Liputan6.com, Yogyakarta - Pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan impor daging sapi untuk menekan harga daging yang terus melonjak pada momen Ramadan dan diperkirakan berlanjut hingga Lebaran. Namun kebijakan ini dinilai hanya menyelesaikan masalah harga daging sapi dalam jangka pendek.
Menurut Dekan Fakultas Peternakan UGM Prof Ali Agus, kebijakan jangka pendek tidak menyelesaikan persoalan di lapangan, karena tidak ada tambahan produksi populasi sapi. Selama ini pemerintah hanya mengandalkan kebijakan impor daging dan tidak berupaya menambah populasi sapi betina produktif. Ini yang dinilai membuat harga daging sapi akan terus tinggi.
Sebab itu, ia menyarankan agar pemerintah perlu melakukan impor bibit sapi hidup untuk menambah jumlah populasi sapi.
“Minimal 200 ribu ekor sapi bibit lalu disebar, itu menambah populasi. Namun saya kira itu tak mudah untuk capai 50 ribu saja nggak berhasil. Seharusnya pemerintah bisa melibatkan swasta,” kata Ali Agus, seperti dikutip Minggu (12/6/2016).
Ali Agus menjelaskan jumlah populasi sapi nasional diperkirakan mencapai 12 juta ekor. Jumlah itu sudah termasuk sapi produktif yang mencapai 5-6 juta ekor. Sementara untuk sapi siap potong hanya mencapai 2-3 juta per tahun.
“Makanya saat ini 40 persen kebutuhan daging harus impor berupa daging beku atau sapi bakalan hidup,” dia menambahkan.
Ali mengatakan dalam mengimpor 200 ribu ekor bibit sapi menurut Ali Agus pemerintah tidak harus bergerak sendiri. Pemerintah bisa mengajak swasta yang selama ini mendapat izin melakukan impor sapi bakalan. Sesuai dengan peraturan yang ada selama ini para perusahaan impor sapi bakalan diharuskan membawa sapi betina produktif.
“Pelaku swasta impor bakalan, membawa sapi betina produktif minimal 10 persen. Pemerintah sebenarnya bisa memainkan perannya. Namun aturan ini tidak pernah dijalankan,” Ujarnya. (Fathi mahmud/Nrm)
Advertisement