Mengenal STOVIA, Kampus Calon Dokter dan Para Pencetus Sumpah Pemuda

Lahirnya Sumpah Pemuda tak lepas dari jasa para pemuda , tak hanya yang tergabung dalam berbagai organisasi tapi juga para mahasiswa dari STOVIA.

oleh Henry diperbarui 28 Okt 2022, 03:44 WIB
Diterbitkan 28 Okt 2022, 03:02 WIB
Belajar Sejarah di Museum Kebangkitan Nasional
Pelajar mengamati diorama saat mengunjungi Museum Kebangkitan Nasional (ex Stovia) di Jakarta, Rabu (20/5/2015). Dr. Soetomo beserta Dr. Wahidin Soedirohusodo merupakan pendiri Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Hari ini, Jumat, 28 Oktober 2022, Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-94 tahun. Isi Sumpah Pemuda dan maknanya sangat penting dipahami oleh setiap orang Indonesia, tidak hanya pemuda.

Pasalnya, Sumpah Pemuda adalah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Sumpah Pemuda membangkitkan semangat rakyat Indonesia, terurama para anak muda untuk menegaskan kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu, makna Sumpah Pemuda tentunya sangat penting untuk selalu ditanamkan dalam jiwa.

Lahirnya Sumpah Pemuda tak lepas dari jasa para pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi dan perkumpulan. Selain itu peran STOVIA juga tak kalah penting. STOVIA sering juga disebut sebagai kampus perjuangan.

Melansir kanal Health Liputan6.com, STOVIA adalah singkatan dari School tot Opleiding van Indische Artsen atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera. STOVIA adalah kampus yang mencetak tokoh-tokoh pergerakan Indonesia, seperti Dr Sutomo, Tjipto Mangunkusomo, dan Wahidin Sudirohusodo. STOVIA juga merupakan cikal bakal Fakultas Kedoketeran Universitas Indonesia.

Dalam perkembangannya, STOVIA yang berdiri padsa 1898 menjadi lembaga yang mendidik dokter-dokter Bumiputera (inlandsch arts) dan bukan hanya dokter Jawa. Sekolah ini mulai membuka kesempatan bagi siapa saja tanpa memandang keturunan. Walau memang, untuk bersekolah di sini dibutuhkan biaya sendiri.

Untuk masuk ke STOVIA pun siswanya harus melalui ujian yang ketat.  Tahun 1903, terjadi perubahan dalam sistem penerimaan siswa baru STOVIA. Mereka mulai menerima siswa dari sekolah pribumi (sebelumnya hanya menerima siswa tamatan sekolah Belanda).

STOVIA juga kemudian membebaskan siswa-siswanya dari kewajiban membayar. Bahkan, mahasiswanya mendapat alat-alat kuliah dan seragam gratis. Siswa-siswa STOVIA juga menerima uang saku sebesar 15 gulden per bulan.

STOVIA sempat dianggap sebagai sekolah untuk orang miskin. Para putra-putra priayi kalangan tinggi tidak ingin masuk ke sekolah tersebut. Masuk STOVIA bukan hal mudah, mereka harus melewati ujian yang sulit dan ketat. Mahasiswanya juga wajib belajar sangat keras.

Sahabat Bung Hatta

Lebih Dekat dengan STOVIA, Tempat Belajar Calon Dokter Indonesia
Hari Kebangkitan Nasional semestinya bukan hanya dirayakan seremonial semata.

Inilah yang kemudian membuat banyak mahasiswa STOVIA berasal dari keluarga-keluarga kurang mampu. Namun justru, anak-anak dari kalangan miskin inilah muncul tokoh-tokoh Indonesia yang militan, baik sebagai dokter maupun sebagai pejuang.

Salah satu faktor yang mendorong munculnya para pejuang yang nantinya menjadi tokoh nasional Indonesia itu adalah lokasi STOVIA itu sendiri .STOVIA berada di Weltevreder, pusat Kota Batavia, yang juga pusat kegiatan politik, ekonomi, dan kebudayaan. Tempat ini juga menjadi tempat berkumpulnya kaum intelektual untuk berinteraksi dan bertukar pikiran.

Tokoh pemuda lainnya yang lahir dari STOVIA adalah Bahder Djohan yang berasal dari Lubuk Begalung, Padang, Sumatera Barat. Bahder Djohan menapaki jenjang pendidikan dokter di STOVIA pada 1919, setahun menjelang perpindahan aktivitas belajar ke Salemba (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia).

Tak hanya sibuk bergelut dengan buku, salah seorang sahabat Bung Hatta in juga turut aktif dalam arus pergerakan nasional pada awal abad ke-20. Bahder bergabung dengan organisasi Jong Sumatranen Bond (JSB) semenjak bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)—jenjang pendidikan setingkat sekolah menengah pertama.

Melansir laman resmi Museum Sumpah Pemuda, Bahder didapuk menjadi sekretaris JSB cabang Padang pada 1918. Dua tahun berselang, karier organisasi Bahder Djohan meningkat pesat. Ia terpilih sebagai sekretaris utama Jong Sumatranen Bond. Puncaknya, Bahder Djohan dipilih menjadi Ketua pada 1926.

Kongres Pemuda

STOVIA
STOVIA. foto: santijehannanda

Dalam Kongres Pemuda Pertama yang digelar pada 30 April-2 Mei 1926 di Gedung Vrijmetselaarsloge (Gedung Kimia Farma) diikuti oleh pelbagai organisasi, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Sekar Roekoen, Jong Bataks Bond, Pemuda Minahasa, dan Jong Islamieten Bond. Bahder hadir sebagai salah satu perwakilan Jong Sumatranen Bond yang didapuk sebagai panitia kongres.

Kongres Pemuda I dapat dikatakan memberikan dasar penting pada lahirnya konsep “Ikrar Pemuda” yang akhirnya dideklarasikan sebagai “Sumpah Pemuda” pada Kongres Pemuda II di Jakarta, 28 Oktober 1928.  Sementara itu, pada 1927, STOVIA berganti namanya menjadi Geneeskundige Hooge School (GHS).

Perubahan nama ini juga disertai dengan perubahan syarat masuk GHS yang semula adalah setingkat sekolah dasar (SD) sekarang harus memiliki gelar setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) yang disebut Algemene Middelbare School untuk masuk kedalam sekolah pendidikan dokter ini. Sayangnya, pada akhir 1941, Stovia ditutup karena Perang Dunia ke II. Indonesia kala itu tunduk pada tentara Jepang.

Selang enam bulan, seorang mahasiswa kedokteran NIAS yang bernama Soejono Martosewojo bersama Dr. Abdul Rasjid mengajukan proposal kepada Prof. Ogira Eiseibucho yang menjadi Kepala Kantor Kesehatan Pemerintah Militer Jepang untuk membuka kembali sekolah pendidikan dokter di Indonesia. Pendidikan kedokteran di Indonesia dimulai lagi dengan diresmikannya sekolah Ika Daigaku pada 29 April 1943.

Fakultas Kedokteran UI

Menelusuri Saksi Bisu Pengucapan Sumpah Pemuda pada 1928 di Kramat Raya 106
Diorama suasana Kongres Pemuda II yang seakan-akan pengunjung turut hadir dalam kongres tersebut. (dok. Liputan6.com/Gabriella Ajeng)

Pada Februari 1947, Belanda yang kembali menginvasi Indonesia melangsungkan kegiatan pendidikan kedokteran dengan memakai nama Genesskundige Faculteit, Nood-Universiteit van Indonesie. Tercatat pada 2 Februari 1950, kedua institusi itu melebur menjadi satu.Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia dan Geneeskundige Faculteit Nood-Universiteit van Indonesie, berubah nama menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Penyatuan tersebut turut dipelopori penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia. Pada masa itu, terdapat 28 jenis mata pelajaran dan bagian di FKUI, dengan jumlah mahasiswa sebanyak 288 orang dan masih terdapat beberapa orang dosen Belanda.

Sebagian besar mata pelajaran juga masih diberikan dalam bahasa Belanda. Sarana pendidikan yang ada meliputi Kompleks Salemba 6, Kompleks Pegangsaan Timur 16, Rumah Sakit Umum Pusat dan Rumah Sakit Raden Saleh.

Keberadaan STOVIA memang tidak lepas dari perkembangan nasionalisme di Indonesia. Disamping kemampuan individu para pelajar STOVIA, para pelajarnya ini mampu menyatukan pelajarnya dari berbagai suku bangsa di Indonesia.

Selain itu, keberadaannya di pusat kota menjadikan sekolah ini menjadi tempat persemaian nasionalisme yang bagus bagi para pelajarnya. Salah satunya adalah menjadi pelopor lahirnya Sumpah Pemuda yang masih terus diperingati sampai saat ini.

Infografis Rektor Asing di Kampus Negeri, Biar Apa?
Infografis Rektor Asing di Kampus Negeri, Biar Apa? (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya