Bisakah Konsultasi Pranikah Meredam Momok Marriage Is Scary?

Marriage Is Scary merupakan tren yang mengungkap alasan sejumlah pengguna media sosial, yang didominasi perempuan, enggan menikah.

oleh Asnida Riani diperbarui 15 Feb 2025, 15:49 WIB
Diterbitkan 15 Feb 2025, 10:00 WIB
Konsultasi ke Psikolog
Ilustrasi konsultasi pranikah dan momok "marriage is scary." (Sumber foto: Pexels.com).... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Sudah sejak beberapa waktu lalu ungkapan "Marriage Is Scary" wara-wiri di media sosial. Istilah itu secara harfiah berarti "Pernikahan Itu Menakutkan," yang diinterpretasi jadi alasan-alasan sejumlah warganet, yang didominasi perempuan, enggan mengikat diri dalam janji sehidup semati dengan pasangan.

Certified Relationship Coach, Muara D. Makarim, mengatakan bahwa pengungkapan "Marriage Is Scary" datang dari orang-orang yang belum menyembuhkan diri. "Mereka banyak memproyeksikan ketakutan-ketakutan dari trauma mereka sendiri," katanya melalui pesan suara pada Lifestyle Liputan6.com, Selasa, 11 Februari 2025. "Mereka mungkin melihat pernikahan yang tidak baik saat tumbuh dewasa."

"Pun tidak demikian, mereka mungkin disakiti di masa lalu, jadi tidak mau memulai lagi. Mereka tidak percaya pada orang lain," ia menyambung. "Selain itu, mereka mungkin tidak sadar bahwa banyak fondasi dasar untuk memiliki hubungan jangka panjang yang sehat."

Terpisah, psikolog Teresa Indira Andani, M.Psi., menyebut, tren "Marriage Is Scary" menunjukkan bahwa semakin banyak orang merasa cemas terhadap pernikahan. "Dalam eori perkembangan psikososial Erik Erikson, individu pada tahap dewasa muda, yakni 21--39 tahun, menghadapi tantangan tahap perkembangan: intimacy vs. isolation," ujar dia, Selasa.

"Mereka perlu membangun hubungan dekat agar tidak mengalami kesepian atau kesulitan dalam menjaga hubungan yang stabil. Ketakutan terhadap pernikahan bisa muncul sebagai bentuk kecemasan akan kegagalan dalam menjalani tahap perkembangan ini."

"Dalam psikologi perkembangan, ada konsep social clock, yaitu norma sosial yang tidak tertulis tentang kapan seseorang 'seharusnya' menikah, memiliki anak, atau mencapai tahapan hidup tertentu. Jika seseorang merasa belum mencapai tahapan ini pada waktu yang 'ideal,' mereka berisiko mengalami tekanan sosial yang memicu kecemasan," .

Media sosial, menurut Teresa, semakin memperkuat tekanan ini dengan menampilkan standar pernikahan yang ekstrem, baik dalam bentuk pernikahan yang tampak sempurna maupun perjalanan penuh masalah. "Faktor finansial dan tuntutan karier pun membuat pernikahan terasa semakin sulit dijangkau," ia menambahkan. 

Pernikahan Bukan Hanya tentang Risiko

Ilustrasi
Ilustrasi momok Marriage Is Scary. (dok. pexels.com/Stokpic)... Selengkapnya

Teresa berkata, "Meski kekhawatiran ini valid, penting bagi individu untuk memahami bahwa pernikahan bukan hanya tentang risiko, tapi juga peluang bertumbuh bersama pasangan. Dengan persiapan psikologis yang baik, termasuk keterampilan komunikasi, manajemen konflik, dan pemahaman yang lebih realistis tentang pernikahan, individu dapat menghadapi ketakutan ini dengan lebih matang dan rasional."

Karena setiap individu membawa pola hubungan yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, baik yang menyenangkan maupun penuh tantangan, konsultasi pranikah jadi langkah penting untuk membantu seseorang memahami diri sendiri dan pasangan, memproses pengalaman masa lalu, serta membekali diri dengan keterampilan yang dibutuhkan dalam menjalani pernikahan dengan lebih sehat dan sadar.

"Meningkatkan keterampilan komunikasi agar pasangan dapat mengekspresikan kebutuhan dan perasaan dengan lebih efektif jadi salah satu manfaat konsultasi pranikah," kata Teresa. "Mereka juga berkesempatan mengelola dan menyelesaikan konflik dengan teknik resolusi konflik berbasis psikologi hubungan."

Ia menjabarkan bahwa berbagai penelitian menunjukkan, pasangan yang memiliki keterampilan komunikasi dan resolusi konflik yang baik lebih mungkin memiliki pernikahan yang langgeng dan bahagia. "Dengan kata lain, pernikahan bukan hanya tentang cinta, tapi juga bagaimana pasangan terus mengusahakan hubungan yang sehat melalui keterampilan yang bisa dipelajari," menurut dia.

Namun demikian, cinta digarisbawahi Muara sebagai fondasi terpenting. "Kedua, harus saling tahu nilai-nilai hidup masing-masing, sama atau tidak. Tiga, harus menyamakan visi. Kalau itu semua sudah sama, mau nanti masalahnya sesusah apapun, mereka akan bisa melewatinya, karena telah menjalani pernikahan dengan sadar," sebut dia.

Disarankan Menjalani Terapi Mendalam

Ilustrasi Putus Cinta
Ilustrasi momok Marriage Is Scary. (dok. Unsplash.com/Kelly Sikkema @kellysikkema)... Selengkapnya

Sementara konsultasi pranikah dianggap "penting, namun tidak wajib," Muara lebih menyarankan seseorang menjalani terapi demi menyelesaikan isu diri sendiri. "Karena kalau kita terapi untuk membicarakan masalah kita yang mau di-resolve, tentang masalah hubungan yang mau di-resolve sebelum menikah, hasilnya akan berdampak lebih panjang."

Terapi secara lebih mendalam, kata dia, membuat seseorang benar-benar berupaya mengatasi masalah-masalah dalam diri, entah sebagai pasangan maupun individu. "Menurut saya," ia melanjutkan. "Tetap penting punya pengetahuan umum melalui konsultasi pernikahan, tapi yang lebih penting adalah menyelesaikan masalah dari akarnya."

Konsultasi pranikah dari sudut pandang psikologis, kata Teresa, sangat direkomendasikan. "Sesi konseling di puskesmas umumnya berfokus pada kesehatan fisik, seperti pemeriksaan kesehatan reproduksi, skrining penyakit menular, dan imunisasi. Namun, aspek psikologis dan dinamika hubungan tidak selalu jadi fokus utama dalam sesi ini."

"Di biro psikologi tempat saya berpraktik, SILC Counseling, konsultasi pranikah mencakup pengenalan pola komunikasi dan konflik dalam hubungan yang akan membantu pasangan memahami dinamika interaksi mereka dan cara mengelola perbedaan."

"Kemudian, ada manajemen stres dan dinamika emosional dalam pernikahan yang akan memberi strategi untuk mengatasi tekanan dan menjaga keseimbangan emosional. Juga, terdapat diskusi tentang nilai-nilai hidup, keuangan, dan ekspektasi pasangan yang memfasilitasi percakapan mendalam mengenai harapan dan perencanaan masa depan bersama," bebernya.

Memahami Dampak Negatif Konsultasi Pranikah

tangan pasangan
Ilustrasi momok marriage is scary | copyright unsplash.com/Priscilla Du Preez 🇨🇦... Selengkapnya

Konsultasi pranikah, kata Teresa, sebaiknya dilakukan tiga hingga enam bulan sebelum pernikahan agar pasangan memiliki cukup waktu untuk memproses dan menerapkan pembelajaran dari sesi ini. Namun, bagi pasangan yang ingin lebih mendalami dinamika hubungan, memulai sejak setahun sebelum pernikahan juga merupakan pilihan yang baik, menurutnya.

Di sisi lain, Muara mengatakan bahwa terapi bisa dilakukan kapan pun. "Jadi, tidak harus saat mau menikah. Ketika kita berada dalam hubungan yang serius. Kita ingin memperbaikinya, membuatnya lebih baik. Kita ingin menciptakan hubungan yang sehat. Jadi, mau tahun depan, dua tahun lagi menikahnya, selama Anda tahu Anda berada dalam hubungan yang serius, menurut saya, hal itu (terapi) perlu dilakukan," ungkapnya.

Ketika ditanya dampak negatif yang berpotensi timbul dari konsultasi pranikah, Teresa menjelaskan, "Mungkin muncul konflik tidak terduga jika pasangan menyadari adanya ketidaksesuaian fundamental. Lalu, bisa jadi ada ekspektasi yang terlalu tinggi jika pasangan berpikir bahwa konsultasi akan 'menyelesaikan' semua masalah, padahal hubungan tetap membutuhkan kerja sama terus menerus."

"Ketakutan atau keraguan baru, terutama jika sesi membahas topik yang sensitif, seperti keuangan atau nilai hidup yang berbeda pun mungkin jadi dampak negatif konsultasi pranikah. Namun, hal ini bukan alasan untuk menghindari konsultasi, justru jadi kesempatan mengevaluasi kesiapan dan membangun pemahaman lebih dalam sebelum menikah," tandasnya.

Infografis syarat nikah. (Dok: Liputan6.com/dillah)
Infografis syarat nikah. (Dok: Liputan6.com/dillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Live dan Produksi VOD

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya