Liputan6.com, Jakarta - Sudah sebegitu lama membudaya membuat menikah kemudian punya klasifikasi secara waktu, yakni menikah lebih awal, pas, dan terlambat. Konstruksi sosial ini lambat-laun berujung pada tekanan untuk membina rumah tangga di usia tertentu.
Menanggapi budaya yang sudah sebegitu mengakar, terutama di Asia, perempuan Korea Selatan punya cara tertentu. Melansir dari Bloomberg, Selasa (30/7/2019), sudah sejak beberapa waktu lalu mereka mengampanyekan #NoMarriage.
Gerakan ini bahkan sudah membuat semacam jaringan sosial bernama Elite Without Marriage, I am Going Forward (EMIF). Salah satu yang kedapatan cukup nyaring membicarakan kampanye ini adalah YouTuber, Baeck Ha-na.
Advertisement
"Konstruksi sosial membuat saya merasa gagal di usia 30-an karena belum jadi istri, apalagi ibu. Tapi, sekarang saya merasa, ketimbang jadi milik orang lain, saya punya ambisi lebih baik untuk masa depan," katanya.
Baca Juga
Baeck dan temannya, Jung Se-young, memanfaatkan channel YouTube mereka, SOLOdarity, sebagai platform untuk berbicara tentang dominasi patriarki di Korea Selatan dan bagaimana cara memberi perempuan ruang untuk berbicara.
Dalam diskusi, kebanyakan perempuan memilih untuk tetap sendiri ketimbang menuruti tekanan sosial untuk menikah di bawah usia 20-an. Tagar No Marriage pun langsung menarik perhatian publik di luar Korea Selatan.
Mengutip dari Fox News, pendiri EMIF Kang Han-byul menilai keselahan terbesar pemerintah Korea Selatan adalah gagal mendengarkan gagasan para perempuan sebagai pihak yang mengandung dan mendidik anak-anak.
"Mereka (pemerintah Korsel) selalu menjual ide bahwa nikah itu indah, punya anak itu luar biasa. Tapi, tak memerhatikan banyak hal tak terucap, terutama soal psikis dan mental, para perempuan, "tutur Han-byul.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dampak Gerakan No Marriage di Korea Selatan
Gerakan melawan tuntunan pernikahan oleh perempuan Korea Selatan ini mulai memberi dampak, terutama di bidang ekonomi. Penurunan pergerakan ekonomi konstan terjadi karena jumlah penduduk yang secara terus-menerus berkurang.
Berdasarkan data World Bank, Korea Selatan tercatat sebagai negara dengan angka kelahiran tersendah di dunia. Pada 2010, 64.7 persen perempuan Negeri Ginseng percaya menikah itu penting. Tapi, pada 2018 hanya 48,1 persen yang setuju pada gagasan tersebut.
Lebih dari 20 persen lokasi perayaan pernikahan di Seoul ditutup. Pada 2019, pihak pemerintah setempat juga mengumumkan bahwa setidaknya ada tiga sekolah dasar dan sekolah menengah pertama yang tutup karena kekurangan jumlah murid.
Melihat angka tersebut, pihak pemerintah Korea Selatan telah membetuk Presidential Committee on Aging Society and Population Policy pada 2017. "Kami harus fokus pada bagaimana menikah dan melahirkan tidak akan membatasi ruang gerak perempuan," katanya.
Advertisement