Liputan6.com, Jakarta Pembahasan RUU Kesehatan terus dilakukan Pemerintah dan DPR RI agar mengakomodir seluruh kepentingan pelayanan kesehatan, baik dari sisi tenaga kesehatan (nakes) maupun masyarakat sebagai pasien. Tujuan kehadiran RUU dengan metode omnibus law diharapkan dapat memperkuat pelayanan kesehatan.
Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Sundoyo mengibaratkan RUU Kesehatan bak landasan (track) yang menjadi dasar hukum agar pelayanan kesehatan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Baca Juga
Hal ini juga demi wujudkan pelayanan kesehatan sesuai yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 34 ayat 3. Berbunyi, Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Advertisement
"Kalau (rancangan) Undang-undang ini atau yang kita sebut sebagai track, landasan belum kuat terhadap undang-undang yang eksisting, maka kita coba benahi tempat track-nya dulu," kata Sundoyo saat ditemui Health Liputan6.com di Gedung Kemenkes RI Jakarta pada Rabu, 24 Mei 2023.
"Ya supaya kita bisa berjalan dan berlari cepat agar hak pelayanan kesehatan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu betul-betul bisa dibenahi oleh Pemerintah atau Negara."
Pelayanan Kesehatan Masih Banyak Problem
Menurut Sundoyo, kehadiran Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan membutuhkan dukungan dari segala pihak untuk disahkan. Sebab, pelayanan kesehatan dan sistem kesehatan masih banyak problem.
"Kami butuh dukungan agar rancangan undang-undang bisa segera selesai dan disahkan karena memang berbagai persoalan terkait dengan pelayanan kesehatan atau sistem kesehatan masih banyak mengalami problem, baik itu pelayanan tingkat primer maupun rujukan," lanjutnya.
Utamakan Pelayanan Promotif Preventif
Sundoyo mencontohkan sembilan penyakit terbesar penyebab kematian di Indonesia yang memakan biaya kesehatan. Sebut saja, lima di antaranya adalah hipertensi, diabetes melitus, stroke, gagal ginjal kronis, dan kanker.
Persoalan penyakit di atas dapat diperbaiki dengan mengutamakan pelayanan promotif dan preventif di tingkat pelayanan primer.
"It adalah persoalan perilaku. Misalnya jantung, bisa banyak diintervensif, dikawal bagaimana perilaku-perilaku diintervensi dengan melakukan pelayanan promotif preventif," terangnya.
"Ini kami lakukan berbagai perubahan di level undang-undang sehingga nanti bisa enak.
Butuh Akses Pelayanan Kesehatan
Terkait pelayanan rujukan, Sundoyo menyebut, problemnya masyarakat ternyata masih belum mendapatkan pelayanan dengan baik sesuai dengan indikasi medis yang dialami.
"Ya penyakit apa gitu karena kita juga keterbatasan dokter spesialis saat ini dan kekurangan beberapa peralatan yang ada di rumah sakit. Sebagai contoh cathlab, RSUD kita dorong buat pelayanan tersebut," ucapnya.
"Kita yang membutuhkan pelayanan itu bisa mengakses dengan mudah dan tentu mutunya baik."
Advertisement
Bangun Ketahanan Kefarmasian
Fokus Kemenkes juga bagaimana membangun ketahanan kesehatan dari sisi kefarmasian, termasuk mengatasi krisis krisis atau bencana seperti pandemi COVID-19.
"Sebagai informasi, kalau kita bicara persoalan farmasi, bahan baku obat kita itu lebih dari 90 persen adalah impor dan data menunjukkan bahwa di dunia ini boleh dibilang ada dua negara yang mensuplai bahan baku obat ke seluruh negara-negara di dunia, yaitu Cina dan India," tutur Sundoyo.
"Bisa dibayangkan kalau terjadi pandemi seperti COVID kemarin dan tidak ada negara yang mengekspor kebutuhan dalam negeri, ya kita kolaps. Maka ke depan, harus ada pengaturan secara tegas di dalam perundang-undangan itu bagaimana untuk mendorong agar kita betul-betul mandiri dalam farmasi dan alat kesehatan."
Persiapan Tenaga Kesehatan Cadangan dan Pembiayaan
Selanjutnya, menilik pengalaman pandemi COVID dan bencana juga harus ada kesiapan terkait tenaga kesehatan cadangan dan pembiayaan.
"Jangan sampai pengalaman kita ketika ada wabah dan bencana itu kita tidak siap, seperti pepatah kita masuk lubang dua kali. Nah itu jangan dan perlu juga diatur bagaimana tenaga cadangan, pembiayaan," pungkas Sundoyo.
"Saat ini SDM tenaga kesehatan kita memang rasio kecil 0,3, belum sampai 1 per 1000. Padahal, di negara tetangga kita sudah lebih dari 1 bahkan 2 atau 3 per 1000 penduduk."
Membuat Sistem Informasi Kesehatan Nasional
Terakhir, persoalan teknologi informasi kesehatan. Indonesia sebelumnya tidak pernah tahu berapa jumlah masyarakat yang hari ini mengalami gangguan kesehatan dan berapa yang mengakses ke fasilitas kesehatan (faskes).
"Kita masuk juga sebenarnya apa sih yang dibutuhkan pasien, obat apa atau bagaimana akses ke faskes. Kan kita tidak pernah tahu juga," Sundoyo menjelaskan.
"Jadi bagaimana kita akan membuat kebijakannya bagus dan betul-betul dirasakan oleh masyarakat. Nanti ke depan, kita akan buat satu sistem informasi terintegrasi ke dalam sistem informasi kesehatan nasional. yang real time."
Lihat Kondisi Masyarakat yang Butuh Pelayanan Kesehatan
Adanya sistem informasi kesehatan nasional ini diharapkan dapat membantu stakeholder mengetahui lebih detail, bagaimana kondisi masyarakat yang mendapatkan akses ke faskes dan yang sedang membutuhkan pelayanan kesehatan.
"Apakah itu mereka ada di Puskesmas, di rumah sakit, diagnosis apa, apa obatnya sehingga dengan begitu kita akan lebih baik membuat kebijakan-kebijakan yang betul untuk mendukung agar masyakarat kita ketika sakit mendapat pelayanan yang baik," tutup Sundoyo.
"Kemudian tersedia obat yang cukup. Misalnya, kita tahu sekarang tidak lagi kalau orang itu cancer (kanker) lalu diberikan obat, tidak lagi begitu. Tetapi bagaimana pelayanan kesehatan yang presisi dengan menggunakan genom itu juga menjadi teknologi yang kita manfaatkan. Hal seperti ini kami coba untuk benahi."
Advertisement