Liputan6.com, Jakarta - Permasalahan sampah masih menjadi tantangan di berbagai belahan dunia. Tingkat daur ulang plastik menurun bahkan ketika produksi meningkat, menurut laporan Greenpeace USA pada Senin, 24 Oktober 2022. Organisasi itu mengkritik klaim industri untuk menciptakan ekonomi sirkular yang efisien sebagai "fiksi."
Dikutip dari AFP, Rabu (26/10/2022), studi yang bertajuk "Circular Claims Fall Flat Again," itu menemukan bahwa dari 51 juta ton sampah plastik dihasilkan oleh rumah tangga AS pada 2021. Dari angka tersebut, hanya 2,4 juta ton yang didaur ulang atau sekitar lima persen.
Advertisement
Baca Juga
Setelah mencapai puncaknya pada 2014 sebesar 10 persen, trennya terus menurun, terutama sejak China berhenti menerima sampah plastik Barat pada 2018. Sebaliknya, virgin production dari plastik non-daur ulang meningkat pesat seiring dengan berkembangnya industri petrokimia, yang menurunkan biaya.
"Kelompok industri dan perusahaan besar telah mendorong daur ulang sebagai solusi," kata juru kampanye Greenpeace USA Lisa Ramsden kepada AFP.
"Dengan melakukan itu, mereka telah melalaikan semua tanggung jawab untuk memastikan bahwa daur ulang benar-benar berfungsi," tambahnya.
Ia menyebut Coca-Cola, PepsiCo, Unilever, dan Nestle sebagai pelaku utama. Menurut survei Greenpeace USA, hanya dua jenis plastik yang diterima secara luas di 375 fasilitas pemulihan material di negara itu.
Yang pertama adalah polyethylene terephthalate (PET), yang biasa digunakan dalam botol air dan soda. Kedua, adalah polietilen densitas tinggi (HDPE), yang banyak digunakan untuk botol susu, botol sampo, dan wadah produk pembersih.
Jenis Plastik
Jenis plastik itu diberi nomor "1" dan "2" menurut sistem standar di mana ada tujuh jenis plastik. Meski secara teori dapat didaur ulang, tidak berarti produk didaur ulang dalam praktiknya.
Laporan tersebut menemukan bahwa produk PET dan HDPE memiliki tingkat pemrosesan ulang aktual masing-masing sebesar 20,9 persen dan 10,3 persen. Angka tersebut sedikit turun dari survei terakhir Greenpeace USA pada 2020.
Jenis plastik "3" hingga "7", termasuk mainan anak-anak, kantong plastik, pembungkus produk, wadah yogurt dan margarin, cangkir kopi dan wadah makanan, diproses ulang dengan kecepatan kurang dari lima persen. Meskipun sering membawa simbol daur ulang pada labelnya, produk yang menggunakan plastik jenis "3" hingga "7" gagal memenuhi klasifikasi untuk dapat didaur ulang oleh Federal Trade Commission.
Ini karena fasilitas daur ulang untuk jenis ini tidak tersedia untuk "mayoritas substansial" dari populasi, yang didefinisikan sebagai 60 persen, karena produk yang dikumpulkan tidak digunakan dalam pembuatan atau perakitan barang baru. Menurut laporan tersebut, ada lima alasan utama mengapa daur ulang plastik adalah "konsep yang gagal."
Advertisement
Jumlah Besar
Pertama, sampah plastik dihasilkan dalam jumlah besar dan sangat sulit untuk dikumpulkan. Hal itu diperjelas dalam laporan yang disebut sebagai "aksi pembersihan sukarela" yang tidak efektif yang didanai oleh organisasi nirlaba seperti "Keep America Beautiful."
Kedua, bahkan jika semuanya dikumpulkan, sampah plastik campuran tidak dapat didaur ulang bersama, dan "secara fungsional tidak mungkin untuk memilah triliunan keping sampah plastik konsumen yang dihasilkan setiap tahun," kata laporan itu.
Ketiga, proses daur ulang itu berbahaya bagi lingkungan, membuat pekerja terpapar bahan kimia beracun, dan menghasilkan mikroplastik. Keempat, plastik daur ulang membawa risiko toksisitas melalui kontaminasi dengan jenis plastik lain di tempat sampah, mencegahnya menjadi bahan food grade lagi. Kelima dan terakhir, proses daur ulang sangat mahal.
"Plastik baru secara langsung bersaing dengan plastik daur ulang, dan jauh lebih murah untuk diproduksi dan berkualitas lebih tinggi," demikian bunyi laporan itu.
Cara Berbagai Negara
Ramsden meminta perusahaan untuk mendukung Global Plastics Treaty yang disetujui oleh anggota PBB untuk dibuat pada Februari, dan bergerak ke arah strategi isi ulang dan penggunaan kembali. "Ini sebenarnya bukan konsep baru -- seperti dulu tukang susu dulu, begitu dulu Coca-Cola menyajikan minumannya kepada orang-orang. Mereka akan meminum minuman mereka, mengembalikan botol kacanya, dan itu akan disanitasi dan digunakan kembali," ujarnya.
Beberapa negara memimpin, termasuk India, yang baru-baru ini melarang 19 barang plastik sekali pakai. Austria telah menetapkan target penggunaan kembali 25 persen pada 2025 dan setidaknya 30 persen pada 2030 untuk kemasan minuman. Portugal juga telah menetapkan target pengurangan 30 persen pada 2030. Chile bergerak untuk menghapus peralatan makan sekali pakai dan mewajibkan botol isi ulang.
Situasi berbeda terjadi di Korea Selatan. Para pemilik mini market meradang atas keputusan pemerintah setempat melarang penjualan kantong plastik pada 24 November 2022. Larangan tersebut ditentang para pemilik mini market dengan alasan langkah itu dapat merugikan bisnis mereka, menurut pejabat industri pada Minggu, 23 Oktober 2022. Toko hanya dapat menjual kantong kertas atau kantong sampah plastik standar yang disetujui oleh Kementerian Lingkungan Hidup Korea Selatan.
Menurut kementerian, penjualan kantong plastik sekali pakai di toko ritel berukuran lebih dari 33 meter persegi tidak akan diizinkan. Hingga 2020, ada 38.718 mini market yang lebih besar dari ukuran tunduk pada penegakan hukum, yaitu 84 persen dari keseluruhan toko di negara ini.
Mereka yang menjual atau menyediakan kantong plastik akan didenda hingga 3 juta won atau setara Rp32,4 juta. Kekhawatiran terbesar bagi pemilik mini market adalah pertengkaran yang harus mereka lalui dengan pelanggan atas peraturan baru tersebut.
Advertisement