Liputan6.com, Jakarta - Tanggal 1 Juli biasanya disambut warga Prancis dengan murung karena berita kenaikan biaya listrik atau gas. Namun, Juli tahun ini berbeda lantaran kebijakan cuti ayah terbaru mulai berlaku.
Dilansir dari laman France24, Senin, 5 Juli 2021, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan bahwa cuti ayah selama 28 hari berlaku mulai 1 Juli 2021. Kebijakan ini termasuk aturan wajib cuti selama seminggu bagi para ayah baru. Kebijakan reformis itu begitu dinantikan agar para ayah bisa berperan lebih banyak sebagai orangtua dan berpartisipasi dalam kehidupan rumah tangga.
Advertisement
Baca Juga
Dalam kebijakan yang baru tersebut, waktu cuti bagi ayah atau orangtua kedua bagi anak kandung maupun anak adopsi diperpanjang menjadi 25 hari plus tiga hari sejak bayi lahir. Sebelumnya, waktu cuti ayah hanya berlaku 11 hari plus tiga hari saja.
Dalam kasus kelahiran ganda, para ayah berhak mendapatkan tambahan tujuh hari cuti sehingga total 32 hari, dibandingkan sebelumnya hanya 18 hari. Tiga hari pertama cuti akan ditanggung oleh perusahaan, sedangkan sisanya akan ditanggung oleh sistem jaminan sosial.
Nicolas, seorang perawat di Morbihan, akan menjadi orang pertama merasakan kebijakan pemerintah di Prancis. Ia sedang menantikan kelahiran putrinya yang diprediksi terjadi sekitar dua minggu lagi.
"Ini adalah anak pertama kami, kami tidak sabar untuk bertemu makhluk kecil ini dan menemukan dunianya," kata Nicolas kepada AFP.
Calon ayah berusia 40 tahun itu sudah merencanakan segalanya untuk menyambut kelahiran anaknya. Agar rekan kerjanya tetap bisa bernapas, ia akan mengambil cuti dalam tiga tahan, yakni beberapa hari di pertengahan Juli saat putrinya lahir, kemudian pada Agustus, sebelum mengambil seluruh cuti pada bulan September.
Atasannya langsung menyetujui permohonannya. Nicolas meyakini itu karena ada perubahan cara memandang peran ayah di Prancis.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Masih Ada PR
"Ini evolusi yang nyata," ujar David Malczuk (27), yang akan menyambut anak keduanya di akhir Juli. Ia juga telah berencana mengambil cuti sebulan.
Ketika anak pertamanya lahir, desainer industrial itu menggunakan 11 hari liburnya untuk mengunjungi istri dan anak mereka di Rusia, yakni tempat sang istri berasal. "Ia melahirkan pada Rabu. Aku bersamanya di bangsal persalinan hingga Minggu, dan pada Senin, aku kembali bekerja. Aku sangat kelelahan, aku memiliki kantung mata," kenangnya saat itu.
"Kali ini, aku bisa membangun ritme dengan bayiku dan mengembalikan sebagian energiku (sebelum bekerja kembali)," ujarnya.
Cuti ayah saat ini bersifat opsional dan diambil sekitar tujuh dari 10 ayah. Angkanya tak banyak berubah dari sejak skema itu diperkenalkan pada 2002 dan dengan ketidaksetaraan sosial yang tersembunyi di dalamnya, yakni 80 persen pekerja tetap menggunakannya, dibandingkan pekerja kontrak yang kurang dari 60 persen.
"Pertanyaannya tidak hanya tentang apa yang para ayah inginkan, tapi masih ada hambatan psikologis, khususnya terkait dengan perusahaan," ujar psikoterapis Isabelle Filliozat, Wakil Presiden Komisi 1000 Hari Pertama, yang merekomendasikan agar pemerintah meningkatkan waktu cuti ayah hingga sembilan minggu.
Menurut dia, reformasi aturan itu semestinya mendorong agar lebih banyak ayah yang mengambilnya karena cuti seminggu yang wajib akan membantu mereka dalam bernegosiasi dengan atasan mereka.
Advertisement
Mengubah Peran di Rumah
Perilaku terkait pengasuhan sebagian besar terbentuk di hari-hari pertama setelah kelahiran anak. "Ini bukan masalah peran atau gender," ujar Filliozat. "Bila Anda berada di sekitar anak setiap hari, Anda menjadi lebih sensitif, perhatian, dan membangun keterampilan mengasuh."
Namun, banyak ayah tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk bersama bayi mereka. Imbasnya, keterikatan menjadi lebih renggang, merasa tak terlibat, dan cenderung menyerahkan tugas mengasuh anak hanya kepada ibu.
"Yang mana hari itu memicu banyak konflik," ia menambahkan.
Meski begitu, perwakilan kelompok feminis Marie-Nadine Prager menertawakan cuti ayah 28 hari ini. "Itu mungkin lebih baik untuk membangun ikatan dengan bayi, tetapi tidak untuk posisi setiap orang di rumah tangga," kata aktivis tersebut.
Ia berpendapat cuti ayah ideal merujuk pada model Skandinavia, yakni ada pembagian tugas antar-orangtua dan mereka digaji layak. (Muhammad Thoifur)