Pemilu 1971, Saat Golkar Menang Mutlak Tapi...

Total ada 10 partai politik yang bertarung pada Pemilu 1971. Hanya 8 parpol yang meraih kursi.

oleh Yus Ariyanto diperbarui 07 Apr 2014, 23:58 WIB
Diterbitkan 07 Apr 2014, 23:58 WIB
peserta Pemilu 1971

Liputan6.com, Jakarta - Nasib Partai Nasionalis Indonesia (PNI) terbilang tragis. Partai ini memenangi Pemilu 1955 tapi, pada 1967, harus memohon belas kasihan penguasa Orde Baru agar bisa tetap hidup.

Dalam buku Kehormatan Bagi yang Berhak, politisi PNI Manai Sophiaan, menulis para pimpinan PNI menemui Pejabat Presiden Jenderal Soeharto dan Pejabat Panglima Angkatan Darat Letjen Maraden Panggabean. Mereka menanyakan apakah PNI masih berhak hidup ketika rezim Sukarno telah sepenuhnya runtuh.

Nyawa PNI tertolong setelah mereka merilis kebulatan tekad untuk melaksanakan asas Marhaenisme yang steril dari Marxisme-Leninisme, serta berjanji menjalankan Pancasila secara murni dan konsekuen. Lalu, mereka mencabut segala hubungan dengan Sukarno.

Hasilnya, dalam Pemilu 1971, "...PNI mencatat bagaimana massanya berbondong-bondong meninggalkan..." tulis ayah almarhum Sophan Sophiaan itu. PNI cuma meraup 6,9% suara (20 kursi DPR).

Golongan Karya (Golkar) menjadi pemenang: 62,8% suara (236 kursi DPR). Disusul Nahdlatul Ulama (NU) dengan 18,6% suara (58 kursi), Parmusi dengan 5,3% suara (24 kursi). Di bawah PNI, ada Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dengan 2,3% suara (10 kursi).

Ada 10 partai politik yang bertarung pada Pemilu 1971, pemilu pertama di masa Orde Baru. Hanya 8 parpol yang meraih kursi. Dibandingkan 1955, ada dua peserta baru, yaitu Golkar dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).

Beberapa partai pada Pemilu 1955 tak lagi ikut lantaran telah dibubarkan, seperti Masjumi, Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Parmusi merupakan wadah baru sejumlah pendukung Masjumi.

Perihal pelaksanaan Pemilu 1971, simak lagi pengakuan guru besar Ilmu Politik di Ohio State University, R. William "Bill" Liddle. Ia sempat tinggal beberapa bulan di Desa Brosot, Kulon Progo, DI Yogyakarta, untuk mengamati Pemilu 1971.

 

Bung Hatta Tak Bisa Mendirikan Partai

Dalam pengamatan Liddle, Pemilu 1971 bukanlah pemilihan umum yang demokratis. "Sebelum dan selama kampanye, pemimpin-pemimpin partai dikerjai oleh aparat. Pegawai negeri dan aparat desa dipaksa menandatangani sumpah monoloyalitas kepada Golkar," tulisnya dalam esai Suara dari Desa.

Monoloyalitas yang ditunjuk Liddle dilembagakan dalam Inpres No. 6 tahun 1970. Regulasi tersebut menyatakan, pegawai negeri hanya menyalurkan aspirasi politik melalui Golkar.

Lalu, struktur komando teritorial ABRI, yang paralel dengan pemerintahan sipil pada setiap level, bisa menjadi pengawas efektif pegawai pemerintah agar tidak bekerja diam-diam untuk kepentingan non-Golkar.

Liddle menambahkan, kuota perolehan suara diwajibkan bagi kepala desa. Jika gagal memenuhi kuota, mereka terancam kehilangan jabatan."Pemerintah secara besar-besaran mendanai Golkar, sementara pihak swasta tidak berani menyumbang partai lain," catatnya.

Golkar didesain tak boleh kalah. Lawan potensial dihadang. Pada 11 Januari 1967, misalnya, Proklamator Mohammad Hatta mengirim surat kepada Soeharto tentang niatnya mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). Dalam surat balasan tertanggal 17 Mei 1967, Soeharto menyatakan tak bisa mengizinkan pendirian PDII.

“Presiden Soeharto menjelaskan kepada saya waktu itu, bahwa walaupun maksudnya baik, tetapi MPRS telah memutuskan penyederhanaan kepartaian di Indonesia, dan karena itu tidak dapat menyetujui pembentukan partai baru itu. Bagi kita tentunya tidak lain harus menerima keputusan itu,” kata Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab.

 

Baca juga:

Ketika Partai Agama, Nasionalis, dan Komunis Bertarung di Pemilu
Pemilu 1955 Juga `Dipicu` Kegusaran Tentara

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya