Hukum Orang Kaya Terima Daging Kurban, Emang Boleh?

Bagaimana hukumnya jika orang kaya mendapatkan hewan kurban, apakah diperbolehkan?

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Jun 2024, 13:30 WIB
Diterbitkan 12 Jun 2024, 13:30 WIB
Ayu Ting Ting potong daging kurban (Instagram/ayutingting92)
Ayu Ting Ting potong daging kurban (Instagram/ayutingting92)

Liputan6.com, Cilacap - Ibadah qurban merupakan momen peringatan atas peristiwa penting, yakni pengorbanan besar Nabi Ibrahim AS dan putranya Ismail. Selain itu, ibadah kurban juga memiliki  implikasi sosial bagi pelakunya.

Semangat berbagi dalam momen perayaan Idul Adha merupakan pengejawantahan dari sikap sosial. Selain itu terkandung juga implikasi spiritual bagi sohibul qurban.

Dengan berkurban, seseorang akan memperoleh pahala sedekah sekaligus dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah. Qurban sendiri seakar dengan kata qurb yang artinya dekat.

Dalam praktik keseharian dan umum dilakukan, rupanya penerima daging kurban bukan hanya fakir miskin saja, melainkan orang yang tergolong kaya nyatanya juga menerima.

Lantas menyikapi hal tersebut, bagaimana hukum orang kaya tapi menerima daging kurban?

 

Simak Video Pilihan Ini:

Beda Status Daging Qurban untuk Orang Miskin dan Kaya

Masjid Al Azhar Potong dan Distribusikan Ratusan Hewan Kurban
Petugas menimbang daging kurban di Lapangan Masjid Al Azhar, Jakarta, Jumat (1/9). Masjid Al Azhar Jakarta memotong dan mendistribusikan ratusan hewan kurban pada Hari Raya Idul Adha 1438 H. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Menukil NU Online ulama Syafi’iyyah menegaskan bahwa kurban yang diterima orang miskin berstatus tamlik (memberi hak kepemilikan secara penuh). Kurban yang diterima mereka menjadi hak miliknya secara utuh.

Oleh karenanya, ia diperbolehkan mengalokasikan kurban yang diterimanya secara bebas, dengan menjual, menghibahkan, menyedekahkan, memakan, menyuguhkan kepada tamu, dan lain sebagainya.

Sementara kurban yang diterima orang kaya tidak menjadi hak miliknya secara utuh, ia hanya diperbolehkan menerima kurban untuk alokasi yang bersifat konsumtif, tidak diperkenankan mengalokasikannya untuk alokasi yang bersifat memindahkan kepemilikan secara penuh dan bebas.

Oleh karenanya, orang kaya hanya diperkenankan memakan dan memberikan kepada orang lain untuk dimakan saja, seperti disuguhkan atau disedekahkan kepada tamu.

Tidak diperbolehkan bagi orang kaya menjual, menghibahkan, mewasiatkan, atau alokasi serupa yang memberikan hak penuh kepada pihak yang diberi. Hikmah dari pembatasan ini adalah agar distribusi daging kurban tidak dimonopoli untuk kepentingan orang kaya, sebab mereka pada dasarnya tidak perlu dibantu. Pihak yang justru paling berhak mendapat bantuan adalah orang miskin. Oleh karenanya, fuqaha menandaskan, “inna ghâyatahu ka hâlil mudlahhi” (orang kaya penerima sedekah kurban seperti orang yang berkurban).

Bolehkah Orang Kaya Menerima Daging Kurban?

Daging Kurban
Ilustrasi Daging Sapi Kurban / Freepik by bublikhaus

Menurut Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, yang dimaksud orang kaya dalam konteks ini adalah orang yang tidak halal menerima zakat, yaitu orang yang memiliki harta atau pekerjaan yang mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya.

Dari keterangan al-Ramli ini bisa dipahami, orang miskin dalam konteks penerima sedekah kurban adalah berkebalikan dari standar kaya di atas, yaitu orang yang aset harta dan pekerjaannya tidak mencukupi kebutuhannya dan keluarganya. Penjelasan di atas berdasarkan referensi berikut ini:

وللفقير التصرف في المأخوذ ولو بنحو بيع المسلم لملكه ما يعطاه ، بخلاف الغني فليس له نحو البيع بل له التصرف في المهدي له بنحو أكل وتصدق وضيافة ولو لغني ، لأن غايته أنه كالمضحي نفسه ، قاله في التحفة والنهاية

“Bagi orang fakir boleh memanfaatkan kurban yang diambil (secara bebas) meski dengan semisal menjualnya kepada orang Islam, sebab ia memilikinya. Berbeda dari orang kaya, ia tidak diperkenankan menjualnya, tetapi ia hanya diperbolehkan mengalokasikan kurban yang diberikan kepadanya dengan semisal makan, sedekah, dan menghidangkan meski kepada orang kaya, sebab puncaknya ia seperti orang yang berkurban itu sendiri. Keterangan ini disampaikan dalam kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah.”

وجوّز (م ر) أن يكون المراد بالغني من تحرم عليه الزكاة ، قال باعشن : والقول بأنهم أي الأغنياء يتصرفون فيه بما شاءوا ضعيف وإن أطالوا في الاستدلال له.

“Al-Imam al-Ramli menduga yang dimaksud orang kaya adalah orang yang haram menerima zakat. Berkata Syekh Ba’asyin, pendapat yang menyatakan bahwa orang-orang kaya berhak memanfaatkan (tasaruf) kurban semaunya adalah pendapat yang lemah, meski ulama memanjangkan argumen untuk mendukungnya,” (Syekh Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 549).

Dalam referensi lain, disebutkan:

وله إطعام أغنياء لا تمليكهم.

“Diperbolehkan bagi orang berkurban memberi makan kepada orang kaya, tidak memberinya hak milik.”

(قوله: لا تمليكهم) أي لا يجوز تمليك الأغنياء منها شيئا. ومحله إن كان ملكهم ذلك ليتصرفوا فيه بالبيع ونحوه كأن قال لهم ملكتكم هذا لتتصرفوا في بما شئتم أما إذا ملكهم إياه لا لذلك بل للأكل وحده فيجوز، ويكون هدية لهم وهم يتصرفون فيه بنحو أكل وتصدق وضيافة لغني أو فقير لا ببيع وهبة وهذا بخلاف الفقراء، فيجوز تمليكهم اللحم ليتصرفوا فيه بما شاؤا ببيع أو غيره.

“Ucapan Syekh Zainuddin; tidak memberinya hak milik; maksudnya tidak diperbolehkan memberi kepemilikan kepada mereka satu pun dari hewan kurban. Keterangan ini konteksnya adalah bila kepemilikan mereka atas hewan kurban untuk dimanfaatkan dengan cara menjual dan semacamnya. Seperti mudlahhi (orang yang berkurban) berkata kepada mereka, ‘Aku berikan kepemilikan daging kurban ini supaya kalian bisa mengalokasikannya sesuka hati.’ Adapun bila memberi mereka kepemilikan bukan karena hal demikian, tapi hanya untuk dimakan, maka boleh, dan menjadi hadiah untuk mereka. Mereka berhak memanfaatkan dengan semisal memakan, menyedekahkan, dan menyuguhkan meski kepada orang kaya, bukan dengan menjual dan menghibahkan. Hal ini berbeda dengan orang-orang fakir, maka boleh memberi kepemilikan daging kurban kepada mereka supaya mereka dengan sesuka hati memanfaatkan dengan menjual atau lainnya,” (Syekh Abu Bakr bin Muhammad Syatha al-Bakri, Hasyiyah I’anah al-Thalibin, juz.2, hal.379).

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya