Liputan6.com, Jakarta - Grooming dalam konteks hubungan interpersonal, khususnya antara orang dewasa dengan anak atau remaja, merupakan sebuah proses manipulasi psikologis yang bertujuan untuk mengeksploitasi korban secara emosional, psikologis, hingga dalam beberapa kasus berujung pada eksploitasi seksual.Â
Menurut Psikolog Anak, Remaja, dan Keluarga dari Tigagenerasi, Ayoe Sutomo, grooming dilakukan oleh individu dewasa dengan cara membangun kepercayaan secara bertahap hingga korban merasa terikat secara emosional.
Bagaimana Grooming Terjadi?
Proses grooming tidak berlangsung dalam waktu singkat. Umumnya, pelaku melakukannya secara perlahan dan halus sehingga korban sering kali tidak menyadari bahwa mereka sedang dimanipulasi.Â
Pelaku biasanya hadir sebagai sosok yang suportif, penuh perhatian, serta memberikan berbagai hadiah, pujian, dan waktu untuk korban. Hal ini menciptakan rasa istimewa pada diri korban, yang pada akhirnya semakin memperkuat ikatan emosional dengan pelaku.
"Grooming sering terjadi pada anak dan remaja karena kemampuan berpikir kritis mereka belum matang," kata Ayoe Sutomo saat dihubungi Health Liputan6.com pada Kamis, 13 Maret 2025. Dalam teori kognitif, anak dan remaja masih memiliki keterbatasan dalam memahami dinamika relasi yang manipulatif.Â
Mereka cenderung mengalami bias kognitif, di mana mereka merasa nyaman dengan perhatian yang diberikan oleh pelaku, tetapi tidak menyadari bahwa mereka sedang mengalami eksploitasi.Â
Advertisement
Penyebab Banyak Korban Grooming Tidak Sadar Telah Dimanipulasi
Ada beberapa faktor yang menyebabkan korban grooming tidak menyadari bahwa mereka sedang mengalami manipulasi, antara lain:
1. Proses yang Halus dan Bertahap
Grooming tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui tahapan kecil yang sulit dikenali. Perubahan dalam dinamika relasi berlangsung perlahan, sehingga korban tidak menyadari adanya eskalasi menuju eksploitasi.
2. Pelaku Berperan Sebagai Sosok yang Peduli
Pelaku biasanya membangun citra sebagai orang yang baik, penyayang, dan dapat diandalkan. Dengan memberikan perhatian, hadiah, dan pujian, korban merasa dihargai dan nyaman tanpa menyadari bahwa hal ini adalah bagian dari strategi manipulasi.
3. Kurangnya Pengalaman dalam Hubungan Interpersonal
Anak dan remaja memiliki pemahaman yang terbatas tentang relasi yang sehat. Mereka belum memiliki pengalaman untuk mengenali pola hubungan yang manipulatif, sehingga sulit bagi mereka untuk menyadari tanda-tanda eksploitasi.
4. Kemampuan Berpikir Kritis yang Belum Matang
Secara kognitif, anak dan remaja masih dalam tahap perkembangan, termasuk dalam berpikir kritis. Mereka lebih mudah dipengaruhi dan sering kali tidak mampu mengevaluasi niat sebenarnya dari seseorang yang bersikap baik kepada mereka.
5. Kognitif Bias dan Konflik Emosi
Korban sering kali mengalami kebingungan antara kenyamanan yang diberikan oleh pelaku dengan realitas eksploitasi yang terjadi. Mereka mungkin merasa bahagia dalam hubungan tersebut, sehingga sulit menyadari bahwa mereka sedang dimanipulasi.
Pentingnya Edukasi dan Pendampingan Orang Tua
Untuk mencegah grooming, peran orang tua dan lingkungan sekitar sangat penting dalam memberikan edukasi kepada anak dan remaja tentang relasi yang sehat. Mengajarkan mereka untuk berpikir kritis, memahami tanda-tanda manipulasi, serta membangun komunikasi terbuka dapat menjadi langkah penting dalam melindungi mereka dari bahaya grooming.
Kesadaran akan pola grooming dan cara kerjanya dapat membantu anak dan remaja lebih waspada terhadap manipulasi yang dilakukan oleh orang dewasa yang tidak bertanggung jawab. Dengan demikian, mereka dapat lebih terlindungi dari eksploitasi dan memiliki hubungan interpersonal yang lebih sehat serta aman.Â
Advertisement
