidak diskriminatif.
Serta didukung dengan penelitian yang kuat. Apalagi kalau peraturannya itu akan mengikat pihak diluar institusi pembentuknya.
Sebab, kata Fajri, revisi Peraturan BPOM sudah masuk harmonisasi. Sebaiknya Kemenkumham harus memastikan dulu bahwa seluruh kementerian dan lembaga terkait sudah setuju dengan peraturan itu.
"Apabila tetap dilanjutkan prosesnya sampai kemudian disahkan, pengujian Peraturan Menteri/Kepala Lembaga itu bisa dibawa ke Mahkamah Agung karena dianggap bertentangan dengan UU," ujarnya.
Permasalahan Segala Hal dengan BPA dan AMDK Harus Diselesaikan Bersama
Namun, Fajri, mengatakan akan sangat disayangkan apabila yang mengajukan itu adalah bagian dari pemerintah juga yang menolak kehadiran peraturan itu.
"Jadi, menurut saya, sebaiknya permasalahan itu diselesaikan dalam proses pembentukannya di internal pemerintah sebelum disahkan," ujarnya.
Advertisement