Liputan6.com, Cilacap - Islam memandang wanita sebagai makhluk yang mulia dan istimewa. Sebelum Islam datang, kerap terjadi perilaku dehumanisasi terhadap kaum wanita.
Setelah datangnya Islam dan membawa seperangkat aturan, termasuk di dalamnya perintah untuk memuliakan kaum perempuan kondisi perempuan di Jazirah Arab mulai membaik.
Kini, peran wanita tak hanya di dalam rumah tangga, namun juga di pemerintahan. Banyak perempuan yang mengisi kursi DPR dan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh kaum laki-laki.
Advertisement
Baca Juga
Meskipun demikian, sebagai seorang wanita juga harus mengetahui batasan-batasannya dan kodratnya sebagai seorang wanita. Berkaitan dengan hal ini, Ustadz Adi Hidayat (UAH) memberikan saran untuk kaum perempuan.
Simak Video Pilihan Ini:
Begini Sarannya
UAH menegaskan bahwa sebagai seorang perempuan, baik ia memiliki jabatan menterang atau profesi hebat lainnya, tetapi yang tidak boleh ditinggalkan ialah peran asalnya sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya.
“Saya sarankan perempuan, punya kegiatan apapun, sehebat apapun, tetap jurusan terakhirnya menjadi ibu yang terbaik,” terangnya dikutip dari tayangan YouTube Short @PuspaPuspita5, Selasa (27/01/2025).
Jika sudah menikah dan belum memiliki anak, maka ia harus menjadi istri yang terbaik bagi suaminya. Seandainya ia belum menikah, maka ia harus berperan sebagai anak yang berbakti kepada kedua orang tua.
“Kalau dia menikah belum jadi ibu, jadi istri yang terbaik, keluarkan ayat-ayat tentang istri,” tandasnya.
“Kalau dia belum menikah ya, belum menikah, jadi anak yang baik, keluarkan ayat-ayat berbakti pada kedua orang tua, itu yang paling penting,” imbuhnya.
Advertisement
Kewajiban Wanita dalam Islam
Mengutip NU Online, dalam kitab Risalatun Nisa Kiai Ahmad Abdul Hamid mengulas berbagai kewajiban perempuan terhadap Allah swt, suaminya dan sebaliknya, terhadap anak. Pun beragam problem keagamaan yang menyangkut perempuan meliputi dunia politik, seperti menjadi lurah, duduk di kursi parlemen, sampai pada hukum perempuan belajar tulis-menulis.
Sebelum melebar ke berbagai hukum perempuan dalam dunia sosialnya, Kiai Ahmad lebih dahulu menguraikan berbagai kewajiban perempuan dalam keluarganya. Di sini, tampak Kiai Ahmad sangat berhati-hati dalam arti mencoba mengambil posisi pandangan terhadap perempuan secara lebih ketat.
Demikian tentu sangat berdasar karena landasan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis. Misalnya saja dalam bepergian, perempuan tentu harus lebih dahulu mengantongi izin dari suaminya plus dibarengi dengan mahramnya. Hal ini jelas berbeda dengan era sekarang, perempuan banyak yang keluar tanpa mahram, meski sudah mendapat restu suaminya.
Pun perihal menyambung rambut, Kiai Ahmad mengedepankan kaul haram terhadapnya dengan dasar keputusan Bahtsul Masail Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kudus pada 15 Zulkaidah 1380 H/30 April 1961. Meskipun demikian, ia tetap memberikan alternatif boleh dengan dasar pandangan KH Abdullah Faqih Gresik yang termaktub dalam majalah Soeara Nahdlatoel Oelama.
Perempuan juga harus mengenakan kerudung menutupi leher dan dadanya. Bahkan, Kiai Ahmad menegaskan dalam sub judulnya, "Kaum Muslimat Wajib Kudungan (berkerudung)". Bahkan perihal tulis-menulis, ada hukumnya tersendiri bagi perempuan. Berbeda dengan hukum berkerudung yang langsung disebut wajib dalam sub judulnya, soal tulis-menulis ini tidak demikian.
Pasalnya, hukumnya dikembalikan kepada niat atau illatnya. Perempuan boleh belajar nulis jika diperuntukkan bagi belajar agama. Bila digunakan untuk bekerja, maka dikembalikan pada hukum pekerjaannya. Pandangan ini didasarkan pada sebuah kaidah fiqih, sesuatu itu bergantung pada tujuannya.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul