Ingat! Bonus Hari Raya Ojol Sifatnya Menghimbau, Bukan Wajib

Surat Edaran ini dikeluarkan oleh Menaker untuk menjawab tuntutan para pengemudi Ojol beberapa waktu lalu mengenai pemberian THR oleh perusahaan aplikasi (aplikator)

oleh Tira Santia Diperbarui 12 Mar 2025, 13:00 WIB
Diterbitkan 12 Mar 2025, 13:00 WIB
FOTO: Minim Pengawasan, Ojol Masih Berkerumun saat Menunggu Penumpang
Pengemudi ojek online (ojol) memenuhi bahu jalan saat menunggu penumpang di kawasan Cililitan, Jakarta, Rabu (16/9/2020). Pemprov DKI Jakarta telah melarang ojol dan ojek pangkalan berkumpul lebih dari lima orang serta menjaga jarak sepeda motor minimal dua meter. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Analis Kebijakan Transportasi Azas Tigor Nainggolan, menilai Surat Edaran (SE) tentang Pemberian Bonus Hari Raya Keagamaan Tahun 2025 bagi Pengemudi ojek online (ojol) dan Kurir pada layanan angkutan berbasis aplikasi, belum menyelesaikan permasalahan.

"Pembuatan SE ini belum untuk menyelesaikan masalah," kata Azaz, dikutip Liputan6.com, Rabu (12/3/2025).

Ia memahami bahwa, Surat Edaran ini dikeluarkan oleh Menaker untuk menjawab tuntutan para pengemudi Ojol beberapa waktu lalu mengenai pemberian THR oleh perusahaan aplikasi (aplikator).

Hanya Menghimbau

Dalam SE ini Menaker menghimbau, kepada para perusahaan aplikasi (aplikator) memberikan bonus hari raya keagamaan 2025 sebagai wujud kepedulian dan nilai-nilai Pancasila kepada para pengemudi dan kurir online.

Melihat isi SE ini hanya menghimbau dan berubah dari Tunjangan Hari Raya (THR) menjadi Bonus Hari Raya (BHR). Berarti pemerintah dalam hal ini sadar betul bahwa tidak bisa memaksa tetapi hanya menghimbau para aplikator memberikan BHR.

"Pemerintah sadar betul tidak bisa memaksa memberikan THR tetapi BHR karena hubungan antara aplikator dan pengemudi Ojol adalah sebagai mitra. Syukurlah pemerintah sadar betul posisi hukum dalam masalah pemberian THR ada masalah hukumnya," uajrnya.

Namun, sayangnya Bonus Hari Raya ini solusi kemanusiaan jangka pendek, sebagai wujud kepedulian sesuai nilai-nilai Pancasila. Tahap berikutnya pemerintah harus melakukan langkah menyelesaikan masalah tanpa masalah, yakni langkah pengakuan hukum terhadap bisnis layanan transportasi ojek online di Indonesia.

 

Promosi 1

Perubahan THR ke BHR

Ojek Online Gunakan Pelindung Pembatas Antar Penumpang
Driver Grab Bike mengenakan Grab Protect pelindung yang membatasi antara pengemudi dan penumpang saat diluncurkan di Jakarta, Selasa (9/6/2020). Penumpang ojek online (ojol) kini tak perlu khawatir menggunakan transportasi ini di tengah pandemi Corona. (Liputan6.com/Faizal Fanani)... Selengkapnya

Menurutnya, perubahan nama THR ke BHR saja sudah cukup bukti bahwa sadar bahwa ojek online harus diakui dalam Undang-undang (UU) bidang transportasi di Indonesia.

Dimana dalam UU bidang transportasi No:22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) tidak mengakui ojek online sebagai alat transportasi umum.

Pengusaha aplikasi atau aplikator juga tidak mengakui dirinya sebagai perusahaan angkutan umum tetapi sebagai perusahaan penyedia layanan aplikasi dan bisnis aplikator seperti ini pun belum diatur dalam sistem hukum di Indonesia.

"Posisi belum diaturnya bisnis aplikator secara hukum ini pula juga membuat pemerintah tidak bisa mewajibkan atau tegas kepada para aplikator yang membangun bisnis layanan transportasi ojek online di Indonesia," ujarnya.

Maka, tidak adanya regulasi hukum bisnis aplikasi atau bisnis w-commerce ini membuat pemerintah tidak bisa tegas berhadap-hadapan dengan para aplikator.

"Jadinya ya, seperti seperti sekarang ini, SE Menaker hanya menghimbau memberikan BHR karena para pengemudi ojek online statusnya hanya MITRAnya aplikator," ujarnya.

 

Masalah SE

FOTO: Minim Pengawasan, Ojol Masih Berkerumun saat Menunggu Penumpang
Pengemudi ojek online (ojol) memenuhi bahu jalan saat menunggu penumpang di kawasan Cililitan, Jakarta, Rabu (16/9/2020). Pemprov DKI Jakarta telah melarang ojol dan ojek pangkalan berkumpul lebih dari lima orang serta menjaga jarak sepeda motor minimal dua meter. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)... Selengkapnya

Disisi lain, Azaz juga menyoroti ada masalah dalam penerbitan Surat Edaran (SE) Menaker NOMOR M/3/HK.04.O0/III/2025 ini. Masalahnya adalah pertama Menaker menggunakan SE, karena SE ini sifatnya hanya berlaku internal instansi yang mengeluarkan dan SE bukan regulasi hukum.

Masalah kedua adalah SW Menaker ini mengatur kepada Pengusaha aplikasi. Surat Edaran adalah sebuah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat atau lembaga untuk memberikan informasi, instruksi, atau kebijakan kepada pihak lain.

"Ruang lingkup berlakunya surat edaran dapat berbeda-beda tergantung pada jenis surat edaran dan tujuan penerbitannya. Secara umum berlakunya sebuah SE salah satu ruang lingkup berlakunya mencakup instansi atau lembaga yang mengeluarkan atau menerbitkannya," ujarnya.

Azaz pun mempertanyakan, mengapa SE Menaker NOMOR M/3/HK.04.O0/III/2025 hanya ditujukan kepada para pengusaha aplikasi untuk memberikan BHR kepada pengemudi dan kurir online.

Begitu pula SE itu bukan regulasi hukum karena tidak masuk dalam hirarki perundangan di Indonesia. Pengaturan hirarki perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

"Jelas bahwa Surat Edaran (SE) bukanlah regulasi hukum dan tidak ada dalam hirarki perundang-undangan di Indonesia. Jadi, SE Menaker ini untuk melaksanakan regulasi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mana?," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya