Liputan6.com, Jakarta Sesuai namanya, Batik 3 Negeri ini memiliki tiga tempat berbeda untuk menyelesaikannya. Kekayaan budaya bangsa luhur ini sudah berlangsung pembuatannya sejak tahun 1900an dan menjadi karya seni bernilai tinggi. Dari sebuah keluarga yang ada di Solo bernama keluarga Tjoa yang membuat batik dengan berbagai unsur, akhirnya batik ini mempengaruhi kebudayaan lainnya di Nusantara.
Baca Juga
“Di Tataran Sunda, sebuah pernikahan bisa batal bila sang pengantin pria tidak membawa Batik Tiga Negeri. Bahkan keluarga Tjoa tidak pernah menduga hal ini akan terjadi. Bahkan mereka percaya ada kekuatan magis didalam kain ini. Kalau ada anak yang sakit, sobek kainnya, bakar dan minumkan ke anaknya” ujar Didi Budiarjo dalam diskusi “Design Talk, Collection, Inspiration, & Fashion” di Dia.Lo.Gue, Kamis (26/1/2017).
Advertisement
Batik 3 Negeri ini sendiri memiliki proses pembuatan yang sangat spesial dan tidak bisa diulangi lagi saat ini. Terdiri dari proses penggambaran sketsa dan memberikan malam hingga selesai di kedua sisinya di Solo. Batik ini akhirnya dikirim sejauh 160 kilometer jaraknya ke daerah Lasem, sebagai penghasil batik pesisir untuk mendapatkan warna merah yang terpengaruh dari budaya Tiongkok.
Setelah selesai diwarnai bagian merahnya oleh pengrajin di Lasem, kain ini dikirimkan kembali ke Solo untuk diperiksa pewarnaannya sudah tepat atau belum. Jika sudah sesuai, kain ini akan dibawa ke Pekalongan sejauh 200 Kilometer. Hal ini dilakukan untuk memberikan warna hijau dan biru yang menyala terang dan hanya dihasilkan di Pekalongan, Jawa Tengah.
Setelah semua bagian ornamen sudah sesuai dengan warna yang diinginkan, batik ini akhirnya diselesaikan di Solo dengan memberikan warna kuning yang menutupi seluruh bagian. Kekayaan budaya inilah yang dilakukan sejak zaman dahulu oleh keluarga Tjoa, seorang pengusaha Tionghoa yang menciptakan Batik 3 Negeri ini.
“Kejayaan dari Batik 3 Negeri ini tidak akan bisa terulang. Siapa yang mau untuk mengantar sebuah kain melewati perjalanan beratus kilo jaraknya? Tentunya jika diproduksi sekarang, kain ini akan berharga sangat mahal dan tidak semua orang mampu membelinya. Karena wastra akan hidup jika ada pembelinya.” Ujar Didi.