Liputan6.com, Jakarta Tak selamanya kekurangan menjadi penghambat untuk menggapai impian. Hal itu dibuktikan oleh Angkie Yudistia yang diangkat sebagai Staf Khusus Presiden. "Saya minta Angkie juga menjadi Juru Bicara Presiden Bidang Sosial," ujar Jokowi saat memperkenalkan 7 Staf Khusus Presiden dari kalangan milenial di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (21/11/2019).
Angkie lahir di Medan, Sumatera Utara, pada 5 Mei 1987 dari pasangan Hadi Sanjoto dan Indiarty Kaharman. Ia mengalami kehilangan pendengaran saat menginjak usia 10 tahun akibat kesalahan penggunaan obat-obatan antibiotik saat terserang penyakit malaria.
Baca Juga
Kehilangan pendengaran membuat Angkie sempat terpukul dan merasa tidak percaya diri. Apalagi ia pernah menerima perlakuan yang tidak menyenangkan dari lingkungan sekitar. Namun, karena dukungan yang kuat dari keluarga dan orang-orang terdekat terutama dari sang Ibu, membuat Angkie secara perlahan berhasil bangkit dari keterpurukan.
Advertisement
Dia kemudian menggunakan alat bantu pendengaran untuk mempermudah komunikasi, di samping itu Angkie juga mulai belajar membaca gerak bibir saat orang lain berbicara.
Setelah menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 2 Bogor, Angkie melanjutkan di Jurusan Ilmu Komunikasi London School of Public Relations Jakarta. Di kampus inilah Angkie sedikit demi sedikit mengubah pola pikirnya. Dia mulai menyadari, bila tidak pernah menerima kekurangannya, sampai kapan pun dia tak akan pernah menikmati hidup.
Seiring dengan kepercayaan diri yang meningkat itu, Angkie mengikuti ajang Abang None Jakarta dan berhasil terpilih sebagai salah satu finalis dari daerah pemilihan Jakarta Barat (2008). Di tahun yang sama, Angkie juga berhasil menyabet penghargaan sebagai The Most Fearless Female Cosmopolitan 2008.
Pada 2010, Angkie meraih gelar master dari London School of Public Relations Jakarta. Setahun kemudian dia meluncurkan sebuah buku berjudul Perempuan Tunarungu Menembus Batas serta mendirikan perusahaan bernama Thisable Enterprise. Buku kedua berjudul Setinggi Langit menyusul dua tahun kemudian dan buku ketiga berjudul Become Rich as Sociopreneur pada 2019.
Sebelumnya, Angkie pernah bekerja di beberapa perusahaan besar seperti IBM Indonesia dan Geo Link Nusantara, hingga akhirnya memutuskan untuk mendirikan Thisable Enterprise yang bertujuan untuk memberdayakan kelompok disabilitas Indonesia agar memiliki kemampuan dan keterampilan serta menyalurkannya ke dunia kerja, terutama dalam industri ekonomi kreatif.
Angkie menyebutkan, kelompok disabilitas masih kesulitan dalam memperoleh pekerjaan. Karena itulah, Angkie berharap Thisable Enterprise ini dijadikan sebagai sarana bagi kalangan disabilitas agar mampu bersaing dalam dunia kerja sehingga perekonomian mereka dapat terangkat dengan baik.
Kini perusahaan Thisable Enterprise telah berkembang sebagai sebuah grup yang membawahi Thisable Foundation, Thisable Recruitment, dan Thisable Digital. Melalui perusahan tersebut, Angkie menyediakan pelatihan SDM agar para penyandang disabilitas dapat bekerja secara vokasional dan profesional.
Pada tahun 2017, perusahan milik Angkie menggandeng GoJek sebagai mitra bisnis yang memberikan tempat bagi peyandang disabilitas untuk disalurkan menjadi tenaga pekerja pada sejumlah layanan Go-Jek, seperti Go-Massage, Go-Clean, Go-auto, maupun Go-Glam, disesuaikan dengan kemampuan masing-masing disabilitas.
Selain itu, perusahaan ini juga diketahui mengeluarkan sejumlah produk retail khususnya dibidang perawatan tubuh seperti sabun dan kosmetik.
Pada 2014, Angkie menikah dengan Budi Prasetyo yang telah menjadi kekasihnya selama 2,5 tahun. Bagi Angkie, suami adalah sosok support system terbesar setelah orangtua. Kebahagiaan pasangan ini juga bertambah dengan kehadiran dua orang anak perempuan sebagai penambah semangat.
Berikut petikan wawancara Angkie Yudistia dengan Teddy Tri Setio Berty dalam program Bincang Liputan6.
Semuanya Berawal di Umur 10 Tahun
Bisa diceritakan bagaimana keseharian seorang Staf Khusus Presiden?
Saya memulai hari sebagai seorang perempuan dengan berkebutuhan khusus. Jadi saya ini adalah seorang penyandang disabilitas. Nggak terlalu kelihatan, tapi saya harus menggunakan alat bantu dengar. Dengan alat bantu tersebut suara akan lebih kencang dan besar terdengarnya.
Karena kalau misalnya masalahnya saraf telinga itu, semakin kencang suara itu makin susah untuk didengar. Kecuali kalau memang permasalahannya itu di gendang telinga, semakin kencang dia semakin bisa dengar gitu. Saya menggunakan alat bantu dengar ini tapi juga harus dibantu dengan gerakan bibir.
Pada waktu pandemi kemarin, itu adalah tantangan yang paling susah banget. Tapi beruntung teknologi itu semakin canggih. Sekarang ini ada teknologi dari suara itu menjadi tulisan. Jadi teknologi sekarang sudah canggih banget. Ketika semua orang pada pakai masker, saya sodorin saja alat perekam.
Jadi ini sangat membantu banget, misalkan kita dalam suatu kondisi tidak ada juru bahasa isyarat, misalnya rapat dengan Pak Presiden, misalnya rapat dengan para menteri, itu kan ada kondisi-kondisi di mana ya memang kita tidak bisa memanggil orang luar gitu. Jadi beruntung ada teknologi ini.
Ketika pertama kali menyadari di umur 10 tahun pendengarannya mengalami gangguan, bagaimana Mba Angkie waktu itu merespons kondisi tersebut?
Jadi ketika umur 10 tahun itu buat aku sih nggak terasa terlalu signifikan karena memang nggak ada sesuatu yang berasa sakit, nggak ada. Tapi yang membuat aku merasa berbeda dengan orang lain itu adalah ketika di sekolah. Teman-teman manggil nggak dengar, guru-guru melakukan pelajaran nggak bisa mengikuti.
Jadi aku lebih banyak nangisnya, terus lebih banyak bingungnya, sehingga membuat prestasi di sekolah menurun. Jadi aku merasa ada sesuatu yang beda. Jadi ceritalah aku sama Mama. Nah, Mama juga dipanggil di sekolah karena anaknya benar-benar nggak ada progres.
Akhirnya diperiksa di dokter THT, nah pas diperiksa dokter THT itu ternyata memang ada permasalahan di telinga. Dan makin hari itu bukan makin membaik, tapi malah makin drop gitu. Jadi itu ya merasa aku bahwa kok aku berbeda ya sama orang.
Tapi karena aku terlahir seperti biasa, dengar gitu, kok di umur 10 tahun itu di masa-masa normal saja kok aku beda gitu dengan orang lain, sehingga membuat aku tuh insecure. Aku tuh lebih takut ketemu sama orang, aku lebih nggak mau ketemu banyak orang, karena kan aku harus menggunakan alat bantu dengar.
Dulu sebelum pakai jilbab kan alat bantu dengarnya keliatan gitu kan? Orang-orang suka nanya kenapa sih, apa sih yang dalam telinganya? Kan belum bisa open minded seperti sekarang. Jadi yang aku tuh ngerasa menjadi anak remaja yang insecure gitu. Aku nggak tahu hidup aku tuh mau ngapain?
Berarti momen-momen tersulit itu ketika berumur 10 tahun?
Ya, tapi apa yang bisa membuat aku bertahan itu adalah pertama teman yang baik. Di saat teman-teman yang jahat karena nge-bully kan, aku sering banget di-bully pada waktu itu, orang-orang suka bisik-bisik, eh si Angkie itu kan nggak denger, gosip, ghibah di sekolah itu banyak kalau Angkie itu nggak bisa denger.
Itu kan membuat mental aku makin drop gitu. Tapi yang membuat aku bertahan itu adalah orangtua, Mamah khususnya, Bapakku, itu tidak menyembunyikan aku di rumah. Masih banyak orang-orang yang merasa kalau anaknya beda dari yang lain, sudahlah di rumah saja, nggak boleh ngapa-ngapain. Tapi Mama aku itu memberikan aku kesempatan untuk meng-upgrade skill dari sedini mungkin.
Jadi dari pulang sekolah aku les dari Senin sampai Jumat, semuanya. Les ngaji, les bahasa Inggris, les pelajaran, semua. Karena kenapa? Supaya aku tuh tidak terpaku dengan satu titik dengan kondisiku, tapi berusaha untuk meng-upgrade skill supaya gimana tumbuh menjadi anak yang lebih percaya diri.
Itu yang membuat aku salut banget sama Mamaku, say thank you buat Mama, Bapak dan keluarga-keluarga Mamaku dan Bapakku itu yang menerima aku apa adanya.
Selain keluarga pasti juga ada teman-teman yang mendorong Mba Angkie menjadi sosok yang lebih baik lagi. Bagaimana konkretnya teman-teman dalam menyemangati Mba Angkie dalam kondisi tersebut?
Di usiaku sekarang 36 tahun, aku masih berteman dengan teman yang baik dari aku kecil. Jadi dari teman SMP, teman SMA, teman kuliah itu masih aku temenan sampai sekarang, karena kenapa? Sebagai bentuk say thank you buat teman-teman aku, karena mereka itu melindungi, karena mereka itu berteman aku apa adanya, bukan karena ada apanya gitu.
Jadi aku tuh yakin orang-orang yang baik itu adalah orang-orang yang tulus gitu, inilah bentuk pertemanan. Jadi aku ngerasa bahwa aku bisa seperti saat ini adalah karena orang-orang atau circle yang baik.
Kalau kata anak-anak zaman sekarang nih, circle yang baik itu adalah circle yang positif vibes, benar ya?
Aku percaya banget dengan positive vibes yang circle seperti itu, karena kenapa? Kalau circle kita toxic, kita itu akan nggak nyaman, nggak hanya dengan diri kita sendiri, tapi dengan lingkungan kita sendiri. Jadi jangan pernah takut untuk keluar dari circle itu. Karena kalau kita sayang sama diri sendiri, kita tahu apa yang harus kita lakukan buat diri kita.
Advertisement
Kalau Ada Diskriminasi Harus Dilawan
Dari pengalaman Mba Angkie, bagaimana sih mayoritas masyarakat Indonesia melihat penyandang disabilitas itu?
Kalau dulu kita kan memang punya Undang-Undang Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, jadi dianggapnya itu kan charity. Jadi orang itu masih menganggap cacat sesuatu yang rusak, yang nggak bisa apa-apa, sehingga terminologi itu diubah menjadi penyandang disabilitas. Makanya kita punya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 itu berbeda banget.
Jadi kalau dulu tuh, aduh kamu cacat nggak bisa apa-apa, sudahlah di rumah saja, nggak bisa kemana-mana dan lain lain. Fasilitas juga nggak ada, apa pun itu, infrastruktur, komunikasi, teknologi nggak ada yang mendukung. Sehingga terminologi itu sudah diubah terus habis itu undang-undangnya juga diubah.
Jadi isu disabilitas itu kan isu global, kita itu punya satu miliar lebih di seluruh dunia dan untuk disabilitas itu 21,9 juta se-Indonesia berdasarkan data BPS tahun 2020, itu angka yang besar.
Makanya ada peraturan dan kebijakannya. Undang-undang kita Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas itu kan dari hulu ke hilir ya, dari pendataan, infrastruktur, pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan semua itu kita diatur sehingga apa? Perlahan-lahan awareness-nya itu akan yang tadinya negatif menjadi empower.
Jadi penyandang disabilitas yang tadi sulit mendapatkan sekolah, sekarang sekolah inklusi juga sudah mulai semakin berkembang, sekolah luar biasa juga semakin banyak. Kalau dulu aku cari sekolah luar biasa susah banget, sekolah umum yang ngerti disabilitas juga nggak ada.
Sekarang juga guru-guru untuk pendidikan khusus itu juga ada, karena kita ada jurusan pendidikan khusus di pendidikan. Terus kita melihat beberapa fasilitas-fasilitas umum yang dulu tuh hampir minim banget, nggak ada, sekarang walaupun belum sempurna tapi setidaknya kita mulai ya kan?
Terus secara awareness masyarakat dari orang yang nggak mau ngomongin terus jadi ngomongin, orang meng-empower. Minimal pertanyaan, apa yang bisa saya lakukan untuk teman penyandang disabilitas? Itu kan inisiatifnya datang dari diri masing-masing. Dan saya merasa melihat bahwa progresnya ini cukup signifikan yang kita bisa lihat untuk menuju Indonesia yang lebih ramah terhadap penyandang disabilitas.
Dari pengalaman Mba Angkie sendiri, adakah diskriminasi yang dirasakan saat beraktivitas di luar rumah, misalnya saat mengikuti kompetisi yang besar seperti Abang-None Jakarta atau saat bekerja di perusahaan?
Diskriminasi sebenarnya nggak usah saat berkompetisi atau kerjaan, sehari-hari aja mungkin yah yang kita lihat itu masih terlihat. Misalnya kita keluar terus habis itu informasinya tidak ada teks di suatu infrastruktur, itu kan jadi nggak tahu informasinya itu apa? Mau nanya orang, orang kan sekarang reflek, makanya dari tadi dengerin, gitu kan?
Sederhana sih, tapi kan buat aku ya gua kalau bisa denger ya juga tahu apa maksudnya, tapi masalahnya kan gue nggak bisa dengar, gimana dong, gitu kan? Tapi kita mau kecewa tuh mau gimana gitu, kayanya aku nggak ada waktu untuk bisa marah balik sama orang itu karena aku mencari cara gimana untuk bisa mendapatkan informasi itu.
Sehingga yang membuat aku itu merasa beruntung di saat momentum sekarang, Zillenial itu punya teknologi. Semua informasi itu semua ada di sini. Berita kita sudah lihat tulisan, mau cari informasi apa pun semua itu ada di telepon pintar. Tapi mungkin karena aku tinggal di kota besar kali ya?
Tapi aku masih bisa kebayang teman-teman yang berada di daerah kecil, itu kenapa aku sepanjang kunjungan kerja, aku selalu mendengar kondisi teman-teman penyandang disabilitas dan mereka itu masih merasa mengalami diskriminasi sangat tinggi sekali. Bagaimana mereka bisa hidup nyaman sebagai penyandang disabilitas?
Diskriminasi seperti apa? Banyak faktor karena ragam penyandang disabilitas itu macam-macam, sensorik, motorik, intelektual, mental, ganda. Apalagi kalau ganda, ganda nggak bisa dengar nggak bisa lihat.
Dan langkah untuk mencegah diskriminasi itu belum maksimal?
Kondisi-kondisi kita itu, infrastruktur dan lain-lain itu memang belum maksimal. Pusat, daerah belum maksimal, memang perlu kerja keras super ekstra. Tapi kita belum bisa kerja sendirian, kita perlu dibantu lebih banyak. Jadi diskriminasi itu akan selalu ada, bagaimana kita bisa menghadapinya adalah mungkin tiap orang beda-beda, kalau dari aku hadapi, kasih tahu orang itu.
Jadi jangan makin takut atau makin mundur merasa insecure ketika kita mengalami diskriminasi itu, tapi lawan, kita harus melawan. Aku pernah merasa kan kita drop, mental kita terguncang karena kita mengalami diskriminasi itu yang nggak enak, itu lawan.
Contohnya, kerja misalnya, aku dulu masih dibilang gini, memangnya kamu bisa kerja? Karena kan kamu nggak bisa dengar. Memangnya kamu bisa kerja sesama tim? Itu pertanyaan tapi kalau bisa kita pikirkan, itu bisa diselipkan diskriminatif dong. Tapi aku menganggap itu adalah pertanyaan, mungkin dia butuh jawaban dan butuh kepastian, pembuktian bahwa mampu kerja apa nggak?
Itu yang membuat saya membuktikan bahwa aku bisa kerja nih, gitu kan? Nah, sehingga itulah bagaimana mindset-nya kita, bagaimana niatnya kita, bagaimana usahanya kita untuk melawan diskriminasi itu.
Thisable Enterprise dan Indonesia yang Inklusif
Bisa diceritakan bagaimana Mba Angkie menggagas Thisable Enterprise?
Thisable Enterprise itu hadir tahun 2011 disaat saya waktu itu sempat kerja di perusahaan, akhirnya saya menjadikan Thisable Enterprsie mulai dari gerakan dulu. Gerakan untuk teman-teman supaya bisa lebih mandiri secara ekonomi dimulai dari pendidikan softskill. Jadi bagaimana pendidikan softskill itu bisa tepat sasaran membuat teman-teman lebih percaya diri dan lalu bagaimana mereka bisa kerja.
Pada 2017 itu kita kerja sama dengan Gojek, kita punya mitra-mitra yang kerja di Go-Massage, Go-Clean, Go-Auto yang rata-rata bintang lima semuanya. Tapi sayangnya Covid-19 membuat kita tutup dan mitra-mitra kita yang jumlahnya ribuan itu banyak yang pengangguran sehingga membuat mereka bingung mau ngapain.
Tantangan sekarang ini adalah bagaimana mereka itu bisa bangkit lagi dari kondisi terpuruk ketika kerja itu sulit karena usia mereka. Tapi sekarang saatnya adalah mereka itu mandiri secara ekonomi dengan menjadi UMKM. Jadi kita latih dengan proses yang sama pada waktu itu kita melatih, kita latih mereka secara vokasi, lalu kita beri pendampingan dan sekarang kita berikan permodalan buat mereka.
Jadi programnya terus berjalan walaupun kemarin pandemi menimpa kita semua dan juga berdampak bagi teman-teman yang ada di Thisable Enterprise?
Betul, kan sudah 12 tahun, jadi itu adalah konsistensi yang tidak mungkin kita berhenti begitu saja. Kita mungkin belajar dari yang dulu sehingga memperkuat untuk teman-teman itu bisa lebih mandiri.
Menurut pandangan Mba Angkie, Indonesia yang inklusif itu seperti apa?
Kalau kita tahu arti dari inklusivitas itu adalah pengakuan atas perbedaan atau keberagaman, iya kan? Jadi kalau kita dianggap eksklusif karena dulu khusus gitu, tapi bagaimana inklusivitas? Artinya apa pun programnya, apa pun pembangunannya, penyandang disabilitas itu ada di dalamnya, jadi tidak terpisahkan, itu adalah sebagai bentuk pengakuan.
Penyandang disabilitas itu harus diakui. Jadi kalau kita lihat setiap pekerja, karyawan penyandang disabilitas kita punya peraturannya, wajib untuk menerima penyandang disabilitas untuk swasta 1 persen, untuk pemerintah dan BUMN 2 persen, itu kan bentuk satu inklusivitas untuk berada di tengah-tengah.
Itu termasuk juga dong dengan transportasi umum, termasuk dengan sekolah dan segala macam bahwa kelompok penyandang disabilitas itu ada dan bagaimana bisa mendapatkan haknya untuk memperoleh fasilitas-fasilitas itu.
Nah, bagaimana Mba Angkie melihat pendidikan di Indonesia secara umum serta akses pendidikan bagi penyandang disabilitas secara khusus?
Oke, kita bicara tentang kebijakan keseluruhannya dulu ya, 2019 hingga tahun 2020, Pak Presiden itu telah mensahkan sebanyak 7 Peraturan Pemerintah dan 2 Peraturan Presiden. Artinya ini adalah bentuk perhatian Beliau kepada penyandang disabilitas yang jumlahnya sangat fantastis dan kita punya RIPD atau Rancangan Induk Penyandang Disabilitas.
Dimulai dari pendataan terus habis itu pendidikan, kesehatan, ekonomi, rehabilitasi, bencana, aksesibilitas dan lain segala macam. Itu kan kehidupan kita sehari-hari ya kan? Artinya sector leading-nya ini tidak hanya di sosial, tapi juga human right, multi sektoral gitu.
Jika kita bicara hulunya dimulai dari pendataan, kita harus memvalidasi dulu karena pada waktu pandemi kemarin waktu kita melakukan vaksinasi, ternyata banyak penyandang disabilitas itu tidak dapat melakukan vaksinasi karena mereka tidak terdata di Dukcapil atau NIK-nya, karena ragam-ragam penyandang disabilitas itu nggak diisi.
Itu adalah momentum di mana kita memperbaiki data pada waktu itu. Sehingga dari data itulah kita tahu kondisi-kondisi di mana kebutuhan penyandang disabilitas salah satunya pendidikan. Indonesia kita punya peraturan pemerintah tentang bagaimana akomodasi yang layak untuk pendidikan.
Nah, akomodasi yang layak ini sebagai sector leading-nya adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bagaimana pendidikan-pendidikan ini setiap penyandang disabilitas itu harus mendapatkan pendidikan yang kualitas dan mutunya terbaik buat mereka. Orangtua, keluarga bebas mau memilih sekolah luar biasa atau sekolah umum.
Kalau sekolah luar biasa, artinya itu adalah bagaimana mereka memperoleh kurikulum dengan sekolah luar biasa, sekolah umum dengan berbagai fasilitasnya. Nah, artinya pendidikan ini terus diusahakan yang terbaik untuk penyandang disabilitas.
Banyak penyandang disabilitas di Indonesia yang juga memiliki prestasi membanggakan, misalnya Surya Sahetapy dan juga Putri Ariani. Bagaimana Mba Angkie melihat mereka?
Kalau kita melihat sosok publik figur yang saat ini sangat berprestasi sebenarnya kita punya histori, mereka bisa saat ini karena kita kembangin bertahun-tahun sebelumnya. Jadi untuk Putri Ariani, Surya Sahetapy, saya sudah kenal mereka dari tahun-tahun sebelumnya, di mana kita berjuang banyak.
Jadi yang dilihat oleh banyak pemirsa, dilihat oleh banyak orang, itu adalah bentuk konsisten kerja keras mereka, kita tahu perjuangannya sangat luar biasa. Saya tahu banget Surya dari dulu cita-citanya adalah jadi seorang guru, saya tahu banget hal itu. Surya berusaha, mungkin dengan keterbatasannya, dengan kesulitannya untuk menggapai mimpinya, itu adalah perjuangan yang sangat panjang sekali.
Dengan dia sekolah, dengan dia berusaha untuk menggapai pendidikan tinggi sampai keberanian dia ke Amerika. Itu kan bukan sesuatu yang gampang. Pergi sendiri loh, iya kan? Sehingga sekarang dia bisa lulus S2 dan sekarang sudah menjadi dosen. Artinya adalah mimpinya terwujud.
Putri kita kenal pada waktu Asian Para Games dulu tahun 2018. Masih kecil sekali, masih SD kalau nggak salah ya waktu itu, dia masih sangat kecil. Tapi setelah dari situ, konsistensi latihannya, konsisten terus, selalu memberikan yang terbaik di Instagram-nya.
Dan kita tuh selalu bersinergi bersama dari dulu sampai sekarang, sehingga menjadi sampai statement-nya Putri nggak bisa melihat, tapi semua dunia melihat, itu adalah bentuk kerja keras dan perlu diapresiasi. Ketika melihat mereka, adalah kebanggaan kami semua.
Advertisement
Empat Tahun Menjadi Staf Khusus Presiden
Empat tahun sudah Mba Angkie menjadi Staf Khusus Presiden, bagaimana ceritanya sampai terpilih jadi Stafsus Presiden Jokowi?
Sudah empat tahun ternyata ya? Pada 2019, itu saya masih menjalani hari-hari biasa sebagai founder Gerakan Thisable Enterprise, meng-empower teman-teman disabilitas. Jadi saya juga belum pernah ngobrol langsung dengan Pak Presiden sebelumnya. Tapi kalau ketemu di event ya pastilah ya, semua juga mau foto sama Bapak, semua juga mau jabat tangan sama Bapak pada waktu itu kan.
Jadi suatu ketika ada momentum saya bertemu dengan Pak Presiden, jadi saya punya waktu untuk ngobrol sedikit saja dengan Beliau. Beliau bertanya, apa yang kamu lakukan? Saya cuma jawab saya melakukan empower untuk penyandang disabilitas, Pak. Bagaimana mereka itu bisa mendapatkan haknya mereka untuk bisa hidup menjadi warga negara Indonesia, khususnya mereka bisa mandiri secara ekonomi.
Nah hari itu juga Pak Presiden langsung mengenalkan ke Pak Pratikno waktu itu sebagai Mensesneg. Nah, esoknya Pak Pratikno langsung bilang, kamu bisa datang ke kantor?
Waktu itu ditelepon, padahal saya kan nggak bisa dengar ya, nggak tahu ada yang nelpon siapa, jadi saya diemin aja dong karena nggak bisa dengar. Ternyata di-SMS, Mba Angkie saya Pratikno Mensesneg, tadi saya yang telepon. Waduh Bapak mohon maaf, aku bilang gitu. Maksudnya saya apa adanya aja gitu, kalau saya nggak dengar ya saya bilang saya nggak dengar gitu kan.
Jadi akhirnya saya ke kantor Bapak Pratikno terus ngobrol gitu, ternyata pas waktu itu saya dipertemukan dengan banyak anak muda yang berprestasi yang salah satunya sekarang jadi stafsus yang lainnya. Banyak banget anak-anak muda berprestasi dengan pendidikan tinggi yang sangat luar biasa.
Jujur, saya agak minder awalnya. Sebagai seorang penyandang disabilitas sendiri, kalau yang lain itu founder-nya hebat-hebat sekali. Tapi ya sudah saya apa adanya saja. Waktu itu saya juga nggak tahu apa itu Staf Khusus Presiden.
Nah, Pak Pratik kemudian manggil lagi, Pak Presiden minta Mba Angkie untuk menjadi Staf Khusus Presiden. Dalam hati bingung ya mau ngomong apa pada waktu itu. Pertanyaan aku cuma satu, apa harapan dan ekspektasi Presiden terhadap saya? Sudah itu saja.
Karena sebenarnya pertanyaan itu mungkin pertanyaan semua orang, jangankan semua orang, diri sendiri juga bertanya gitu kan? Jadi artinya ya Bapak perlu untuk bagaimana meng-handle isu-isu penyandang disabilitas di Indonesia sebagai anak muda. Oke kita coba ya waktu itu dengan beberapa stafsus.
Akhirnya inget banget 21 November 2019, padahal waktu itu kita juga nggak tahu sebenarnya kalau kita akan duduk di situ kita nggak pernah tahu, akhirnya kita cuma ada di ruangan Pak Pratikno, jalan-jalan terus kita dikenalin.
Di situ bertemu Presiden dan dikenalkan kepada media?
Ternyata begitu kita datang di situ banyak banget wartawan-wartawan teman-teman Istana. Oke ya sudahlah, dari situ ya sudah kita statement masing-masing seperti yang pernah saya omongin pada waktu itu. Saya bilang bagaimana bersama-sama dengan Pak Presiden untuk mewujudkan Indonesia yang ramah terhadap penyandang disabilitas.
Itu yang masih saya pegang sampai sekarang, dan saya bilang sama Pak Presiden, lima tahun tugas saya sama Bapak saya berharap itu semua selesai. Dari empat tahun berjalan ini, 7 Peraturan Pemerintah, 2 Peraturan Presiden dan komisi baru yaitu Komisi Nasional Disabilitas.
Dalam sejarah kita nggak pernah punya sebelumnya dan dalam sejarah akhirnya kita punya. Itu langsung diproses dan juga disahkan, terus dilantik dan diresmikan langsung oleh Pak Presiden. Itu adalah sebagai bentuk legacy yang diberikan karena diberikan kesempatan untuk mengabdi kepada Pak Presiden dan masyarakat Indonesia.
Tapi tantangan selama empat tahun terakhir juga banyak ya?
Challenge-nya luar biasa, belum lagi pandemi, kita pandemi datang itu nggak diduga-duga dan semuanya aduh apakah kita bakal mundur semuanya disaat semuanya WFH kita nggak bisa, kita semua dikejar-kejar semua. Mau nggak mau saya beruntung saya berada di lingkungan yang sebenarnya baru, tapi kita saling support satu sama lain.
Lantas, apa saja dukungan dari pemerintah dalam menciptakan kesetaraan bagi penyandang disabilitas?
Wah banyak, mau disebut satu-satu tuh juga banyak ya. Intinya adalah dari Pak Presiden telah mengesahkan kebijakan, ini adalah suatu bentuk bagaimana program itu bisa dapat diimplementasi. Kebijakan dari pusat itu jelas, ada 7 Peraturan Pemerintah dan 2 Peraturan Presiden, setelah itu ada peraturan menteri.
Peraturan menteri ini kan bukan hanya Kementerian Sosial saja, Kementerian Pendidikan, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian PAN-RB, Kementerian Bappenas, dan kementerian segalanya. Setelah itu peraturan daerah, peraturan daerah, peraturan gubernur, peraturan wali kota, peraturan bupati yang artinya adalah bagaimana ini semuanya itu saling sinergi satu sama lain.
Kita nggak bisa sendirian, pemerintah pusat nggak mungkin sendirian, pemerintah daerah nggak bisa sendirian dan kita juga perlu partisipasi masyarakat untuk terus mengawal dan kita juga butuh penyandang disabilitas untuk terus mendorong juga supaya apa? Supaya ini nggak berhenti dan memang harus ada yang terus berjuang agar estafet kepemimpinan dan estafet program itu terus berjalan, siapa pun pemimpinnya.
Kenalan, Menikah dan Menjadi Sempurna
Boleh diceritakan bagaimana awal perkenalan Mba Angkie dengan Mas Budi Prasetyo sebelum akhirnya menikah?
Begini, aku disabilitas, tuna rungu, tuli, suamiku non-disabilitas. Banyak banget sih sebenarnya DM yang masuk menanyakan bagaimana jodoh dan pasangannya kita. Apalagi satu disabilitas satu non-disabilitas, itu apakah bisa bersatu? Ya bisa-bisa saja sih ya, bisa saja.
Jadi perkenalannya mungkin karena sesama jomblo pada waktu itu kali ya, ketemu teman lalu dijodohkan, mumpung belum ada jodoh ya sudahlah gitu. Tapi intinya pernikahan itu bukan pernikahan hanya dua orang saja, tapi dua keluarga dijadiin satu.
Yang pertama saya pastikan itu adalah bagaimana keluarganya, apakah keluarga itu menerima? Jangan cuma karena suami menerima tapi keluarga nggak menerima, itu yang harus dipastikan. Karena kenapa? Karena kan kita hidup berkeluarga besar, jadi ketika pihak mertua saya, ipar saya itu menerima dengan baik, itu kan suatu pendekatan awalnya, itu yang membuat saya oh ya sudahlah ayo akhirnya kita tujuannya adalah untuk menikah gitu.
Jadi apalagi, sudah satu disabiltas satu non-disabilitas, satu ekstrovert mentok satu introvert gitu ya. Tapi itulah kita, walaupun berbeda tapi ternyata bersatu gitu ya. Tapi serunya adalah ketika kalau misalkan ada yang marah-marah, suamiku marah, aku nggak dengar, udah tutup matanya, aku nggak tahu dia mau ngomong apa gitu.
Tapi yang lebih seru lagi, anakku dua, cewek dua-duanya dan semuanya itu menjadi telingaku di rumah. Jadi kalau misalkan ada paket datang ke rumah, aku nggak bisa dengar anakku yang bilang, Mami ada paket datang, Mami belanja apa lagi nih ya kalau ada paketnya datang.
Apalagi kalau di tempat umum, suamiku tahu aku tuh paling takut kalau misalkan di saat pandemi gitu semua tempat umum aku nggak bisa dengar. Tapi mereka, suamiku dan anak-anakku tuh tahu, disaat aku ngga bisa denger, mereka dengan senang hati menjadi telinga, men-translate lagi.
Jadi nggak usah takut gitu maksudnya, jodoh sudah diatur, jodoh rezeki semua itu sudah diatur, jalani saja.
Bisa diartikan suami dan anak-anak jadi penyempurna ya?
Betul, penyempurna. Jadi aku merasa aku nggak harus mengejar kesempurnaan di dunia ini, karena ketidaksempurnaan aku itu dilengkapi dengan lingkungan sekitar. Jadi ya ngerasa kenapa kalau aku sekarang menjalani hidup ya aku menjalani hidup seperti biasa saja.
Aku nggak harus jadi orang lain, aku juga nggak harus berlomba-lomba untuk menggapai apa yang aku sebenarnya nggak mampu gitu, tapi itulah menyempurnakan kondisi-kondisi dengan orang terdekat kita.
Kembali ke pertanyaan awal, siapa sih yang nembak duluan, Mba Angkie apa Mas Budi?
Mas Budi lah. Jadi pada waktu itu aku kenal sama Mas Budi itu lagi bikin buku pertama. Aku ingat banget di suatu kafe di Panglima Polim, terus aku itu datang pertama kali karena dikenalin, aku lagi bikin buku pertama, judul buku itu Perempuan Tunarungu Menembus Batas. Sudahlah, ngobrol-ngobrol, terus habis itu dia mendukung.
Intinya adalah Mas Budi tahu itu aku orangnya nggak bisa diam. Aku apa namanya, komunikasi paling utama ya. Terus habis itu kalau mau ke jenjang serius dia nerima nggak kalau aku kerja? Mungkin ada yang keberatan aku kerja atau apa segala macam.
Biar bagaimanapun rezeki istri itu ada di doa suami, rezeki suami ada di doa istri, jadi kita selalu bilang selalu saling mendoakan satu sama lain, bagaimanapun karakter kita masing-masing iya kan? Bagaimanapun dunia kita masing-masing. Intinya paling utama adalah ketika aku bisa sampai di titik ini adalah karena suami.
Mama aku selalu bilang, ketika Mama melepaskan kamu menjadi seorang istri, tanggung jawab kamu bukan di orangtua lagi, tapi tanggung jawab ada di suami kamu. Jadi kamu harus baik sama suaminya kamu. Jadi bisa bayangin kan, introvert dan ekstrovert dari satu, sudahlah sebagai istri nurut saja, berkahnya istri dari suami juga, gitu.
Apa pesan Angkie untuk teman-teman difabel?
Pesanku, never give up. Jangan pernah menyerah apa pun kondisinya, karena kita tahu bahwa memang semua hal tidak ada yang sempurna, tapi setidaknya kita memulai dan saling menyempurnakan.
Advertisement