Sejarah dan Hikmah Dibalik Ibadah Sa’i, Kisah Perjuangan Ibu Demi Anaknya

Ibadah sa’i erat kaitannya dengan kisah Siti Hajar dan putranya Nabi Ismail AS. Kisah ini bermula saat Nabi Ibrahim AS harus meninggalkan Siti Hajar yang baru melahirkan Nabi Ismail AS.

oleh Putry Damayanty diperbarui 02 Jun 2023, 22:30 WIB
Diterbitkan 02 Jun 2023, 22:30 WIB
Menjadi Saksi di Hari Kiamat bagi Orang yang Mengusapnya dengan Benar
Ilustrasi Ibadah Haji Credit: shutterstock.com

Liputan6.com, Jakarta - Salah satu rukun dalam melaksanakan ibadah umrah dan haji adalah sa’i. Ibadah sa'i dilakukan dengan berlari-lari kecil atau berjalan dengan bergegas di antara bukit shafa ke marwa berjarak 405 meter sebanyak tujuh kali.

Secara bahasa, sa’i memiliki arti berjuang atau berusaha. Namun kemudian, makna sa’i dkembangkan menjadi sebuah perjuangan hidup yang dilakukan untuk pribadi, keluarga, maupun masyarakat.

Sa’i dimaknai sebagai perjuangan hidup yang pantang menyerah dan tidak putus asa. Bahwa hidup harus dijalani dengan penuh kesabaran, ketaqwaan, serta ketawakalan kepada Allah SWT.

Pelaksanaan sa’i dilakukan dari bukit Shafa. Ketika berada di Shafa, jemaah naik ke atas bukit menuju Marwah dan kemudian menghadap ke ka’bah. Ibadah sa’i erat kaitannya dengan kisah Siti Hajar dan putranya Nabi Ismail AS.

Sejarah Sa’i: Siti Hajar, Nabi Ibrahim AS, dan Nabi Ismail AS

Sejarah sa’i di antara Bukit Shafa dan Marwah berawal ketika Siti Hajar berusaha mencari air untuk putranya Ismail yang tengah kehausan. Ketika itu, Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah SWT untuk meninggalkan istri dan juga anaknya di sebuah gurun yang sangat tandus. Siti Hajar yang merasa bingung dan sedih atas rencana kepergian suaminya pun bertanya “Hendak pergi kemanakah engkau Ibrahim?”.

Mendengar pertanyaan tersebut dari istrinya, Nabi Ibrahim tidak menjawab dan diam saja. Kemudian Siti Hajar menambahkan, “Sampai hatikah engkau Ibrahim meninggalkan kami berdua di tempat sunyi dan tandus seperti ini?”.

Ibrahim masih tidak menjawab dan tidak menoleh sama sekali. Kemudian Siti Hajar berkata kembali, “Adakah ini perintah dari Allah SWT?”. Saat itu, Nabi Ibrahim menjawab, “Ya”. Mendengar jawaban tersebut, hati Siti Hajar menjadi lebih tenang. Lalu kemudian Siti Hajar kembali berkata, ”Jika memang demikian, pastilah Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan nasib kita.”

Nabi Ibrahim kemudian pergi meninggalkan Siti Hajar dan juga Ismail dengan membekali mereka makanan dan minuman. Akan tetapi bekal yang diberikan Ibrahim tersebut lama-kelamaan habis juga. Siti Hajar kemudian berusaha mencari air untuk anaknya.

Dari tempat ia berada, Siti Hajar melihat sebuah bukit, yaitu Bukit Shafa. Ia kemudian bergegas mencari air menuju puncak Bukit Shafa, akan tetapi nihil. Ia tidak menemukan apapun. Kemudian ia bergegas turun ke arah Bukit Marwah, namun nihil juga. Siti Hajar kembali lagi ke Bukit Shafa, dan kembali lagi ke Bukit Marwah. Demikian seterusnya hingga tujuh kali.

Setelah tujuh kali bergegas dari Shafa ke Marwah dan sebaliknya, dari Bukit Marwah Siti Hajar mendengar suara gemericik air. Ia kemudian menghampiri arah suara tersebut. Betapa terkejutnya ia ketika menemukan pancaran air yang deras keluar dari dalam tanah di bawah telapak kaki Nabi Ismail.

Kini air tersebut kemudian dinamakan dengan air zamzam. Dan hingga saat ini, air zam-zam tidak pernah surut ataupun kekeringan. Orang-orang Arab yang melintasi kawasan tersebut kemudian memutuskan untuk tinggal dan jadilah saat ini menjadi Kota Mekah yang berkembang.

Di tempat tersebut kemudian dilaksanakan ibadah haji dan umrah oleh seluruh umat muslim di seluruh dunia. Dan peristiwa Siti Hajar tersebut kemudian dijadikan dasar ibadah sa’i yang saat ini dilakukan ketika ibadah umrah atau haji.

Pelajaran yang Dapat Diambil

Belajar dari Siti Hajar, ada banyak hikmah yang dapat diambil dari kisah di atas. Berbagai nilai-nilai positif yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

1. Belajar tentang hikmah

Siti Hajar adalah salah satu hamba yang istimewa di hadapan Allah karena keimanannya. Ini terbukti dari reaksi beliau ketika Nabi Ibrahim menyatakan bahwa apa yang dilakukannya adalah semata-mata perintah Allah SWT. Ia juga yakin bahwa Allah tak akan menelantarkannya, walaupun tampaknya ia tinggal di tanah yang tandus saat itu.

2. Bersikap tawakal

Siti Hajar juga memperlihatkan betapa ia penuh tawakal kepada penciptanya. Berbeda dengan pasrah, tawakal merupakan sikap menggantungkan segala apa yang terjadi sesuai dengan kehendak Allah. Oleh karena itu, dalam sikap tawakal juga ada peran ikhtiar Siti Hajar di dalamnya. Tugas manusia adalah berikhtiar, tetapi soal takdir Allah yang menentukan. Sehingga tetap memasrahkan diri kepada Allah sebagai satu-satunya penolong dan Yang Maha Menghendaki.

3. Mendahulukan ikhtiar

Seperti yang disebutkan di atas, tawakkal tetap disertai dengan ikhtiar. Ibunda Siti Hajar mencontohkan bagaimana ia tiada berputus asa menemukan sumber air antara bukit shafa dan marwa. Ia terus bergerak tanpa henti, diiringi keimanan dan sikap tawakkalnya untuk terus berikhtiar. Sehingga Allah berikan pertolongan mata air zamzam di bawah kaki Ismail kecil.

Jika dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, kita boleh berikhtiar dengan cara apapun selama itu dengan hal yang diridhoi Allah. Akan tetapi, kadang Allah hadirkan solusi dari arah yang tak disangka-sangka. Tak harus dari apa yang diharapkan, tetapi tetap meyakini bahwa itulah yang terbaik menurut Allah.

4. Ikhlas

Terakhir, dari rukun sa’i kita bisa mengambil hikmah tentang keikhlasan. Bagaimana Siti Hajar sangat ikhlas menerima ketetapan takdir yang Allah berikan, taat kepada perintah-Nya dengan ikhlas tanpa keluhan saat ditinggalkan Nabi Ibrahim, ikhlas merawat Ismail. Tanpa adanya keikhlasan, akan sulit rasanya menerima ketetapan Allah, sebab sifat manusia yang tak pernah ada puasnya.

Saksikan Video Pilihan ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya