Mengenal Sindrom Brugada, Penyumbang Kematian Jantung Mendadak Terbesar di Asia Tenggara

Sindrom Brugada dapat mengakibatkan munculnya aritmia hingga henti jantung mendadak dan banyak ditemukan di Asia Tenggara.

oleh Fariza Noviani Abidin diperbarui 28 Mar 2024, 09:00 WIB
Diterbitkan 28 Mar 2024, 09:00 WIB
Mengenal Sindrom Brugada, Penyumbang Kematian Jantung Mendadak Terbesar di Asia Tenggara
Mengenal Sindrom Brugada, Penyumbang Kematian Jantung Mendadak Terbesar di Asia Tenggara. Foto: Lifestylememory/Freepik.

Liputan6.com, Jakarta - Pernahkah Anda mendengar tentang Sindrom Brugada? Sindrom ini merupakan salah satu penyebab utama kematian jantung mendadak di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Dilansir dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Sindrom Brugada merupakan sebuah penyakit langka yang membuat penderitanya mengalami ritme jantung yang tidak normal atau biasa disebut dengan aritmia. Gangguan ritme jantung ini juga dapat berujung dengan henti jantung mendadak dan dapat mengakibatkan kematian. 

Dr Sunu Budhi Rajarho, SpJP(K), PhD, seorang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah serta konsultan aritmia menyebutkan bahwa populasi yang rentan memiliki sindrom brugada adalah laki-laki.

"Populasi yang paling banyak terkena ini adalah laki-laki usia sekitar 40 tahun," jelas Sunu dalam Diskusi Media pada Senin, 25 Maret 2024.

Risiko orang Asia yang memiliki Sindrom Brugada untuk mengalami henti jantung juga sangat tinggi yaitu mencapai 15 persen, sedangkan risiko untuk orang dengan ras Kaukasia mencapai 10 persen.

Faktor risiko untuk penyakit ini juga masih belum diketahui secara keseluruhan, "Sindrom brugada itu 20-30 persen itu faktor genetik, 70 persen kita masih belum tau juga," ucap Sunu.

Orang yang menderita sindrom ini cenderung tidak mengalami gejala dan keluhan apa pun. Semua terlihat normal kecuali saat sindrom brugada ini kambuh atau muncul. 

Hal yang dapat diperhatikan pada penyakit ini adalah debar jantung yang meningkat dalam beberapa waktu, "awalnya hanya seperti berdebar satu-dua, satu-dua, tiba-tiba terjadilah yang namanya henti jantung, dan ini fatal," jelas Sunu.

 

Sindrom Brugada Rawan Kambuh Terjadi Saat Tidur dan Demam

Dr Sunu Budhi Rajarho, SpJP(K), PhD Menjelaskan Sindrom Brugada
Dr Sunu Budhi Rajarho, SpJP(K), PhD Menjelaskan Sindrom Brugada

Risiko penderita Sindrom Brugada untuk mengalami aritmia hingga henti jantung mendadak cenderung tinggi saat tidur dan demam. 

Sindrom ini memang cukup terkenal untuk kambuh saat malam hari, sehingga banyak fenomena dimana penderitanya dapat mengalami henti jantung bahkan kematian saar tertidur. 

"Kejadian Sindrom Brugada itu henti jantungnya paling banyak saat malam," ucap Sunu. Hal ini diakibatkan oleh gangguan otonom dan saraf simpatik yang masih belum diketahui secara pasti mengapa lebih sering muncul di malam hari. Sehingga, para ahli dapat menyimpulkan ini berdasarkan data statistik saja. 

Sedangkan saat demam, penderita Sindrom Brugada juga akan lebih mungkin untuk mengalami gangguan ritme jantung hingga henti jantung mendadak, "demam memberi stimulasi lebih tinggi untuk bisa muncul gangguan ritme jantung."

Walaupun demam yang dialami tidak tinggi, tetap membuat risiko untuk mengalami gangguan ritme jantung meningkat. Oleh karena itu, dr Sunu merekomendasikan untuk para penderita Sindrom Brugada selalu sedia paracetamol yang dapat dikonsumsi sesegera mungkin setelah merasakan gejala demam.

Deteksi Dini Sindrom Brugada

Sindrom Brugada dikenal sebagai penyakit yang tidak memiliki gejala atau keluhan. Oleh karena itu, deteksi dini sangat penting untuk dilakukan. 

Sunu menyebutkan bahwa untuk mendeteksi sindrom ini adalah dengan tes EKG atau elektrokardiogram, rekaman EKG yang menimbulkan kecurigaan karena adanya ritme jantung yang tidak normal, maka diagnosis sindrom brugada dapat dipertimbangkan. "Jadi EKG itu merupakan salah satu screening yang sangat simple tapi sangat penting," ucap Sunu.

Deteksi lainnya juga bisa dilakukan dengan USG untuk melihat adanya penebalan pada jantung. Metode ini biasa dilakukan untuk orang-orang yang memiliki bakat di bidang olahraga atau atlet. 

Sedangkan, menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, bentuk deteksi dini lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan tes darah atau tes air liur untuk mengetahui adanya perubahan genetik yang menyebabkan Sindrom Brugada.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya