Jokowi-JK Diminta Jaga Keseimbangan Pemerintahan Pusat dan Daerah

Menurut Andrinof, ketidakseimbangan pembangunan juga berdampak ke berbagai sektor.

oleh Oscar Ferri diperbarui 05 Sep 2014, 00:09 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2014, 00:09 WIB
Ilustrasi Jokowi-JK (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi Jokowi-JK (Liputan6.com/M.Iqbal)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) diminta agar pembangunan antara pusat dan daerah seimbang. Pemerintah Jokowi-JK juga harus memperhatikan sektor pembangunan di wilayah pedesaan dan pinggiran.

"Penting membangun dari desa dan pinggiran. Persoalan pembangunan berusia pendek karena pondasinya rapuh," kata Pengamat Kebijakan Publik Andrinof Chaniago saat diskusi bertajuk 'Membangun dari Desa dan dari Pinggiran, Menuju Daulat Pangan Bersama Pemerintahan Jokowi-JK' di Gedung Juang 45, Jakarta, Kamis (4/9/2014).
 
Menurut Andrinof, keseimbangan dalam berbagai lini antara pusat dan daerah penting dalam melaksanakan pembangunan ke depan. Tujuannya, agar menghasilkan pertumbuhan ekonomi berjangka panjang.  
 
"Artinya kita akan rentan memasuki wilayah ketidakadilan. Keseimbangan itu penting untuk menjadi bangsa kuat, kokoh. Menciptakan pertumbuhan sambil menciptakan keseimbangan," kata Andrinof.

Menurut Andrinof, ketidakseimbangan pembangunan juga berdampak ke berbagai sektor. Misalnya sektor pangan, di mana selama 10 tahun belakangan ini pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan pangan, yang bisa mengubah Indonesia menjadi bangsa berdaulat. Terbukti, pemerintah harus terus-menerus mengimpor pangan dalam kurun waktu tersebut.

Untuk itu, lanjut Andrinof, pemerintahan selanjutnya di bawah komando Jokowi-JK dipercaya dapat menjaga keseimbangan pembangunan pusat dan daerah di sejumlah sektor. Karena hasilnya, tak cuma pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan manusia dan masyarakat.
 
"Kita harus tobat memasuki pemerintahan baru. Kita harus tobat karena kita berdosa, bahwa kita selama ini melakukan jalan yang salah. Perhatikan sektor kelautan, pangan. Hasilnya bukan semata keseimbangan fisik, tapi membangun manusia dan masyarakat," ujar Andrinof.‎

Agraris, Tapi Masih Impor Beras

‎Pada kesempatan yang sama, Dewan Penasihat Pusat Kajian Trisakti (Pusaka Trisakti) Alwi Hamu menambahkan, meski memiliki wilayah luas dengan potensi pangan banyak, Indonesia tetap mengimpor beras. Cap sebagai negara agraris sekaligus pengekspor beras pada 1987-1988 sudah tidak lagi melekat Indonesia.
 
"Hanya beberapa tahun lalu ekspor beras. Itu karena ada kepedulian pemerintah untuk mendorong petani kita. Tapi, sekarang kita malah impor. Ini kan sebuah ironi," ujar dia.

Menurut Alwi, Indonesia cepat disalip negara tetangga seperti Vietnam sebagai negara penghasil beras. Jika pada 1999 Indonesia membantu negara sosialis, itu yang kekurangan stok beras, namun pada 2009 justru Vietnam malah menjadi pengekspor beras produksinya ke Indonesia.
 
"Pada 1999, Indonesia membantu 1 juta ton beras kepada Vietnam. Hanya dalam 10 tahun kemudian, kita kok meminta agar Vietnam yang bisa membantu kita dalam penyediaan beras," kata Alwi.

"Dari pengimpor menjadi pengekspor itu Vietnam. Teknologi, mekanisasi mereka contek dari beberapa negara," ujar dia.
 
Maka itulah, Alwi berharap masyarakat turut memberi saran kepada Jokowi-JK dalam menjalankan roda pemerintahan yang baru untuk mengatasi atau menghilangkan persoalan kekurangan pangan Indonesia ke depan.
 
"Kita rakit pemikiran, kesimpulan yang bisa kita sumbangkan pada pemerintah ke depan. Yakin, Indonesia sebuah negara kaya pangan tidak hanya dari daratan," pungkas Alwi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya