Liputan6.com, Jakarta - Pandemi COVID-19 yang berlangsung selama hampir dua tahun telah secara dramatis mengubah kebiasaan banyak orang. Dalam daftar panjangnya, menjalin hubungan cinta pun bukan pengecualian.
Founder LoveCoach.id, Jose Aditya, menyebut pandemi telah membawa gelombang kesadaran bahwa hubungan jauh lebih penting dari ekspektasi publik selama ini.
"Yang sudah menikah, biasanya bertemu hanya di malam hari, karena pembatasan ruang gerak, jadi ketemu setiap hari, bahkan setiap saat. Lalu, yang belum menikah, biasanya mudah ketemu secara fisik, karena pandemi, yang dekat pun jadi rasa LDR (long distance relationship), dan gara-gara itu semua banyak yang tersadar," urainya melalui pesan pada Liputan6.com, Jumat, 11 Februari 2022.
Advertisement
Baca Juga
Ia melanjutkan, "Ada yang sadar ternyata belum begitu mengenal pasangannya. Ada yang sadar kayaknya mereka nikah dengan pasangan yang salah. Ada yang sadar ternyata mereka belum terlalu invest pada relationship mereka."
Dampak terjangan gelombang kesadaran ini, Jose mengatakan, bisa saja membuat sebuah hubungan kian erat, atau malah sebaiknya. "Tergantung pilihan si pelakunya," ia mengatakan.
Sementara bagi seorang suami dan ayah, Aldan, pandemi membuat dirinya dan istri lebih sadar akan kesehatan. "Gue sesekali masih harus keluar rumah buat kerja, istri malah masih full masuk (kerja), jadi komunikasinya lebih banyak tentang bagaimana mencegah anak (tertular virus)," ujarnya melalui pesan, Jumat, 11 Februari 2022.
Elis, seorang perempuan berpacar, pun menyepakati gagasan itu. Masa krisis kesehatan global membuat dirinya dan pasangan lebih menjaga kesehatan dengan cara seperti memasak makanan sendiri dan menstok vitamin.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pentingnya Mengelola Emosi Masing-Masing
Menjalin hubungan selama pandemi, Jose mengatakan, juga tentang menyesuaikan cara mengelola emosi masing-masing. Pasalnya, selama masa-masa tidak menentu, ada saja titik di mana seseorang merasakan stres berlebih.
"Ketika sedang stres, manusia itu antara dua kemungkinan: mengendalikan emosi atau dikendalikan emosi," ia menyebutkan. "Kalau bisa mengendalikan emosi sendiri, tantangannya hadir dari pasangan yang enggak bisa mengendalikan emosi."
"Kalau dikendalikan emosi, yang jadi tantangan adalah diri sendiri. Syukur-syukur punya pasangan 'waras' yang bisa mengendalikan emosi, jadi bisa lebih seimbang. Tapi, kalau 2-2nya dikendalikan emosi? Itu yang gawat," Jose menambahkan.
Ia mengatakan, tidak ada pola hubungan yang mendominasi selama pandemi COVID-19. Yang paling menonjol, yakni perbedaan frekuensi pertemuan dan emosi yang dipicu akibat keadaan itu.
"Apakah benar pandemi membuat orang mau jalani hubungan yang lebih bermakna? Saya rasa enggak. Karena pandemi hanya sebuah kondisi, sebuah stimulus, pada akhirnya masing-masing manusia yang bertanggung jawab untuk merespons," tuturnya.
Jika pikiran dan perasaannya bisa dikenalikan, bisa jadi seseorang ingin hubungan lebih bermakna. Tapi, jika sering terperdaya pikiran dan perasaan sendiri, bisa jadi mereka tidak mau berada di dalam hubungan sama sekali, katanya.
"Karena bagi mereka, kebenaran cinta itu seperti yang dikatakan Cut Pat Kai: 'Cinta memang deritanya tiada akhir!'" kelakar Jose.
Elis bercerita dirinya menemukan makna lebih dalam hubungan selama pandemi. "Kami sudah pacaran hampir delapan tahun, ternyata pas pandemi ada sifat-sifatnya yang baru aku tahu, dan sifatku yang baru ia tahu. Jadi, lebih sering diskusi sama lebih saling menerima kekurangan," urainya melalui pesan, Rabu, 9 Februari 2022.
Advertisement
Konflik yang Justru Diperlukan
Menanggapi tingkat perceraian yang meningkat, tidak hanya di Indonesia, namun juga banyak negara di dunia, Jose mengatakan, masalah terbesar manusia adalah pola pikir, yang mengatakan bahwa kita seharusnya tidak punya masalah.
"Banyak yang menikah dengan ekspektasi ingin bahagia dan minim konflik. Dari situ saja sudah salah. Nikah itu enggak bisa bikin kita bahagia, karena sejatinya kebahagiaan kita selalu jadi tanggung jawab diri sendiri," ucapnya.
Ia menyambung, "Dalam hubungan, karena saya cinta sama pasangan, saya mau membahagiakan pasangan saya. Tapi pada akhirnya ia bahagia atau tidak, itu tanggung jawab sendiri. Begitu pula sebaliknya."
"Karena sudah salah ekspektasi, nikah untuk bahagia, ketika pernikahan enggak membahagiakan, mereka jadi menuntut pasangan untuk membahagiakan mereka," Jose mengatakan.
Kemudian, soal hubungan pernikahan minim konflik, ia menyebut, "mana ada dua orang berbeda disatukan dalam ikatan pernikahan tinggal di dalam rumah enggak berkonflik?"
"Justru konflik itu perlu, dan jika dilakukan secara benar, konflik malah membuat hubungan makin kuat. Tapi yang terjadi kebanyakan, yang menyumbang angka perceraian itu bukan konflik, tapi drama," tuturnya.
Menjalani Hubungan di Masa Pandemi, Harus Bagaimana?
Apa pun konteks hubungannya, kuncinya selalu ada di komunikasi. Jose menggarisbawahi, komunikasi di sini bukan hanya soal bicara, tapi juga memahami pasangan.
"Apa yang perlu saling dipahami? Ekspektasinya, pola pikirnya, kesukaannya, batasan-batasan, prinsip, keyakinan, dan hal-hal lain," katanya.
Maka itu, penting untuk menjaga "kewarasan diri." "Hanya mereka yang 'waras,' dalam arti mampu mengendalikan pikiran dan perasaan, yang mampu berkomunikasi dan berkonflik," tadasnya.
Aldan pun mengatakan hal serupa. "Lebih harus jaga kesehatan. Karena kalau sudah kena (positif COVID-19), itu merepotkan semua. Komunikasi juga biasanya lebih berantakan kalau ada yang kena. Kalau sakit, ada saja masalahnya," ia mengatakan.
Sementara menurut Elis, menjalin hubungan asmara di masa pandemi juga tentang mengetahui batasan. "Biarkan ia punya waktu juga (untuk diri sendiri), enggak harus apa-apa dilakukan berdua," tutupnya.
Advertisement