Gandrung Banyuwangi Jadi Inspirasi Teater Garasi di TMII

Seni tradisi asal Banyuwangi menjadi inspirasi kelompok teater dari Jogja, Teater Garasi pentas di TMII.

oleh Gilar Ramdhani diperbarui 14 Mei 2017, 13:32 WIB
Diterbitkan 14 Mei 2017, 13:32 WIB
Gandrung Banyuwangi Jadi Inspirasi Teater Garasi di TMII
Seni tradisi asal Banyuwangi menjadi inspirasi kelompok teater dari Jogja, Teater Garasi pentas di TMII.

Liputan6.com, Jakarta Seni tradisi asal Banyuwangi menjadi inspirasi kelompok teater dari Jogja, Teater Garasi (Garasi Performance Institute). Teater ini mempersembahkan sebuah pertunjukan teater-musik, “Menara Ingatan”. Lakon ini berdasarkan karya komposisi Yennu Ariendra (seniman Teater Garasi dan kelompok musik Melancholic Bitch).

Menara Ingatan adalah produksi teranyar Teater Garasi/Garasi Performance Institute. Karya ini berangkat dari sejarah dan ingatan atas Indonesia yang dilihat dari sudut pandang sejarah Gandrung Banyuwangi, suatu bentuk pertunjukan tradisi di timur pulau Jawa. Refleksi personal komposer dan kolaborator karya kemudian melihat bahwa Gandrung dan masyarakat Osing pendukungnya adalah (juga) perihal perlawanan yang keras kepala dalam menghadapi kekuasaan-kekuasaan yang ingin meringkusnya.

Komposisi musik dan pemanggungan Menara Ingatan meminjam struktur pertunjukan Gandrung Banyuwangi, yang terbagi dalam 3 babak: Jejer, Paju dan Seblang Subuh.

Pentas berlangsung di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki Jakarta, 24 – 25 Mei 2017 pukul 20.00. Pentas ini didukung Bakti Budaya Djarum Foundation, bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta.

Proses penciptaan komposisi musik Menara Ingatan, dan proses pemanggungan serta visualisasinya, bertumpu pada logika kerja, pendekatan serta fungsi-fungsi teater. Karya ini bertolak dari pembacaan serta refleksi atau suatu isu atau tema tertentu, yang kemudian diterjemahkan dalam komposisi-komposisi musik yang menimbang keterwakilan naratif atas tema tersebut dan efek dramatik yang ingin diciptakan.

Karya ini berada di luar koridor teater musikal yang biasanya, entah itu opera, operette, musikal, sings piels, ataupun drama per musica. Bentuk garap karya ini cenderung memanfaatkan ruang yang kerap disebut teater-musik (dari bahasa Jerman: muziktheater).

Ruang ini mengelompokkan olah kerja teater yang bertumpu pada musik secara lebih liat dan terbuka, semacam Merredith Monk, Heinner Goebbels, Laurie Anderson, Matmos, dan lain sebagainya. Dari deret nama ini, hampir tak ada ciri serupa, selain bahwa semuanya mengolah bentuk pertunjukan teater yang bertumpu pada musik.

Proyek ini melibatkan berbagai seniman lintas disiplin dari khasanah musik tradisi, musik digital, teater, hingga seni rupa kontemporer.

Yennu menegaskan ketika mengolah isu-isu ini, ia bertemu lagi dengan Gandrung, bentuk kesenian Banyuwangi yang sejak lama menarik perhatiannya.

"Dari sana saya kemudian mempelajari sejarah perlawanan kerajaan Blambangan yang dari dahulu, abad 14 M, selalu menolak tunduk pada kekuasaan Majapahit, Bali, Mataram hingga VOC. Saya membaca kembali Suku Osing, penduduk asli Banyuwangi, yang dalam perang puputan (perang penghabisan) melawan Belanda dan Mataram mesti kehilangan 80 persen dari populasinya. Suku Osing, suku yang selalu berkata tidak pada setiap kekuasaan yang hendak menaklukkannya,” tegasnya.

Untuk komposisi dan penampilan musik, Yennu Ariendra berkolaborasi dengan Andi Meinl, Asa Rahmana, Nadya Hatta dan Silir Pujiwati. Pemanggungan berkolaborasi dengan Ugoran Prasad (dramaturg), Yossy Herman Susilo (sound-designer), Ignatius Sugiarto (lighting designer), Timoteus Anggawan Kusno (seniman rupa), Gunawan Maryanto (performer dan co-director), Dendi Madiya (performer dan co-director), Fidelis Krus, Muchammad Syachbudin, Ricky Unik dan Sri Qadariatin (performer).

Menpar Arief Yahya yang berdarah asli Banyuwangi itu menjelaskan seni teater itu punya penggemar tersendiri. Tidak banyak, tetapi mereka eksis. Kalau di musik itu, seperti klasik dan jazz, ada pasarnya, meskipun tipis. "Jogja sebagai kota budaya, kota seni, kota pendidikan dan pariwisata, cocok untuk mengembangkan seni yang tergolong berat ini," kata Arief Yahya.

Dalam setiap karya seni, Arief Yahya melihat ada dua sisi. Keduanya saling menguatkan. Ada unsur cultural value, dan financial atau commercial value. "Kalau masih di cultural value, itu wilayah Bekraf dan Kemendikbud. Kalau sudah dikomersialisasi, itu baru masuk kr Kemenpar," kata Arief Yahya.

(*)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya