Sejarah Pelabuhan Merak dan Jejak Kejayaan Kesultanan Banten

Pelabuhan Merak, Banten penting dalam sistem transportasi Indonesia. Ini tak lepas dari posisi Pelabuhan Merak sebagai penghubung Pulau Jawa dan Sumatera

oleh Liputan6.com diperbarui 30 Des 2022, 08:30 WIB
Diterbitkan 30 Des 2022, 08:30 WIB
Pelabuhan Merak
Pelabuhan Merak di Banten selalu jadi perbincangan publik, khususnya saat mudik Lebaran (dok.dephub.go.id)

Liputan6.com, Serang - Pelabuhan Merak, Banten penting dalam sistem transportasi Indonesia. Ini tak lepas dari posisi Pelabuhan Merak sebagai penghubung Pulau Jawa dan Sumatera.

Selain Jawa, pertumbuhan ekonomi dan penduduk di Sumatera begitu pesat. Sumatera juga memiliki potensi besar yang tak dimiliki Jawa sehingga pelabuhan Merak ke Pelabuhan Bakeuheni dan sebaliknya selalu ramai.

Pelabuhan ini juga selalu menjadi perhatian publik pada musim mudik. Sementara, di Indonesia, musim mudik terjadi beberapa kali tiap tahun. Terakbar tentu saja lebaran Idul Fitri.

Namun, pada musim mudik lainnya, pelabuhan ini juga selalu ramai. Misalnya, pada libur Natal 2022 dan tahun baru 2023 ini.

Sejak zaman dulu, Pelabuhan Merak menjadi dermaga penting transportasi laut, perdagangan dan penumpang. Pelabuhan Merak pertama kali dioperasikan pada 1912.

Mengutip laman Kementerian Perhubungan, berdasarkan catatan sejarah, Pelabuhan Karangantu di Banten ini dulu merupakan pelabuhan besar sekaligus pelabuhan tertua di Pulau Jawa sebagai pintu gerbang perdagangan internasional untuk Nusantara (Indonesia).

Dipilihnya Merak sebagai lokasi pelabuhan salah satunya karena posisi Merak sangat berdekatan dengan Pulau Sumatera (Andalas) dibandingkan dengan daerah lainnya di pantai Utara di Pulau Jawa. Dari pelabuhan yang ada di Banten inilah menjadi pintu keluar masuknya para saudagar atau pedagang-pedagang yang berlayar memasuki Nusantara. Pada abad ke-15, Merak adalah sebuah bandar pelabuhan penting dalam perdagangan internasional.

Saat itu, Banten yang masih berbentuk kota menjadi sebuah tempat transit bagi jalur perdagangan antarnegara. Kapal-kapal asing  dari negara Persia, Arab, China, Inggris, Gujarat, Portugisl, hadir di pelabuhan tertua di Jawa dengan nama Karangantu.

Sementara, Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomian kesultanan. Banten berkembang pesat jadi kota pelabuhan dan perdagangan pada era Sultan Banten Pertama Maulana Hasanuddin putra kandung Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Kesultanan Banten adalah kerajaan Islam yang pernah mewarnai sejarah bangsa Indonesia. Heroisme rakyat Banten dan Sultan Hasanuddin menginspirasi perlawanan bangsa Indonesia melawan penjajah dan kisahnya abadi hingga saat ini.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Pemindahan Pusat Pemerintahan

Jejak Nyata Bhineka Tunggal Ika di Kesultanan Banten
Ajaran Bhineka Tunggal Ika sudah diadaptasi Kesultanan Banten sejak masa kepemimpinan Sultan Maulana Hasanuddin. (Liputan6.com/Yandhi Deslatama)

Dalam laman itu juga disebutkan, pada era kepemimpinannya, pusat pemerintahan dialihkan dari bagian hulu ke hilir Sungai Cibanten. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan memudahkan hubungan dagang dengan pesisir Sumatera melalui Selat Sunda. Awalnya, pelabuhan Karangantu adalah menjadi pelabuhan nelayan. 

Pada masa itu, Banten melihat adanya peluang akibat situasi dan kondisi perdagangan di Asia Tenggara yang sedang berkecamuk. Pedagang dari mancanegara risau karena Malaka jatuh ke tangan Portugis. Dengan demikian, pedagang muslim yang tengah bermusuhan dengan Portugis enggan berhubungan dagang dengan Malaka, para pedagang mengalihkan jalur perdagangan ke Selat Sunda.

Kemudian mereka singgah di Karangantu. Sejak itu, Karangantu jadi pusat perdagangan internasional yang ramai disinggahi pedagang dari Asia, Afrika, dan Eropa. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten  sebagai pedagang perantara. Kondisi itu menjadikan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting.

Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.

Masa Sultan Ageng Tirtayasa yang bertakhta periode 1651--1682 dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Pada masa itu Banten merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, dengan masyarakat yang terbuka dan makmur.

Armada Kesultanan Banten hingga Masa Redup

Patung Sultan Hasanuddin
Patung Sultan Hasanuddin (Liputan6.com/Ahmad Yusran)

 

Banten memiliki armada yang mengesankan di bawah Sultan Ageng Tirtayasa, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya pada 1661.

Pada masa itu Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah memblokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten. Titik balik kehancuran Banten Lama terjadi saat pecah perang saudara antara Sultan Haji dengan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa, menurut laman tersebut.

Sejak itu, pengaruh kesultanan Banten mulai pudar. Banten Lama semakin ditinggalkan setelah pusat pemerintahan dipindah ke Serang. Pelabuhan Karangantu tak lagi dilirik karena kondisi lingkungan akibat pengendapan lumpur yang tidak memungkinkan kapal untuk singgah. Masa keemasan pelabuhan ini berakhir pada abad ke-17.

Perhubungan Laut tidak tinggal diam melihat kondisi itu, dan masyarakat Banten sadar akan kebesaran sejarah kerajaan maritim yang pernah membesarkannya mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya agar Banten menjadi kawasan multietnis. Banten pada saat itu berdagang dengan Persia, Vietnam, Filifina, Jepang, Korea.

Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas pelabuhan (KSOP) Banten bersama masyarakat maritim berusaha mengejar ketertinggalannya, membangun kembali perekonomian melalui transportasi laut bersandar pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran mendorong partisipasi swasta, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah untuk secara bersama dengan pemerintah mengelola pelabuhan kembali menuju perdagangan nasional dan internasional. (Sumber: dephub.go.id via Lifestyle Liputan6.com)

Tim Rembulan

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya