Liputan6.com, Jakarta Dokter spesialis anak Frida Soesanti dalam penelitiannya menunjukkan bahwa 26 persen kematian balita atau anak di bawah lima tahun sebetulnya bisa dicegah.
Hilangnya nyawa anak menurut penelitian Frida dapat dicegah jika semua pihak bisa memberikan lingkungan yang baik.
Baca Juga
Data menunjukkan, angka kematian anak di bawah lima tahun atau balita di Indonesia adalah 22 per 1.000.
Advertisement
“Saya ambil data Jakarta, di Jakarta anak balita 2,4 juta pada tahun 2022. Jadi, kalau kita lihat angka kematiannya 22 per 1.000, maka kira-kira 53.280 balita meninggal setiap tahunnya,” ujar Frida dalam Forum Menuju Indonesia Emas 2045: Dampak Kualitas Udara terhadap Manusia Indonesia di Jakarta, Jumat (24/11/2023).
Sementara, 26 persen kematian balita yang dapat dicegah adalah lebih kurang sepertiga dari jumlah tersebut. Dengan kata lain, jika semua pihak berhasil mengupayakan lingkungan yang baik salah satunya terkait polusi udara, maka jumlah balita yang bisa diselamatkan adalah 13.852 balita per tahun.
Frida menambahkan, paparan polusi tidak hanya memengaruhi generasi masa kini tapi juga bagi ibu hamil, janin, dan generasi berikutnya.
“Dan itu akan muter terus circle-nya kalau kita nggak pernah setop. Nah, yang paling penting adalah apa sih yang mau kita berikan pada generasi yang akan datang. Kita mau ngasih lingkungan yang bagus atau kita mau kasih lingkungan yang amburadul?” ucap Frida.
Pemenuhan Hak Anak agar Tak Sekadar Bertahan Hidup
Frida menambahkan, memberikan lingkungan yang bagus pada anak adalah bentuk pemenuhan hak anak.
“Supaya anaknya enggak cuman survive, kita enggak bicara soal survive doang tapi kita bicara bagaimana anak bisa tumbuh dan berkembang secara optimal. Masa depan Indonesia ada di generasi yang akan datang, bukan di kita,” jelas Frida dalam diskusi bersama Komunitas Bicara Udara.
Dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI Ini juga menyampaikan bahwa polusi udara memicu epigenetik.
Istilah epigenetik dikaitkan dengan perubahan ekspresi gen dalam tubuh yang dipengaruhi lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang memicu epigenetik adalah polusi.
“Sejak kapan polusi mengubah ekspresi dari gen kita? Kapan sebetulnya yang paling vulnerable? Mulai dari dalam kandungan, anak lahir, sampai remaja. Itu semuanya adalah fase yang sangat kritis untuk berkembang,” jelas Frida.
Advertisement
Upaya yang Dapat Dilakukan
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komite Penanggulangan Penyakit Respirasi dan Dampak Polusi Udara, Kemenkes RI Agus Dwi Susanto menyampaikan bahwa polusi berpengaruh pada Indonesia Emas 2045.
Maka dari itu, untuk mencapai Indonesia emas maka diperlukan penanganan terhadap polusi udara.
“Untuk mencapai Indonesia Emas itu kita butuh mission and action plan for quality control. Kenapa? Kita belajar dari China itu butuh lebih dari 10 tahun dia bisa mendorong kualitas udaranya. Dan 10 tahun itu butuh rencana nasional yang melibatkan berbagai aspek.”
“Oleh karena itu bagi para tim calon presiden, pesan saya sih kalau terpilih ya harus dibuat mission and action plan for quality control. Karena kalau tidak ada, maka kualitas udara tidak dapat terkontrol,” ujar Agus kepada para tim kampanye tiga pasangan calon presiden yang hadir di ruangan tersebut.
Polusi Udara Pengaruhi Semua Orang
Agus juga menyampaikan bahwa polusi udara tak hanya pengaruhi anak-anak tapi juga semua orang tanpa terkecuali.
Salah satu yang paling rentan terkena dampak polusi udara selain anak-anak adalah lanjut usia (Lansia).
Pasalnya, proses penuaan pada lansia mengurangi kemampuan paru dalam bernapas. Hal ini diperparah dengan pajanan polusi.
Di sisi lain, sistem imun yang berkurang membuat perlindungan terhadap polusi pun kurang sehingga lansia rentan mengalami infeksi.
Hal ini diperparah dengan komorbiditas atau penyakit penyerta yang juga dapat menjadi lebih parah akibat paparan polusi.
Advertisement