Liputan6.com, Jakarta - Perempuan vokal dan memiliki semangat belajar yang tinggi di era 1880-an itu bernama Kartini. Namun, Kartini tak sendiri. Bersama kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah, mereka jadi "pendobrak tradisi" di masanya.
Ketiga putri Bupati Jepara Raden Mas Ario Adipati Sosroningrat ini begitu kompak. Bahkan, sahabat Kartini, Marie Ovink-Soer, istri asisten Residen Jepara, menjuluki mereka Tiga Saudara. Tak hanya itu, Kartini juga dikenal lewat sebutan trio in. Het Klaverblad atau Daun Semanggi.
Dibandingkan adik-adiknya yang lain, Kartini paling dekat dengan Roekmini dan Kardinah. Roekmini lahir setahun setelah Kartini dari ibu tiri bernama Raden Ayu Moerjam, garwa padmi (istri utama) Bupati Jepara Raden Mas Ario Adipati Sosroningrat.
Advertisement
Baca Juga
Kardinah adalah adik kandungnya. Ibunda Kartini, Ngasirah, adalah garwa ampil Bupati. Ketiganya membangun dunia sendiri selama enam tahun dalam pingitan. Mereka membaca, menggambar, melukis, membatik, memasak, berlatih berbicara dalam Bahasa Belanda, dan bermain piano bersama.
Dikutip dari Majalah Tempo edisi 21 April 2013, kakak-adik ini berdiskusi soal cita-cita mereka sebagai remaja usia 14, 15, dan 16 tahun. Mereka ingin menjadi dokter, bidan, perawat, pelukis, dan guru.
Usai masa pingitan, ketiganya diberi kebebasan oleh sang ayah untuk membuka sekolah bagi masyarakat kebanyakan di pendapa kabupaten, setelah sempat melawat ke Batavia. Mereka mengajarkan baca, tulis, dan berbagai keterampilan, termasuk membatik.
Sebenarnya, masa pingitan itu belum benar-benar berakhir bagi ketiganya. Namun, keteguhan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat mencair juga. Setelah berkali-kali menampik bujukan Residen Semarang Pieter Sijthoff dan Nyonya Marie Ovink-Soer, istri bekas asisten Residen Jepara, untuk membebaskan Kartini, Roekmini, dan Kardinah dari pingitan, Sasro akhirnya mencabut belenggu itu pada 2 Mei 1898.
Kala itu, pingitan Kartini menjelang memasuki tahun keenam, sedangkan Roekmini dan Kardinah tahun kedua. Seperti ingin merayakannya, sang ayah mengajak tiga putrinya ke luar Jepara. Mereka menghadiri perayaan Hari Penobatan Ratu Wilhelmina di ibu kota Karesidenan, Semarang.
Dalam hidupnya, ini pertama kali bagi Kartini keluar dari Jepara. Ia menggambarkan suasana hatinya itu dalam surat pada Estelle "Stella" Zeehandelaar tertanggal 25 Mei 1899, yang disitir Sitisoemandari Soeroto dalam bukunya, Kartini: Sebuah Biografi.
Kembali dari Semarang, ketiganya sepakat mewujudkan diskusi-diskusi yang selama ini mereka bicarakan dalam kamar pingitan. Apalagi, orangtua mereka merestui ketiganya untuk "menyelidiki" kehidupan rakyat untuk mengetahui bagaimana kehidupan di luar.
Maka, bersama dua saudaranya, Kartini blusukan keluar-masuk kampung, terutama di Jepara bagian selatan. Mereka mendatangi sejumlah sentra kerajinan rakyat. Saat inilah Kartini mengetahui suka dan duka masyarakat sekelilingnya. Cerita dari blusukan itu ia tuangkan dalam sejumlah tulisan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tanpa Nama
Bakat menulis Kartini telah terasah sejak dipingit. Awalnya hanya Sosrokartono, Roekmini, dan Kardinah yang mengetahui kemampuan ini. Tulisan pertamanya adalah soal upacara perkawinan suku Koja di Jepara. Kartini dengan sangat detail menggambarkan prosesi perkawinan warga keturunan Arab tersebut.
Misalnya, ketika menggambarkan tradisi brinei mempelai perempuan di malam sebelum pernikahan, yakni mewarnai kuku jari dengan tumbukan halus daun pacar atau inai. Ia juga mendeskripsikan pakaian pengantin, bentuk kuade (dekorasi pelaminan), suasana selamatan, sampai ajuran, yakni upacara saling menyuap nasi kuning. Lalu, ritual mandi-mandi, yang menandai akhir tiga hari larangan pengantin keluar dari kamar.
Mengutip Tempo, karangan Kartini yang berjudul "Het Huwelijk bij de Kodja's" (Perkawinan Itu di Koja) tersebut dipublikasikan dalam Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde (Jurnal Humaniora dan Ilmu Pengetahuan Sosial Asia Tenggara dan Oseania) volume 50 nomor 1 tahun 1898, halaman 695--702. Ini adalah jurnal ilmiah bidang bahasa, antropologi, dan sejarah terpandang sejak 1853 yang masih terbit sampai saat ini.
Memang tak tercantum nama Kartini sebagai penulis artikelnya. Yang muncul nama sang ayah. Jaap Anten dari Departemen Arsip dan Foto pada Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) memberi penjelasan dalam situsnya perihal ketiadaan nama Kartini.
"Tidak dicantumkan nama Kartini, tapi nama ayahnya demi alasan keamanan," tulisnya.
Kartini menulis artikel tersebut pada 1895 saat berusia 16 tahun. Tulisan itu pertama kali ditunjukkan Kartini pada Marie Ovink-Soer. Ia menyarankan Kartini terus berlatih menulis karena berbakat. Ia kian bersemangat menulis, namun karangan itu hanya ia simpan.
Tiga tahun kemudian, Kartini menemukannya kembali saat membereskan lemari. Tulisan itu lalu ia tunjukkan pada sang ayah. Sosroningrat, yang diminta KITLV membantu memasok tulisan, lantas mengirimkan karangan anaknya.
Advertisement
Cinta Sastra
Bukan hanya perkawinan adat Arab yang Kartini tulis. Pada buku Panggil Aku Kartini Saja karangan Pramoedya Ananta Toer, disebutkan Kartini juga menulis perkawinan di kalangan pembesar pribumi. Tulisan itu agaknya merupakan hasil reportase Kartini atas perkawinan Kardinah pada 24 Januari 1902.
Pasalnya, tulisan itu cocok dengan surat Kartini pada Hilda Gerarda de Booy-Boissevain tertanggal 21 Maret 1902. Di sana, ia bercerita detail tentang tata cara pernikahan adat Jawa sejak tiga malam sebelum pernikahan, widodareni, akad nikah, dan selamatan.
Menurut Pramoedya, tulisan tersebut tidak pernah diterbitkan meski sebuah majalah terbitan Belanda berkali-kali meminta. Kendati majalah itu menawarkan penulisan anonim, Kartini tetap menolak.
Alasan Kartini, orang akan tetap tahu bahwa itu tulisannya. Pada masa itu, hanya sedikit orang Indonesia yang bisa menulis dalam bahasa Belanda dan lebih sedikit lagi yang bisa dipublikasikan.
Kartini lebih menyukai publikasi tanpa mencantumkan namanya. Tulisan-tulisan di majalah De Echo dan majalah perempuan Hindia yang berbasis di Yogyakarta, semua menggunakan nama samaran Tiga Saudara.
Pemimpin Redaksi De Echo Nyonya M. Ter Horst menyediakan kolom khusus untuk Tiga Saudara. Harian terbesar masa itu, De Locomotief, yang berbasis di Semarang, memuji tulisan-tulisan yang dikirimkan dengan nama pena Tiga Saudara.
Kartini juga menulis tentang seni batik. Dalam surat pada Stella tertanggal 6 November 1899, seperti dikutip di buku Aku Mau... Feminisme dan Nasionalisme (Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903), Kartini mengutarakan kegembiraan perihal artikel batik yang ia tulis setahun sebelumnya akan diterbitkan menjadi buku.
Kemudian, buku itu terbit dengan judul De Batikkunst in Ned lndie en haar Geschiedenis (Kesenian Batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya), yang ditulis G.P. Rouffaer dan Dr H.H. Juijnboll.
Kartini sebenarnya bimbang menentukan cita-citanya, apakah jadi guru, dokter, perawat, ahli kesenian, atau pengarang. Suratnya pada Stella tertanggal 11 Oktober 1901 menceritakan tentang ini. Ia bercerita ayahnya ingin ia menjadi guru, tapi ia sadar biayanya mahal.
Memang ada sekolah dokter untuk pribumi, STOVIA, yang menggratiskan uang sekolah bagi laki-laki, tapi ia tak berminat karena pendidikannya lama. Kartini menyebut bidang sastra adalah kecintaannya.
"Kau tahu ini adalah mimpiku bila suatu hari nanti aku bisa menjadi penulis yang diperhitungkan dalam bidang seni sastra."
Saparinah Sadli, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan penulis Kartini Pribadi Mandiri, menyebutkan bahwa tulisan Kartini istimewa karena kritis dan mengangkat isu sosial. Ini yang membedakan dengan pahlawan lain. "Karena ia meninggalkan tulisan," ujar Saparinah.