Kontroversi Patroli Siber Razia Grup WhatsApp, Ini 5 Faktanya

Polemik ini mulai ramai

oleh Muhammad Fahrur Safi'i diperbarui 18 Jun 2019, 20:15 WIB
Diterbitkan 18 Jun 2019, 20:15 WIB
Cara kunci WhatsApp
Ilustrasi cara kunci WhatsApp (Sumber:Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta Kasus penyebaran informasi hoax memang menjadi salah satu perhatian Polisi Republik Indonesia. Penyebaran hoax di media sosial ini pun kini sudah banyak ditindak oleh pihak kepolisian secara cepat. Namun penyebarannya seakan tak bisa dihentikan. 

Sehingga muncullah kabar akan adanya tim yang akan memantau grup-grup WhatsApp alias patroli siber. Tujuannya untuk menanggulangi penyebaran informasi hoax

Kabar ini menuai kontroversi. Pihak kepolisian sudah angkat bicara. Jika diberlakukan, pihak kepolisian mengaku tidak akan melakukan secara asal, namun akan melihat perkembangan tindak pidananya. Dalam hal ini pun barang bukti dikumpulkan dari media sosial manapun, lalu tahapan akhirnya baru menelusuri percakapan di WhatsApp pihak yang diduga terkait.

Tapi, bagaimana sebenarnya kontroversi kabar razia grup WhatsApp? Berikut fakta-fakta mengenai patroli siber razia grup WhatsApp yang Liputan6.com rangkum dari berbabagai sumber, Selasa (18/6/2019)


Penjelasan razia WhatsApp dari pihak Polri

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo (tengah) saat menyampaikan keterangan pers. (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo (tengah) saat menyampaikan keterangan pers. (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menyampaikan, pemantauan grup dalam aplikasi percakapan privasi seperti Whatsapp ataupun yang sejenisnya tidak akan dilakukan pihak kepolisian. Hal itu lantaran menyinggung ranah pribadi.

"Kita hargai privasi seseorang. Kalau enggak melanggar hukum, ya ngapain," tutur Dedi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (18/6/2019).

Menurut Dedi, penyidik baru akan menembus privasi dalam Whatsapp, baik itu percakapan pribadi ataupun grup jika ada tindak pidana pada yang bersangkutan.

"Jadi enggak ada mantau Whatsapp ya. Secara teknis, Dirsiber bekerja sama dengan Kominfo dan BSSN secara periodik melalukan patroli siber. Ketika menemukan suatu akun penyebar konten hoaks, diingatkan. Kalau misalkan dia masif, baru dilakukan penegakan hukum," jelas dia.

Dalam upaya penegakan hukum itu, barang bukti pun dikumpulkan. Termasuk menyidik berbagai capture konten yang sengaja dibuka ke publik lewat sosial media, hingga akhirnya menelusuri isi percakapan di Whatsapp pihak yang diduga terkait.

"Dalam penegakan hukum kan ditanya barbuknya, nah barbuk kamu apa untuk menyebarkan hoaks tersebut? Handphone. Nih handphone langsung dicek di lab forensik. Dicek alur komunikasinya ke mana. selain dia menyebarkan di medsos, dia menyebarkan di Whatsapp grup juga," kata Dedi

Whatsapp grup itu akan dipantau juga siapa yang terlibat langsung, secara aktif terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. "Kalau enggak, ya enggak. Gitu. Jadi bukan Whatsapp yang di handphone-handphone itu dipatroli," lanjutnya.

 


Kometar Moeldoko: Setujui patroli siber

Moeldoko
Kepala Staf Presiden RI, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengatakan setuju jika ada patroli siber pada grup Whatsapp. Kata dia, negara perlu memantau agar tak ada kondisi yang menganggu situasi nasional.

"Ya memang harus begitu," kata Moeldoko di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/6/2019).

Menurutnya, Menkopolhukam, KSP, Panglima TNI, Kapolri, Menkominfo, Mendagri dan Jaksa Agung sudah sepakat bahwa saat ini perlu perhatian lebih sederet situasi yang bisa mengacaukan situasi negara. Termasuk situasi di media sosial yang bisa mengacaukan kondisi masyarakat.

"Jika akan memunculkan situasi yang semakin runyam maka negara tidak boleh ragu-ragu untuk mengambil keputusuan bahwa salah satu media sosial atau whatsapp dan seterusnya apapun itu yang nyata-nyata akan mengganggu situasi keamanan nasional maka hasus ada upaya untuk mengurangi tensi itu," ungkapnya.

Moeldoko juga menilai patroli siber itu tidak menganggu privasi. Sebab, kata dia, setiap warga negara pasti akan rela melakukan apapun demi negaranya termasuk menggadaikan privasi.

Meski begitu, Moeldoko memastikan patroli ini hanya sebatas mengenali apa yang dilalukan, berbicara apa, dan menulis apa. Serta tidak akan terlalu menyinggung hal pribadi.


Kominfo mendukung patroli siber

Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kominfo, Ferdinandus Setu
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kominfo, Ferdinandus Setu mengatakan, salah satu faktor generasi muda terjangkit narkoba ialah anak muda yang tidak punya kesibukan atau aktivitas.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mendukung langkah tersebut. Menurut Plt Kepala Biro Humas Kemkominfo, Ferdinandus Setu, konteks mendukung ini adalah membersihkan informasi-informasi hoaks yang ada di group Whatsapp. Sebab hal itu dikhawatirkan dapat menimbulkan ketidakstabilan kondisi bangsa.

"Pihak berwenang itu memang punya hak untuk melakukan hal tersebut. Ini sesuai dengan aturan. Kemkominfo sendiri sifatnya hanya mendukung upaya pemberantasan penyebaran hoaks saja," ujar pria yang akrab disapa Nando ini kepada merdeka.com, Selasa (18/6).


Komentar Indonesia ICT Institute

Heru Sutadi, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute. (Liputan6.com/Abdillah)
Heru Sutadi, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute. (Liputan6.com/Abdillah)

Sementara itu, menurut Executive Director, Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, kalau yang dilakukan berbentuk penyadapan hal tersebut tidak boleh. Tetapi kalau dengan metode lain masih dibolehkan.

"Kalau berbentuk penyadapan tidak boleh. Kalau metode lain masih dibolehkan," katanya.

Dia pun menukil keputusan MK. Menurutnya, berdasarkan keputusan MK, hakim MK berpendapat penyadapan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak privasi yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dan aturan penyadapan di UU ITE telah dibatalkan dan diharuskan diatur dalam UU tersendiri yang mengatur penyadapan.

Hakim Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010 membatalkan Pasal 31 ayat (4) UU ITE karena tidak ada pengaturan yang baku mengenai penyadapan, sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya.

"Maka dari itu, metode bagaimana mereka membaca data atau konten WA perlu secara transparan disampaikan ke publik. Sebab ini isu sudah lama beredar tapi selalu dikatakan pemerintah sebagai hoaks," tutur Heru.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya