Liputan6.com, Jakarta - Ghibah, dalam konteks Islam, mengacu pada perbuatan berbicara atau menyebarkan perkataan yang buruk atau merendahkan seseorang di belakangnya tanpa alasan yang dibenarkan.
Ghibah dianggap sebagai perbuatan yang tercela dalam agama Islam dan dihindari oleh Muslim.
Al-Qur'an menyebutkan dalam Surah Al-Hujurat (49:12): "Dan janganlah sebahagian kamu mengghibah sebahagian yang lain. Adakah salah seorang di antara kamu suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik terhadapnya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."
Advertisement
Dalam hadis, Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan tentang pentingnya menjauhi ghibah. Beliau bersabda, "Apakah kalian mengetahui apa yang dimaksud dengan ghibah?" Para sahabat menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Nabi bersabda, "Ghibah adalah menyebutkan perkataan saudaramu yang tidak dia sukai." (HR. Muslim)
Baca Juga
Dalam Islam, ditekankan untuk menjaga lidah dan berbicara dengan baik tentang orang lain. Jika ada permasalahan dengan seseorang, disarankan untuk berbicara langsung dengannya dan mencari solusi yang baik. Menghindari ghibah adalah bagian dari etika dan akhlak mulia yang diajarkan dalam agama Islam.
Simak Video Pilihan Ini:
Ini Cara Menghindari Ghibah
Untuk menghindari ghibah, agar selamat dunia akhirat, beberapa langkah yang dapat diambil:
Kesadaran dan niat yang baik, memiliki kesadaran bahwa ghibah adalah perbuatan yang tidak diinginkan dan merugikan. Mempunyai niat yang baik untuk menjaga lidah dan menghindari berbicara buruk tentang orang lain.
Menjaga kontrol diri, penting untuk menjaga kendali diri saat berbicara tentang orang lain. Jika kita mendengar informasi atau cerita tentang seseorang yang negatif, berusaha untuk tidak langsung mengikuti arus percakapan dan berpartisipasi dalam ghibah.
Memilih teman dan lingkungan yang baik, mengelilingi diri dengan teman-teman dan lingkungan yang mendukung dan mendorong untuk berbicara secara positif tentang orang lain. Memilih teman yang tidak suka berbicara buruk atau menggossip akan membantu mencegah terjadinya ghibah.
Berempati dan melihat sisi positif, jika kita memiliki ketidaksepakatan atau masalah dengan seseorang, berusaha untuk berempati dan melihat sisi positif dalam diri mereka. Fokus pada kebaikan dan mencari pemahaman yang baik.
Menjaga kerahasiaan, penting untuk menjaga kerahasiaan orang lain. Tidak membocorkan rahasia atau informasi pribadi tentang seseorang kepada orang lain, karena hal itu dapat mengarah pada ghibah.
Mengalihkan pembicaraan, jika kita berada dalam situasi di mana ghibah sedang terjadi, berusaha untuk mengalihkan pembicaraan ke topik yang positif atau memberikan saran untuk membantu orang tersebut memperbaiki situasinya.
Memperbaiki diri, menghabiskan waktu dan energi untuk memperbaiki diri sendiri, meningkatkan kesadaran diri, dan mengembangkan sikap yang lebih baik terhadap orang lain. Dengan menjadi pribadi yang lebih baik, kita cenderung menghindari ghibah.
Menghindari ghibah membutuhkan kesadaran, kontrol diri, dan disiplin dalam percakapan kita sehari-hari. Dengan berlatih dan berupaya secara konsisten, kita dapat mengembangkan kebiasaan berbicara yang baik dan menjaga hati dan pikiran yang bersih.
Advertisement
Ghibah Berawal dari Percakapan dan Hubungan Sosial
Menukil muslim.or.id, hubungan sosial dalam masyarakat tergambar dari komunikasi yang dibangun dalam pergaulan sehari-hari, khususnya di kalangan anak muda. Hal ini juga tidak terlepas di kalangan kaum tua. Namun sayang, disadari atau tidak, kita kadangkala terjerumus pada perbuatan dosa. Dosa itu dikenal dengan nama “gibah”.
Percakapan dan diskusi dalam hubungan sosial tersebut seakan terasa hambar jika tidak membicarakan tentang seseorang, baik dari segi positif maupun negatifnya. Orang yang dibicarakan tersebut umumnya tidak berada di tengah-tengah percakapan atau diskusi tersebut.
Kita pun menyadari bahwa sebagian besar topik pembicaraan itu terkadang berkaitan dengan aib seseorang yang semestinya kita jaga dan tidak dibicarakan. Meskipun kita tahu kebenaran tentang aib tersebut. Namun, rasa-rasanya godaan setan dan dorongan nafsu untuk tetap membicarakan aib orang lain seakan tak terbendung sehingga tanpa sadar kita telah melakukan perbuatan menggibahi saudara kita sendiri. Wal’iyadzu billah.
Defiisi Ghibah Secara Syariat
Gibah dalam definisi syariat, perhatikan hadis berikut:
قيل يا رسولَ اللهِ ما الغيبةُ ؟ قال : ذِكرُك أخاك بما يكرهُ . قال : أرأيتَ إن كان فيه ما أقولُ ؟ قال : إن كان فيه ما تقولُ فقد اغتبتَه ، وإن لم يكنْ فيه ما تقولُ فقد بهَتَّه
Rasulullah SAW ditanya, “Ya Rasulullah, apakah gibah itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “(Gibah) adalah engkau menyebutkan perkara yang tidak disukai saudaramu.” Beliau ditanya, “Bagaimana pendapat engkau, jika yang aku ceritakan tentang saudaraku benar ada padanya?” Beliau menjawab, “Jika yang engkau katakan benar ada padanya, maka sungguh engkau telah menggibahinya. Namun, jika tidak, maka engkau telah menebarkan kedustaan atasnya.” (HR. Muslim (2589), Abu Daud (4874), At-Tirmidzi (1934), An-Nasa’i (11518), dan Ahmad (8985), disahihkan oleh Al-Albani, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Gibah bersumber dari prasangka. Padahal setiap pikiran memiliki keterbatasan. Hanya saja banyak manusia yang tidak menyadarinya sehingga cukup mudah berprasangka, menghakimi, bahkan menyimpulkan hal-hal yang berkaitan dengan sisi buruk orang lain. Wal’iyadzu billah.
Allah Ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujarat: 11)
Meski aib orang yang kita bicarakan itu adalah nyata, selama hal itu merupakan perkara yang tidak disukai oleh orang yang kita bicarakan, maka tetap menjadi hal yang terlarang dalam agama. Karena itulah yang disebut dengan gibah. Sedangkan jika hal itu tidak benar adanya, maka kita telah berbuat kedustaan.
Prasangka adalah awal mula daripada perbuatan gibah karena prasangka membawa seseorang untuk mencari keburukan orang lain. Bayangkan, dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa perumpamaan orang yang menggunjing (menggibah) adalah bagaikan memakan daging saudaranya yang telah mati. Hal ini menunjukkan bahwa sungguh gibah adalah perbuatan yang menjijikkan yang seharusnya kita jauhi.
Seorang muslim yang bertekad untuk menjalani hari-hari dengan penuh manfaat hendaknya membuat rencana detail apa yang akan ia lakukan. Pada hari itu, pekan itu, tahun itu, dan bahkan apa yang akan ia ikhtiarkan untuk kebaikan dunia dan akhiratnya.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)
Advertisement
Muslim Harus Tahu Apa yang akan Dilakukan
Seorang muslim adalah visioner. Ia mengetahui apa yang harus ia lakukan dengan berbagai manfaat bagi dirinya dan bagi umat. Dengan rencana detail yang telah kita persiapkan, kita menjadi lebih sibuk dengan muhasabah diri. Dan dengannya kita terhindar dari hal-hal yang tidak bermanfaat bagi diri kita khususnya dari perbuatan gibah yang justru mendatangkan dosa.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata,
فطُوبى لمن شغله عيبُه عن عيوب النَّاس
“Maka, berbahagialah bagi orang yang menyibukkan dirinya (dengan mengintrospeksi diri) dari aibnya sendiri daripada ia sibuk mencari aib orang lain.” (Lihat Kitab Miftah Darussaadah wa Mansyur Wilayatil Alam wal Iradh karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 344)
Sadarilah bahwa kita sebagai hamba (yang penuh dengan kekurangan, kesalahan, kekhilafan, dan dosa) adalah manusia yang selamanya bergantung pada kasih sayang Allah Ta’ala. Di antara ketergantungan kita tersebut adalah keinginan agar aib-aib dan dosa-dosa kita ditutupi oleh Allah Ta’ala agar kita dipandang mulia di hadapan manusia.
Ingat! Sekali Allah Ta’ala membuka aib kita, maka sungguh bisa jadi kita akan jauh lebih hina di mata manusia daripada orang-orang yang selama ini kita sebut-sebut aibnya. Oleh karenanya, janganlah kita menjadi penyebab terbukanya aib diri sendiri dengan menyebut-nyebut aib saudara kita sendiri. Allah Ta’ala Mahatahu siapa hamba-hamba-Nya yang lebih hina atau lebih bertakwa di hadapan-Nya.
Muhammad ibnu Wasi’ rahimahullah berkata,
وْ كَانَ لِلذُّنُوبِ رِيحٌ مَا قَدَرَ أَحَدٌ أَنْ يَجْلِسَ إِلَيَّ
“Kalau seandainya dosa ini memiliki bau, niscaya tidak ada seorang pun yang mau duduk denganku.” (Lihat Kitab Muhasabatu An-Nafsi li Ibni Abi Dunya karya Ibnu Abi Dunya, hal. 82). Wallahu A’lam.
Penulis: Nugroho Purbo