Liputan6.com, Jakarta Asumsi masyarakat awam tentang sastra atau kesusastraan kerap berada pada tataran bahwa sastra adalah sesuatu yang berat, luhung, dan memiliki nilai-nilai filosofis. Sehingga, sastra yang ditulis oleh manusia sangat berjarak dengan manusia itu sendiri sebagai pembaca.
Menurut penelitian World’s Most Literate Nations yang dirilis oleh Central Connecticut University pada Maret 2016 lalu, berdasarkan surveri kegemaran membaca, Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara. Artinya, minat baca orang Indonesia cukup rendah.
Penelitian di atas memang tidak berada hanya dalam ranah kesusastraan saja. Namun, melihat penilaian tersebut, muncul spekulasi bahwa tingkat baca masyarakat Indonesia di era 2000-an ternyata masih sangat rendah. Sebab, Indonesia masih kalah dengan Malaysia yang berada di peringkat 53 dan Singapura di peringkat 36. Sementara, peringkat pertama dalam penelitian tersebut ditempati oleh Finlandia.
Advertisement
Sebagai seorang sastrawan dan juga Rektor Institut Kesenian Jakarta, Seno Gumira Ajidarma berpendapat, minat baca rendah adalah tantangan bagi penulis untuk membuat tulisannya bisa dinikmati, baik itu bagi pembaca yang sudah lama membaca, atau yang baru memulai membaca, atau bahkan bagi mereka yang tidak peduli, untuk kemudian menjadi tertarik.
“Jadi kita jangan menyalahkan pembaca, penonton atau mereka yang bukan pekerja sastra. Saya lebih suka mengatakan, itu ketidakmampuan sastra untuk membuatnya berhasil sebagai sebuah karya,” kata Seno beberapa waktu lalu.
Seno juga menambahkan, kondisi sastra dengan generasi milenial atau generasi sekarang juga mengalami peningkatan. Kendati menjamurnya gawai dan aplikasi gratisan, ia mengatakan, hal itu juga beriringan dengan banyaknya toko buku, baik yang online atau yang berupa toko buku besar.
Selain itu, menurut Seno, banyaknya komunitas pencinta buku, serta gaya hidup membaca buku yang tengah menjadi fenomena sekarang ini juga menjadi segelintir bukti. “Sekarang itu sudah tidak musim lagi itu sastra tinggi dan rendah,” katanya. “Malah barangkali justru yang keliru istilah sastra itu sendiri," kata Seno menambahkan.
Mitos dalam Sastra yang Tertanam
Menurut Seno, ada tiga mitos sastra yang harus dihancurkan, karena menurut dia, ini yang membuat sastra itu dijauhi dan membuat alergi.
“Pertama, sastra itu curhat,” kata Seno. “Curhat kan enggak macho, bikin sentimentil atau cengenglah dan kemudian dijauhi.”
Yang kedua, menurut Seno, bahasa sastrawan itu mendayu-dayu, rumit, asing didengar, sehingga membuat sebagian pembaca yang jarang membaca karya sastra merasa bahwa sastra bukan bagian dari bacaannya. Yang ketiga, kata Seno, sastra itu berisi pedoman hidup, petuah-petuih, nasihat-nasihat.
“Kalau mitos-mitos ini masih ada, sastra selamanya akan berjarak, kecuali kalau hobinya memang suka dengar nasihat,” ungkap Seno.
Sementara itu Budi Darma, sastrawan yang juga Guru Besar Universitas Negeri Surabaya mengatakan, anggapan banyak anak muda tidak suka membaca itu tidak sepenuhnya betul.
“Anak-anak muda ini sekarang berdiri di atas dua kaki. Yang pertama mereka sangat pandai dalam mengoperasionalkan gawai. Yang kedua mereka juga suka membaca buku, meskipun buku yang dibaca masih sesuai dengan umurnya, atau sesuai dengan selera masing-masing,” kata penulis Olenka tersebut.
Sebagai penulis, Budi Darma mengatakan bahwa dalam kehidupan kesusastraan atau kepengarangan, ada yang dinamakan estafet, yakni peralihan dari generasi penulis tua ke generasi penulis yang lebih muda. Dan karena itulah, ia berterima kasih karena masih banyak pembaca, bahkan para pembaca muda, yang masih membaca karya-karyanya.
Advertisement