Cerita Akhir Pekan: Jangan Salah Gunakan Alasan Kesehatan Mental

Jika mengenali tanda-tanda gangguan kesehatan mental dalam diri, penting untuk segera berkonsultasi dengan profesional.

oleh Putu Elmira diperbarui 05 Mar 2022, 08:30 WIB
Diterbitkan 05 Mar 2022, 08:30 WIB
Ilustrasi Gangguan Kesehatan Mental
Ilustrasi gangguan kesehatan mental. (Liputan6.com/Triyasni)

Liputan6.com, Jakarta - Gaung kesehatan mental kian terdengar seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman. Meski sulit menghapus stigma tabu terkait isu ini di masyarakat, namun tak sedikit dari mereka yang berjuang untuk mencari jalan keluar dari rasa tak nyaman akibat gangguan kesehatan mental.

Di tengah lika-liku yang dihadapi para pejuang memulihkan kondisi, ada pula yang menyalahgunakan alasan kesehatan mental. Apa yang mendorong hal tersebut?

Psikolog klinis Kasandra Putranto menyampaikan, di masa kini dengan kemajuan teknologi, sangat memungkinkan untuk mendistribusikan informasi secara masif. Satu di antaranya adalah informasi tentang kesehatan mental.

"Selain juga isu kesehatan mental menjadi semakin menarik untuk dibahas, juga bertebaran informasi tentang deteksi dini dan self test kesehatan mental," jelas Kasandra kepada Liputan6.com, Jumat, 4 Maret 2022.

Kasandra menambahkan, ini dilanjutkan dengan munculnya fenomena mendiagnosa diri sendiri tanpa mengecek langsung kepada profesional. "Meskipun seseorang sudah menyadari kesehatan mental dan secara aktif mencari jawaban terhadap keadaan mental saat itu adalah hal yang baik, seseorang tetap sebaiknya tidak mendiagnosis diri sendiri terkait gangguan mental untuk memperoleh suatu diagnosa," terangnya.

"Melainkan, harus melalui tahapan atau proses yang kompleks bersama profesional, terutama jika individu menunjukkan gejala yang berhubungan dengan gangguan mental," lanjutnya.

Dikatakan Kasandra, gangguan kesehatan mental adalah kondisi ditemukannya aspek-aspek yang memengaruhi fungsi kehidupan seseorang, meliputi aspek kognitif, emosi, sosial dan perilaku. Berbagai faktor ditengarai terlibat dalam potensi risiko gangguan kesehatan mental, antara lain genetik, pola asuh, pengalaman, belajar dan gaya hidup, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, perundungan (bullying), pelecehan, hingga stres karena pendidikan atau pekerjaan.

"Jika kesehatan mental seseorang sudah terganggu, maka hal tersebut dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari dan dapat mendorong perubahan perilaku seseorang ketika sedang mengalami tekanan," terangnya.

Perubahan perilaku tersebut, dikatakan Kasandra, berdampak negatif bagi seseorang. Beberapa di antaranya adalah muncul keinginan untuk menyakiti diri sendiri, merasa malu sehingga tidak mau berinteraksi dengan sekitar, dan yang paling parah adalah munculnya keinginan untuk mengakhiri hidup.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Self-diagnosis dan Bahayanya

Ilustrasi Kesehatan Mental
Ilustrasi kesehatan mental (Gambar oleh Wokandapix dari Pixabay)

Kasandra menjelaskan, self-diagnosis adalah proses individu mengamati dalam diri mereka sendiri dan gejala patologi. Mereka lalu mengidentifikasi penyakit atau gangguan atas dasar sumber yang mereka percayai tanpa konsultasi dengan profesional.

"Bahaya self-diagnosis bisa berdampak sangat buruk kepada seseorang dengan gejala gangguan mental," tuturnya. "Karena akan menyebabkan salah diagnosis dan bisa membuat gangguan yang sebenarnya dialami tidak terdeteksi dan menyebabkan gangguan tersebut semakin parah karena diagnosis yang salah."

Maka dari itu, Kasandra menyebut sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater dengan izin praktek yang berlaku. "Selain untuk mendapat diagnosis yang tepat penderita gangguan kesehatan mental dapat dengan leluasa menceritakan apa telah dialami. Hal ini sangat membantu penderita untuk lebih tenang," lanjutnya.

Kenali Gejala dan Tanda-Tanda

Ilustrasi kesehatan mental
Ilustrasi kesehatan mental (dok. pexels)

Orang yang memiliki gangguan kesehatan mental dapat diketahui dari beberapa ciri-ciri. Kasandra menjelaskan, mengenali gejala dan tanda-tanda gangguan mental secara dini dapat membantu mengurangi tingkat keparahan gangguan mental di kemudian hari.

"Tanda-tanda yang dapat dikenali, yaitu perubahan pola tidur dan nafsu makan, perubahan suasana hati secara cepat atau dramatis, penarikan diri dari lingkungan sosial, merasa terisolasi dari lingkungan luar, dan penurunan kemampuan berpikir, konsentrasi, dan ingatan," katanya.

Menjaga Kesehatan Mental

Ilustrasi Kesehatan Mental
Ilustrasi Kesehatan Mental (Photo by Marcel Strauß on Unsplash)

Kasandra mengungkapkan penting untuk merawat kesehatan mental. Hal ini dikarenakan kesehatan mental memengaruhi cara seseorang berpikir dan bertindak.

"Dengan kesehatan mental yang baik, seseorang akan menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan hidup yang normal, dan dapat bekerja secara produktif. Dr. Brock Chisholm, mengatakan "without mental health there can be no true physical health" yang berarti tanpa kesehatan mental kita tidak akan mendapatkan kesehatan fisik yang sebenarnya," terangnya.

Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan mental. Kasandra menyebut, upaya yang bisa dilaksanakan adalah menjalin hubungan dengan orang lain, olahraga, belajar cara mengendalikan stres, makan makanan yang sehat, hingga menjaga pola tidur yang teratur.

Kapan Waktunya Konsultasi ke Ahli?

Ilustrasi kata-kata, kesehatan mental
Ilustrasi kata-kata, kesehatan mental. (Photo by Sydney Sims on Unsplash)

Lantas, kapan waktu yang tepat untuk konsultasi ke ahli terkait gangguan kesehatan mental? Kasandra mengatakan ada baiknya konsultasi dilakukan secara berkala.

"Karena psychological check up itu penting untuk mengidentifikasi permasalahan pada diri seseorang sebelum permasalahan tersebut muncul dan menjadi gangguan yang tidak diharapkan," kata Kasandra.

Cerita Penyintas

Ilustrasi Kesehatan Mental
Ilustrasi kesehatan mental (Gambar oleh Total Shape dari Pixabay)

Perjalanan bergelut dengan gangguan kesehatan mental dibagikan seorang penyintas bernama Karla. Pegawai swasta ini sempat merasakan tanda-tanda yang berbeda dalam diri sebelum akhirnya memutuskan pergi ke profesional pada 2018 lalu.

"Aku suka baca, tapi tanpa aku sadari sudah enggak pernah baca lagi. Apa yang aku sukai enggak lagi menarik buat aku. Awalnya aku pikir enggak pernah benar-benar suka baca selama ini, tapi itu hal-hal yang aku suka dari kecil," kata Karla kepada Liputan6.com, Rabu, 2 Maret 2022.

Selain tidak lagi tertarik dengan hobinya, ada beberapa ciri lain yang ia rasakan. "Tidur bangun jam 11 siang, padahal sudah tidur jam 7 atau 8 malam. Enggak disengaja malas, memang ngantuk saja, merasa capek, dan enggak mau berakivitas," lanjutnya.

Karla juga merasa suasana hatinya benar-benar terjun bebas. Ia merasa sedih dengan hal-hal kecil, berlanjut terlalu kepikiran dan awalnya sempat mengira itu adalah perasaan pramenstruasi.

"Tapi, titik terendah itu saat lagi ngobrol di rumah sama mama dan adik, aku merasa enggak ada yang mengerti aku dan sedih tapi enggak ada yang perasaan aku," jelasnya.

Namun, Karla menangis bukan karena perbedaan pendapat atau terkait obrolnya bersama ibu dan adiknya. "Tiba-tiba aku nangis dan kayak black out tapi melek dan di depan aku melihat diriku gantung diri. Udah halusinasi, di ruangan yang sama, aku kayak megang diri dan bilang ke diriku 'jangan mati sekarang, ayo turun', tapi aku enggak bisa ngomong (secara langsung)" tambahnya.

Bergulat dengan perasaan yang berkecamuk ditambah halusinasi, Karla yang tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa menangis. Kondisinya membuat ibu dan adiknya bingung dan bertanya terkait reaksi Karla.

"In real life, adik tanya kenapa nangis. Aku di posisi sama di tempat duduk langsung bilang 'I really need help. Ma, aku harus ke psikiater'. Aku merasa ini bukan moody, tapi feeling untuk ke psikiater," tutur Karla.

Diagnosis

Ilustrasi Konsultasi Kesehatan Mental
Ilustrasi konsultasi kesehatan mental. (dok. Unsplash.com/Priscilla Du Preez)

Berniat untuk pergi ke psikiater, Karla memulai pencariannya dengan bertanya ke berbagai pihak hingga media sosial. Ia pun memutuskan untuk berobat ke psikiater dengan menggunakan layanan BPJS dan ia dirujuk dari sebuah klinik yang menjadi fasilitas kesehatannya.

"Akhirnya berobat, awal-awal sebulan pertama pertemuan seminggu sekali. Di bulan kedua udah sebulan sekali. Frekuensi berkurang karena ada perubahan dari pengobatan, baik via ngobrol dan obat-obatan," ungkapnya.

Karla melanjutkan, dari sebulan itu dirinya dipantau psikiater dan mengalami penurunan dari gejala-gejala yang sebelumnya dialami, seperti halusinasi, sedih, tidak punya motivasi untuk hidup, sampai menjalankan hobi. Ia pun menebus obat sebulan sekali.

"Diagnosis enggak langsung. Sekitar 3--4 minggu kemudian, psikiater bilang kalau dari pantauan gejala-gejala lebih ke depresi karena sudah mengarah ke bunuh diri, ini depresi mayor (Major Depressive Disorder atau MDD). Walaupun belum pernah melakukan tindakan percobaan bunuh diri, tapi sudah mengarah ke bunuh diri dan sudah masuk ke mayor kata psikiater," katanya.

Kondisi Berangsur Membaik

Ilustrasi
Ilustrasi kesehatan mental. (dok. Unsplash.com/@priscilladupreez)

Sejak pergi ke profesional pada awal 2018, Karla mengalami banyak perubahan baik dari pengobatannya. Ia juga telah lepas dari mengonsumsi obat sejak Mei 2021.

"Setelah lepas obat, kalau kata psikiater penyebab depresi mayor belum diketahui. Kalau mau tahu, harus terapi lagi dan dari BPJS enggak bisa. Harus ke psikiater yang bayar, jadi belum tahu," tuturnya.

Karla menambahkan, "Tapi kemungkinan ada dua. Pertama, kemungkinan trauma masa kecil entah itu kekerasan, perundungan, kemiskinan, kesulitan belajar di sekolah dan itu bisa saja mengalami hampir semua dan enggak terlalu parah, tapi enggak dibereskan sehingga numpuk-numpuk jadi parah."

"Kemungkinan kedua, secara klinis, artinya di otak ada hormon serotonin (hormon kebahagiaan). Masing-masing orang punya kadar yang berbeda, ada yang normal dan kurang. Dengan aku dikasih serotonin reuptake SSRI (Selective serotonin reuptake inhibitors) buat ningkatin hormon serotonin supaya enggak terlalu sedih, dengan pakai itu ternyata membantu kata psikiater. Ada indikasi kalau memang serotonin aku yang rendah, tapi itu belum bisa dipastikan karena harus tes dulu," jelasnya.

Perjuangan Beradaptasi

Ilustrasi kerja keras, belajar
Ilustrasi menulis. (Photo by bruce mars on Unsplash)

Karla mengakui menyesuaikan diri akan kondisinya yang berjuang dengan gangguan kesehatan mental bukan hal yang mudah. Ia juga mendapat motivasi untuk bisa sembuh dari psikiater yang menanganinya.

"Bukan hanya datang psikiater dan minum obat, kita juga harus ada kemauan untuk sembuh. Psikiaterku bilang 'ayo sama-sama, aku enggak bisa bantu kamu sendiri, kamu harus punya motivasi untuk sembuh'" ungkap Karla.

Selain konsultasi dan minum obat, Karla juga menjalani metode pengobatan dengan menulis jurnal dan olahraga. "Nulis jurnal mengungkapkan perasaan aja enggak bisa. Dalam tulisan, effort-nya lumayan," tambahnya.

Karla menjelaskan, "Lalu gimana caranya tetap termotivasi sehari-hari untuk kerja, ngobrol sama orang, mandi itu susah, makan, dan jalan. Itu bukan malas, tapi enggak ada motivasi dan melawan rasa itu susah juga. Di bulan pertama khususnya, effort-nya lumayan."

Infografis Ciri-Ciri Orang Miliki Gangguan Kesehatan Mental

Infografis Ciri-Ciri Orang Miliki Gangguan Kesehatan Mental
Infografis Ciri-Ciri Orang Miliki Gangguan Kesehatan Mental. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya