UAH Ungkap Doa Terhalang Gara-Gara Makanan Haram Masuk Perut, Apa yang Harus Dilakukan?

UAh ungkap bahaya makanan haram jika telah masuk ke perut

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Nov 2024, 16:30 WIB
Diterbitkan 04 Nov 2024, 16:30 WIB
Ustaz Adi Hidayat (UAH)
Pesan dan Doa Ustaz Adi Hidayat (UAH) terkait Gempa di Cianjur

Liputan6.com, Cilacap - Islam memerintahkan seorang muslim agar menjauhi makanan haram. Makanan haram bukan hanya yang diharamkan atas dzatnya saja seperti bangkai, darah, daging babi dan lain sebagainya.

Akan tetapi keharaman makanan itu juga lantaran cara memperolehnya dengan cara-cara yang tidak benar, meskipun secara dzat makanan itu halal. Adapun cara yang salah dalam memperoleh makanan yakni seperti mencuri dan korupsi.

Perihal bahaya makanan haram ini Ustadz Adi Hidayat (UAH) wanti-wanti sebab dampak mengerikan akan menimpa pelakunya ini.

Lantas bahaya yang sangat mengerikan seperti apa yang bakal menimpa seseorang yang gemar makan makanan haram ini?

Simak Video Pilihan Ini:

Bahaya Makanan Haram

Ustadz Adi Hidayat (UAH) mengisi kajian Islam di Uluu Camii Moskee, Utrecht. (Foto: Liputan6.com/Istimewa)
Ustadz Adi Hidayat (UAH) mengisi kajian Islam di Uluu Camii Moskee, Utrecht. (Foto: Liputan6.com/Istimewa)

Ustadz Adi Hidayat mengatakan bahayanya makanan yang haram jika telah masuk ke perut itu tidak hanya menjadi daging saja.

Namun makanan haram yang kita makan ini menjadi penyebab terhalangnya doa. Dengan kata lain, doa kita akan ditolak oleh Allah SWT lantaran kita telah memakan makanan yang haram

“Awas hati-hati, segala yang masuk ke dalam perut anda kalau itu haram maka pengaruhnya bukan cuma menjadi daging nanti tapi menjadi sekat terkabulnya doa yang kita panjatkan kepada Allah,” terang UAH dikutip dari tayangan YouTube Short @ummuhaniya, Minggu (03/11/2024).

Jika Terlanjur Makan Makanan Haram, Apa yang Sebaiknya Dilakukan?

Ilustrasi berdoa, bacaan doa tobat nasuha
Ilustrasi berdoa, bacaan doa tobat nasuha. (Photo on Freepik)

Menukil NU Online, mengonsumsi makanan haram adalah sebuah larangan dalam agama Islam. Berkaitan dengan hal ini, Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan dalam salah satu firman-Nya:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Artinya: “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 188).

Lantas bagaimana jika seorang Muslim terlanjur atau pernah mengonsumsi makanan yang diharamkan oleh syara’? Apa yang semestinya harus ia lakukan atas perbuatan itu?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, baik kiranya kita perhatikan teladan yang dilakukan oleh Sahabat Abu Bakar tatkala ia mengetahui bahwa makanan yang dikonsumsinya merupakan makanan syubhat:

وَثَبَتَ عَنْ أَبِيْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ أَكَلَ شُبْهَةً غَيْرَ عَالِمٍ بِهَا، فَلَمَّا عَلِمَهَا أَدْخَلَ يَدَهُ فِيْ فِيْهِ فَتَقَيَّأَهَا

“Terdapat keterangan dari Sahabat Abu Bakar bahwa beliau pernah mengonsumsi makanan syubhat yang tidak ia ketahui. Ketika beliau mengetahui bahwa makanan tersebut syubhat, beliau memasukkan tangan ke dalam mulutnya lalu berusaha memutahkan makanan itu” (Musthafa Bagha dan Muhyiddin Mistu, al-Wafi Syarh Arba’in an-Nawawi, hal. 38).

Dari kisah tersebut kiranya dapat diambil pelajaran (ibrah) tentang bahaya mengonsumsi makanan syubhat serta kehati-hatian Sayyidina Abu Bakar dalam menyaring makanan yang masuk ke perutya. Jika pada makanan syubhat saja wujud kehati-hatian beliau sampai demikian, apalagi pada perkara yang haram!

Hal pertama yang harus dilakukan bagi orang yang pernah mengonsumsi makanan haram adalah bertaubat. Syarat-syarat bertaubat secara lugas dijelaskan dalam kitab Al-Adzkar An-Nawawiyah berikut:

  1. Menyudahi perbuatan dosa saat itu juga
  2. Menyesalinya
  3. Bertekad untuk tidak mengulanginya lagi
  4. Mengembalikan hak orang lain yang dizalimi, meminta maaf, atau meminta pembebasan tanggungan akibat kezaliman itu.

Penulis: Khazim Mahrur/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya