Ziarah Waliyulloh, Merawat Tradisi Keramasan ala Pesantren Sadang Lebak Garut

Dalam budaya masyarakat Sunda, ada tiga tradisi yang selalu dilakukan sebelum datangnya bulan suci Ramadan. Selain keramasan, juga dikenal istilah lain yakni nyandran atau ziarah kubur serta munggahan.

oleh Nefri IngeJayadi Supriadin diperbarui 13 Apr 2021, 12:00 WIB
Diterbitkan 13 Apr 2021, 12:00 WIB
Merawat Tradisi Keramasan dengan Ziarah Waliyulloh ala Pesantren Sadang Lebak Garut
Nampak para santriwati Ponpes Sadang Lebak, Wanaraja, Garut, Jawa Barat tengah berfoto bersama Pengasuh Ponpes KH Aceng Hasan di depan Manara Pandang Makam Syech Hasanuddin Banten. (Liputan6.com/ Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Garut Bagi Pesantren Sadang Lebak, Kecamatan Wanaraja, Garut, Jawa Barat (Jabar), masuknya momen bulan suci Ramadan adalah anugerah.

Pesantren tradisional yang sejak lama lekat dengan budaya mengkaji kitab ‘kuning’ tersebut, selalu menyambut Ramadan dengan penuh gegap gempita.

Salah satunya menggelar acara keramasan dengan berziarah ke makam waliyulloh setiap tahunnya, yang diikuti ratusan santri dan jemaahnya tanpa pungutan biaya alias gratis.

Pengasuh Pondok Pesantren Sadang Lebak Wanaraja Garut KH Aceng Hasan mengatakan, keramasan yang berarti membersihkan diri, atau dilakukan sebelumnya mandi taubat.

Tradisi tersebut sengaja dilakukan, menjelang datangnya Ramadan untuk mendapatkan keberkahan selama berpuasa.

“Kami berharap dengan hati yang bersih, kita bisa melaksanakan puasa Ramadan dengan penuh keberkahan dan mendapatkan magfiron ampunan Allah SWT,” ujarnya, beberapa waktu lalu.

Diawali dengan keramasan atau mandi taubat, masing-masing santri di pesantren dan para jemaah pengajian di rumahnya masing-masing sebelum keberangkatan.

Mereka kemudian berkumpul di Aula pesantren, untuk mengikuti tausiah sekaligus bermaafan sebelum perjalanan ziarah dimulai.

Tampak seluruh peserta mengikuti kegiatan itu dengan penuh khidmah, diawali dengan ziarah di makam keluarga pesantren Sadang Lebak. Santri dan jemaah kemudian memulai perjalanan tiga hari tiga malam, dalam menjalani ziarah waliyulloh tersebut.

“Keberangkatan dimulai sekitar pukul 21.00 WIB pada Sabtu (10/4/2021) pekan lalu,” ujar Cecep, salah satu panitia kegiatan itu.

Jika tahun sebelumnya, rute ziarah menyusuri hampir seluruh Pulau Jawa dengan paketan jiran wali sogo (sembilan waliyulloh), kali ini hanya wilayah Banten dan Cianjur yang menjadi tujuan dari perjalanan religi tersebut.

Sebut saja, makam Syech Maulana Yusuf, Sultan Hasanuddin, Syech Soleh Gunung Santri, Syech Asnawi Caringin, Syech Mansyuruddin wilayah Cikandeuan hingga Batu Quran.

Selama perjalanan, para peserta ziarah diingatkan untuk selalu memperbanyak selawat dan zikir sebagai pengingat diri kepada Sang Khalik.

“Ingat, ini bukan mau berwisata tapi mau berziarah, perbanyak doa,” pinta Abah, panggilan akrab KH Aceng Hasan, sesekali mengingatkan para santri.

Menurutnya, banyak hikmah yang diperoleh peserta ziarah. Selain melihat bagaimana gambaran para wali saat menyebarkan Islam, hingga sulitnya medan yang harus dilalui peserta.

Seperti perjalanan menuju ke lokasi Gunung Santri, yang harus naik hingga ke atas perbukitan, yang merupakan lokasi makam Syech Soleh.

“Perjalanan diakhiri dengan kunjungan silaturahmi ke Ponpes Attohoriyah Selajambe, di wilayah Ciranjang Kabupaten Cianjur,” ujar Abah.

Menurut Abah, sikap saling menghargai serta tawadu atau rendah hati, penting dilakukan seluruh santri termasuk para jemaah pesantren, terutama saat memasuki bulan suci Ramadan.

“Semakin diri kita malu dan takut terhadap Allah SWT, maka Allah SWT akan semakin memperhatikan diri kita dalam hal apapun,” ujar Pengasuk Pondok Pesantren Sadang Lebak Wanaraja Garut tersebut.

Dengan jalan ziarah ke makam waliyulloh tersebut, Abah berharap para santri dan jemaah bisa mencontoh sikap dan tauladan mereka, terutama dalam menjalan aktivitas sehari-sehari.

“Semoga Ramadan tahun ini keberkahan selalu menyertai kita semua,” ujarnya, diikuti “Amin” oleh seluruh jemaahnya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini :

Tradisi Masyarakat Sunda

Salah satu acara munggahan yakni makan bersama yang dilakukan bersama sanak saudara menyambut datangnya bulan suci Ramadan.
Salah satu acara munggahan yakni makan bersama yang dilakukan bersama sanak saudara menyambut datangnya bulan suci Ramadan. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Dalam budaya masyarakat Sunda, lanjut Abah, ada tiga tradisi yang selalu dilakukan sebelum datangnya bulan suci Ramadan. Selain keramasan, juga dikenal istilah lain yakni nyandran atau jiarah kubur serta munggahan.

Nyandaran adalah berjiarah ke makam leluhur, dan sudah menjadi ritual masyarakat muslim di seluruh dunia sejak lama, sebagai salah satu ajaran yang pernah disampaikan Rosululloh Muhammad SAW.

Sementara istilah Munggahan, yang berarti meningkat, biasa dilakukan hampir mayoritas masyarakat Sunda terutama di wilayah Jawa Barat bagian selatan mulai Garut hingga Pangandaran.

Kegiatan ini diharapkan mampu menaikan derajat seseorang dalam perubahan hidupnya, terutama soal kebaikan selama menjalankan ibadah di bulan suci Ramadan.

Biasanya bagi masyarakat Garut, munggahan diisi dengan ragam acara mulai saling bermaafan hingga diakhir dengan makan bersama, menunjukan arti penuh silaturahmi dan kebersamaan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya