Liputan6.com, Jakarta Sejak teknologi berkembang dan penciptaan boneka seks makin mirip dengan manusia, makin banyak ditemukan pria yang lebih memilih menikahi boneka seks ketimbang wanita sungguhan. Baru-baru ini bahkan tersiar kabar, seorang pria Jepang merasa jatuh cinta dan ingin hidup abadi dengan boneka seks miliknya. Si pria beranggapan, boneka seks punya tubuh yang lebih seksi, tidak egois, dan tidak pernah mengomel.
Lalu benarkah “tidak egois dan tidak pernah mengomel” menjadi pertimbangan para pria untuk lebih memilih boneka seks ketimbang menikahi wanita sungguhan? Irsyad Ridho, Pengkaji Budaya Pop Universitas Negeri Jakarta saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (4/7/2017) mengatakan, di tengah kehidupan saat ini yang penuh dengan tawaran komoditas, salah satunya komoditas seks, kebutuhan seksual yang harusnya alamiah bisa diubah menjadi hasrat seksual oleh dunia bisnis.
“Pernikahan pada dasarnya merupakan cara untuk pemenuhan kebutuhan seksual yang alamiah itu. Namun dari kacamata bisnis seks, pernikahan tentu saja dapat menjadi penghambat penjualan produk seksual. Tapi hambatan itu kemudian dijadikan peluang bisnis, yaitu dengan menjadikan hambatan pernikahan sebagai penambah hasrat. Kan secara teoretis, hasrat akan semakin terpuaskan jika ada halangan signifikan dalam pemenuhannya,” ungkap Irsyad.
Bagi Irsyad Ridho, jelas salah satu fungsi dari pernikahan adalah pemenuhan kebutuhan seksual, bukan hasrat seksual. Masalahnya adalah ketika kebutuhan tersebut diubah menjadi hasrat oleh kepentingan bisnis.
“Dalam konteks itu, pernikahan (yang gagal membawa kebahagiaan) kerap dianggap sebagai penyebab orang mencari pemuasan seksual ke boneka seks, padahal penyebabnya justru adalah pembentukan hasrat yang dibuat oleh industri seks semata,” kata Irsyad menambahkan.
Simak juga video menarik berikut ini:
Advertisement