Cerita Akhir Pekan: Sejarah dan Perkembangan Tukang Cukur di Indonesia

Kapan dan siapa yang mempopulerkan jasa cukur rambut di Indonesia? SImak perjalanannya di cerita akhir pekan kali ini,

oleh Henry Hens diperbarui 25 Agu 2019, 10:00 WIB
Diterbitkan 25 Agu 2019, 10:00 WIB
Saat Jokowi Ikuti Cukur Rambut Massal di Bawah Pohon
Presiden Joko Widodo disaksikan Ibu Negara Iriana saat mengikuti acara cukur rambut massal di Garut, Jawa Barat, Sabtu (19/1). Dalam acara cukur rambut massal ini, rambut Jokowi dicukur oleh tukang cukur langganannya, Herman. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Tempat pangkas rambut belakangan ini semakin banyak bermunculan. Profesi tukang cukur pun bisa dibilanh sudah naik kelas, termasuk di Indonesia. Bahkan profesi tukang cukur atau bahasa kerennya, barber, makin mengemuka dan berkelas.

Salah satu buktinya adalah ketika Presiden Jokowi beberapa kali mengunggah foto maupun video dirinya sedang memangkas rambutnya. Jokowi beberapa kali menyebutkan tukang cukur langganannya sambil memperkenalkan mereka. Tapi pernahkah Anda berpikir atau ingin mencari tahu, kapan dan siapa yang pertama kali mempopulerkan jasa cukur rambut di negeri ini?

Sejauh ini, belum ada catatan pasti kapan pertama kali sejarah para tukang cukur rambut muncul di Indonesia. Namun, dalam beragam sumber disebutkan kalau budaya tukang cukur yang ada di Indonesia berasal dari daratan Tiongkok (China).

Sejarah potong rambut sendiri disebut-sebut sudah ada sejak zaman purba, jauh sebelum Robert Hincliffe asal Inggris menemukan gunting pada 1761.

Di Indonesia, jejak tukang cukur jalanan bisa ditemukan pada dokumentasi foto-foto zaman kolonial Belanda. Misalnya dokumentasi foto Indonesia tempo dulu milik KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) yang bermarkas di Leiden, Belanda.

Lembaga itu menyimpan banyak koleksi foto para tukang cukur rambut jalanan di beberapa kota besar Indonesia mulai periode 1911 sampai 1930-an. Misalnya foto aktivitas orang Madura di Surabaya yang berprofesi sebagai tukang cukur pada 1911 dan tukang cukur rambut asal Tiongkok di Medan pada 1931.

Dilansir dari laman Historia, merdeka.com dan berbagai sumber lainnya, tukang cukur memang pernah identik dengan orang Madura. Seperti ditulis Muh Syamsuddin dalam jurnalnya berjudul: Agama, Migrasi dan orang Madura pada 2007 lalu.

Dia menganalisis bahwa perjalanan migrasi orang-orang dari pulau garam itu terjadi sejak konflik antara Trunojoyo dan Amangkurat II pada 1677. Konflik itu menyebabkan para pengikut Trunojoyo enggan kembali ke Madura.

Mereka akhirnya menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Orang-orang ini pada beberapa masa kemudian memilih mencari nafkah di sektor informal, seperti tukang soto, tukang sate, dan tukang cukur. Selain kuatnya tradisi migrasi itu merupakan bentuk jawaban terhadap kondisi ekologis pulau Madura yang gersang dan tandus.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Tukang Cukur dari Garut

Tukang Cukur
Abah Atrox tengah memberikan bimbingan cukur rambut kepada siswa didiknya di Desa Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Selain orang Madura, orang-orang China zaman dulu juga banyak yang menjadi tukang cukur. Persebaran orang-orang dari daratan China ini memang terjadi sejak berabad-abad lampau lamanya. Mereka bermigrasi dan menyebar ke banyak negara, termasuk ke pelosok-pelosok wilayah Nusantara.

Haryoto Kunto dalam bukunya berjudul: Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984), pernah menuliskan bahwa orang China di Bandung pada masa lalu ternyata juga dikenal menguasai profesi sebagai pemangkas rambut dan mengorek kotoran telinga dengan alat yang disebut "kili-kili".

Selain orang Madura dan China, dalam buku itu Haryoto juga menyebut bahwa beberapa orang Jepang juga memiliki toko pangkas rambut di alun-alun Bandung pada 1932, misalnya Toko Tjijoda, Toko Nanko, dan Toyama.

Selain daerah-daerah itu, tukang cukur belakangan juga identik dengan Garut. Ada ribuan tukang cukur lahir dari kota itu, dan menyebar ke banyak daerah. Konon, cerita banyaknya tukang cukur asal Garut ini lekat dengan kisah pemberontakan DI/TII yang dipimpin Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, antara 1949 sampai 1950-an.

Akibat konflik itu, banyak orang-orang garut bermigrasi ke daerah lain. Untuk bertahan hidup, mereka ada yang sekadar bekerja menjadi tukang cukur. Ternyata profesi itu menjanjikan, sehingga akhirnya banyak ditiru orang-orang Garut lainnya.

Profesi tukang cukur rambut tentu ada karena orang ingin mencukur rambut. Menurut Anthony Reid, pakar sejarah Asia Tenggara, rambut adakah sesuatu yang suci bagi kebanyakan orang Asia Tenggara. Mencukur rambut bisa pula wujud praktik keberagamaan orang Asia Tenggara.

Pemotongan rambut pria juga merupakan pertanda yang penting dari kepatuhan pada Islam. Misalnya dalam praktik haji. Ada masanya orang muslim yang naik haji harus mencukur rambutnya.

Sementara itu di Jawa, Pangeran Diponegoro menganjurkan para pengikutnya untuk mencukur rambut menjadi lebih pendek agar bisa membedakan diri dari orang-orang Jawa yang “murtad” ke Belanda. Orang-orang dari negeri Barat turut mengubah konsep lawas orang Asia Tenggara terhadap rambut.

Barbershop dan DPR

Tukang cukur.
Lambang barbershop. (sumber: pinterest)

Revolusi industri abad ke-18 telah memunculkan kelas pekerja di Eropa. Para buruh pabrik tak boleh berambut panjang karena identik dengan gelandangan dan kaum kriminal.  Para orang kaya Eropa mencitrakan diri sebagai sosok terhomat melalui potongan rambut pendek.

Pria terhormat tidak lagi berambut panjang seperti perempuan. Pemakaian wig panjang pada lelaki dewasa juga mulai ketinggalan zaman. Mencukur rambut kemudian jadi sebuah kebutuhan.

Karena tidak tiap orang bisa mencukur rambut, maka ia menjelma jadi profesi dan bisnis. Barbershop atau salon rambut mulai berpisah dari segala macam praktik medis. Sebelumnya, para pencukur rambut juga merangkap sebagai pembedah pasien operasi medis.

Di barbershop inilah orang Eropa datang secara khusus untuk mencukur rambutnya, membuat diri mereka kelihatan rapi. Cara orang Eropa memandang dan merawat rambut terbawa ke negeri-negeri jajahan mereka. Di Hindia Belanda, sebagian mereka membuka usaha cukur rambut untuk melayani pejabat Belanda dan orang Eropa.

Para pencukur rambut ialah orang-orang terampil. Mereka melewati serangkaian pelatihan mendandani rambut dan selingkarnya (jambang, kumis, dan jenggot). Mereka biasa bekerja di salon rambut yang terdapat di hotel-hotel.

Barbershop di hotel memasang harga layanan mahal. Karena itu, tak banyak orang bisa membayarnya. Mereka yang berkantong tipis akan pergi ke deretan pohon rindang atau sering disebut DPR yang biasanya berlokasi dekat pasar atau jalan utama kota.

Di sini mereka menggunakan jasa tukang cukur bertarif murah-meriah. Tak ada atap, bangunan permanen, atau lantai marmer seperti barber shop di hotel. Terbuka dan apa adanya saja.

Profesi Menjanjikan

Henoch Sitompul
Henoch Sitompul (Dok. Instagram/@henochsitompul/https://www.instagram.com/p/BpZMbzCgsUR/Komarudin)

Seiring perkembangan zaman, banyak bermunculan tempat cukur rambut dengan berbagai kelas, mulai dari kelas bawah, menengah sampai kelas atas.

Saat ini sudah banyak tempat cukur rambut dengan beragam variasi, mulai dari yang tempatnya paling sederhana sampai di tempat yang mewah dan super nyaman.

Profesi tukang cukur pun sudah mulai naik kelas dan bahkan ada yang menjadi selebritis. Salah satunya adalah Henoch Sitompul. Pria yang mendalami profesi sebagai barber di Amerika Serikat itu kabarnya memasang tarif tertinggi di Indonesia, yaitu sekitar Rp1,5 juta untuk melayani seorang pelanggan.

Selain Henoch, tentu masih ada tukang cukur atau istilah kerennya, barber andal di Indonesia. Profesi ini pun semakin menjanjikan dan banyak diminati. Para pelanggan pun makin punya banyak pilihan.

Mereka tak lagi harus datang ke tempat cukur, barbershop maupun salon, kini mereka juga bisa memesan sedara online dan menunggu di rumah. Mau memilih cara lama atau cara baru, pilihan ada di tangan pelanggan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya