Polusi Udara Ancam Kekambuhan Asma, Peran Puskesmas Perlu Ditingkatkan

Faktor risiko polusi udara terhadap penyakit asma adalah 27,95 persen dan berdasarkan data Global Burden Diseases 2019 Diseases and Injuries Collaborators

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Agu 2023, 10:00 WIB
Diterbitkan 12 Agu 2023, 10:00 WIB
Udara Jakarta Buruk, Warga Beraktivitas Pakai Masker
Seorang wanita berjalan mengenakan masker pelindung untuk menghindari polusi udara buruk di Jakarta, Rabu (17/7/2019). Dinkes DKI menyarankan masyarakat untuk menggunakan masker saat beraktivitas untuk mencegah dampak polusi udara pada tubuh. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Indonesia menduduki peringkat nomor 26 sebagai negara dengan polusi udara terburuk di dunia berdasarkan data QAir pada 2022.

Sedangkan Jakarta, per 6 Agustus 2023 memiliki tingkat polusi tidak sehat dengan 161 AQI (indeks kualitas udara) dengan konsentrasi 8,4 kali nilai panduan kualitas udara tahunan World Health Organization (WHO).

Hal ini membuat Kementerian Kesehatan khawatir akan meningkatnya kekambuhan serangan asma dan tumbuhnya penyakit respirasi lainnya.

Penyakit Akibat Polusi Udara Tinggi

"Ada sejumlah penyakit respirasi yang diakibatkan polusi udara dengan prevalensi tinggi.  Polusi udara menyumbang 15-30 persen," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin melalui keterangan tertulis, Sabtu (12/8/2023).

Budi menyebut faktor risiko polusi udara terhadap penyakit asma adalah 27,95 persen dan berdasarkan data Global Burden Diseases 2019 Diseases and Injuries Collaborators, asma termasuk dalam lima penyakit respirasi penyebab kematian tertinggi di dunia, selain penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), pneumonia, kanker paru, dan tuberkulosis.  

Data tersebut menunjukkan bahwa asma memiliki 477 kejadian per 100 ribu orang dengan 455 ribu kematian. Di Indonesia sendiri, penyakit asma juga masuk ke dalam salah satu dari 10 penyebab kematian terbesar.

 

 

Penyakit Asma Bisa Dicegah

Penyakit asma tidak bisa disembuhkan, tetapi bisa dikendalikan dengan melakukan pola hidup CERDIK (cek kesehatan secara berkala, enyahkan asap rokok, rajin aktivitas fisik/olah raga, diet sehat dan seimbang, istirahat cukup, dan kelola stress dengan baik).

Selain itu, penderita asma juga bisa mengonsumsi obat asma secara teratur dan mencegah terpapar hal-hal yang bisa menyebabkan kambuhnya serangan asma. 

Menurut Budi, anggaran yang ditanggung untuk penyakit asma memiliki kecenderungan naik tiap tahun jika tidak terkendali dengan baik. Selama periode 2018-2022, pengobatan asma melalui BPJS Kesehatan setidaknya telah menelan biaya anggaran sebesar Rp1,4 triliun.

 

Prevalensi Penyakit Asma di Indonesia

dr. Budhi Antariksa, SpP(K), Ketua Pokja Asma dan PPOK dari Pehimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menjelaskan bahwa polusi udara memang bisa menjadi salah satu pencetus yang membuat penyakit asma kambuh. Hal ini juga cukup menghawatirkan dimana prevalensi penyandang asma di Indonesia per tahun 2022 mencapai 7% atau 18 juta orang.

"Asma adalah penyakit penyempitan saluran nafas karena ada pencetusnya. Dari luar adalah polusi udara, asap rokok hingga stres yang merupakan faktor harus dikontrol," katanya.

Menurut Budhi, Puskesmas perlu ditingkatkan sebagai lini pertama untuk diagnosa dan pengobatan asma agar pasien dapat mengendalikan penyakit asma dengan baik sejak dini. Ini dapat dilakukan karena penyakit asma merupakan bagian dari 144 diagnosa penyakit yang dapat ditangani di Puskesmas, sesuai dengan Kompetensi Dokter Umum.

Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) Tahun 2012, penyakit asma masuk kedalam Tingkat Kemampuan 4A dimana lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.

"Dokter umum punya kompetensi, diagnosis, bagaimana kontrol asma, gejala hingga pemeriksaan," ujarnya lagi.

 

Biaya Penanganan Asma Bisa Mahal

Salah satu faktor yang dapat mengakibatkan biaya pengobatan asma tinggi adalah akses obat di tingkat Puskesmas yang masih dalam bentuk obat oral tanpa inhalasi pengontrol yang sesuai. Tanpa obat pengontrol asma, pasien asma memiliki berisiko untuk mengalami eksarsebasi atau serangan asma.

Problemnya adalah biaya penanganan asma bisa menjadi mahal, karena lebih dari 57,5% pasien asma mengalami kekambuhan serangan asma dan datang ke Rumah Sakit pada saat kondisi mereka sudah dalam keadaan tidak terkontrol.

Salah satu daerah yang memiliki akses layanan Kesehatan bagi penderita asma adalah kota Bandung. Lewat program PESAT (Pelayanan Asma Terpadu) di 30 UPT Puskesmas di Kota Bandung pasien asma bisa mendapatkan terapi obat serta pelayanan komprehensif meliputi edukasi, konsultasi, pengukuran ACT (Asthma Control Test) dan pelayanan rujuk balik bagi peserta JKN.

Untuk mendapatkan layanan program dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung ini, masyarakat bisa mendatangi Puskesmas terdekat dan melampirkan KTP serta syarat lainnya seperti pasien Puskesmas pada umumnya. Bagi peserta JKN harus membawa KTP dan kartu BPJS, sedangkan bagi pasien umum dikenakan biaya retribusi sesuai PERDA yang berlaku.

Salah satu puskesmas yang menerapkan program PESAT adalah Puskesmas Babakan Sari yang sudah menjalankannya sejak tahun 2019 lalu. Koordinator Penyakit Tidak Menular Puskesmas Babakan Sari, dr. Reisha Ghassani mengatakan bahwa adanya program ini memudahkan dalam penatalaksanaan penyakit asma.

"Selain pemeriksaan dokter ada juga pemeriksaan ACT, sehingga melalui penilaian asma control test menjadi tahu skor penyakit asma pasien. Lalu seberapa sering kambuh pasien dengan demikian pasien akan menjadi lebih terkontrol. Bahkan bisa melakukan penanganan langsung dengan nebulizer saat pasien mengalami serangan. Jadi jangan ragu untuk memanfaatkan layanan  pengobatan asma di Puskesmas," papar dokter umum lulusan Universitas Lampung tersebut.

Infografis 10 Kota Dunia dengan Kualitas Udara yang Buruk akibat Polusi
Infografis 10 Kota Dunia dengan Kualitas Udara yang Buruk akibat Polusi
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya