Liputan6.com, Jakarta - Keluarga Manurung yang sempat viral karena mengidap sindrom langka sekarang jadi kreator konten di media sosial. Sindrom Barber-Say yang diidap mereka merupakan kelainan genetik yang ditandai dengan perbedaan khas pada bagian kepala dan wajah.
Tampilan yang tidak seperti orang kebanyakan itu tidak membuat mereka enggan berkarya. Sejak tahun lalu, keluarga asal Kota Kisaran, Sumatra Utara ini rutin membuat konten yang dibagikan melalui kanal YouTube, serta akun Instagram dan TikTok mereka.
Popularitas di Tiktok memulai langkah Keluarga Manurung jadi kreator konten. Mereka kemudian merambah YouTube, juga Instagram yang sampai artikel ini ditulis sudah mengumpulkan hampir 40 ribu pengikut.
Advertisement
Baca Juga
Keluarga ini beranggotakan tujuh orang yang terdiri dari ayah dan enam anak. Ibu mereka, yang dipanggil umi, sudah meninggal pada 2017.
Lewat sebuah video kolaborasi yang diunggah di kanal YouTube Irfan Hakim, beberapa waktu lalu, si presenter sempat bertanya apakah Keluarga Manurung merasa malu saat tampil di video-video mereka. "Kalau sebelum ada Tiktok ya kita biasa-biasa saja, walau istilahnya kalau untuk kata-kata bully-an itu dari kecil sampai sekarang pasti ada," kata Surya, salah satu anggota keluarga itu.
Ia menambahkan, "Cuma enggak ada rasa-rasa malu gitu, tetap pede (percaya diri) aja."
Surya mengaku dirinya memang kerap jadi korban perundungan. Beberapa bahkan mempertanyakan mengapa penampilan mereka seperti itu. Atas perkataan-perkataan itu, keluarga Manurung mengaku "sudah terbiasa."
Namun yang menyakitkan hati, yakni saat ejekan itu berubah jadi tudingan bahwa mereka adalah korban perkawinan sedarah. "Kalau paling kasar menurut awak (saya) sih perkawinan sedarah. Padahal tidak, banyak yang bilang gitu cuma ya kalau awak kan tidak sih, itu kan memang faktor dari kayak dokter tahu sendiri faktor gen yang menurun ke anak-anak," Surya menyebutkan.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Komentar Pedas Warganet Indonesia
Keluarga Manurung juga bercerita bahwa mayoritas komentar dari orang luar negeri sangat mendukung dan memotivasi mereka, kontras dengan warganet Indonesia. "Memang ya seperti yang saya bilang tadi, tangan sama mulut itu lebih kejam tangannya," ucap Surya.
Sebagai manusia biasa, keluarga Manurung mengaku sakit hati ketika mendengar atau melihat langsung perkataan maupun sikap orang lain terhadap mereka. Namun, Yuni memilih jadi pribadi lebih bersemangat dan percaya diri daripada bersedih.
"Karena kita sudah turun di dunia (hiburan) ini kan, kadang kata orang jangan baca comment cuma kan kadang terbaca kita juga ya comment itu. Contoh, kadang bawa-bawa fisik, kayak jual fisik demi tenar," kata Yuni. Meski menyakitkan, mereka tak ingin berbalik menyakiti orang lain.
Keluarga ini memilih fokus membuat konten yang positif, tidak menyinggung orang lain, dan tampil apa adanya. Terlebih, dukungan ayah membuat mereka merasa lega, bahkan termotivasi.
Advertisement
Dukungan Ayah
Syarifuddin Manurung menasihati anak-anaknya agar siap menerima hujatan. "'Kalau kalian sanggup, lanjutkan. Kalau kalian enggak sanggup, ya sudah mau gimana lagi,' dan kami bilang sanggup. Ayah bilang mendukung asal kami enggak setengah-setengah," Yuni mengatakan.
Masih di video tersebut, hadir pula dokter sekaligus Wakil Ketua Organisasi Anti-Doping Indonesia (IADO) Rheza Maulana. Rheza menjelaskan keunikan kondisi Keluarga Manurung dari sisi kedokteran.
Mirip dengan Sindrom Treacher Collins
Rheza mengatakan, "Jadi, memang ada kelainan gen saat pembentukan embrio yang dinamakan Barber-Say Syndrome di mana pembentukan dari tulang rahangnya, tulang pipinya agak sedikit terganggu dan bentuk matanya khusus agak naik sedikit.
Mirip dengan Sindrom Treacher Collins yang sering dikaitkan dengan keluarga Manurung, Rheza mengatakan Sindrom Barber-Say tidak memiliki kelainan pada tulang telinga. Sindrom ini terbentuk sejak dalam kandungan dan biasanya terjadi karena orangtua memiliki gen tersebut, yang kemudian diturunkan pada anak secara dominan, yakni sekitar 50 sampai 60 persen.
Advertisement