Tanpa Motivasi dan Jadi Pengangguran, Anak Muda Korea Selatan Justru Semakin Dikucilkan

Anak muda Korea Selatan yang penganguran atau tidak tahu apa yang ingin dilakukan seringkali dikucilkan dari dukungan kebijakan.

oleh Geiska Vatikan diperbarui 16 Feb 2023, 21:00 WIB
Diterbitkan 16 Feb 2023, 21:00 WIB
Ilustrasi pengangguran (pexels)
Ilustrasi pengangguran (pexels)

Liputan6.com, Jakarta - Sekitar 4,5 persen anak muda Seoul atau sejumlah 129.000 hidup dalam isolasi pengasingan dari masyarakat, menurut data Pemerintah Metropolitan Seoul, Korea Selatan. Jumlahnya diperkirakan mencapai 610.000 jika diterapkan secara nasional.

Melansir dari Korea Times, Kamis (16/02/2023), pemerintah Korea Selatan pada saat ini hanya berfokus pada orang-orang yang memiliki motivasi tinggi dalam mendapatkan posisi pekerjaan. Sementara, anak muda lainnya yang tidak memiliki keinginan untuk bekerja sehingga jadi pengangguran atau tidak tahu apa yang ingin mereka lakukan seringkali dikucilkan dari dukungan kebijakan.

Woongbi adalah salah satu anak muda yang tidak bisa berhenti untuk mengkhawatirkan masa depan, bahkan ketika dia menerima konseling dan perawatan psikologis. Dia menyebut tidak dapat beristirahat sepenuhnya karena memikirkan masa depan.

Sebelumnya, di umur yang mendekati kepala tiga itu dia sempat menempuh pendidikan pascasarjana tetapi mengundurkan diri setelah dua bulan. "Saya bahkan mencoba melakukannya pekerjaan paruh waktu yang sederhana, tetapi saya berhenti lagi setelah 10 hari karena saya tidak dapat mengatasi fobia sosial dan serangan panik saya," jelasnya.

Dia menjadi salah satu bukti dampak ketika melepaskan diri dari norma sosial yang ada, sehingga dia memiliki banyak rintangan. "Jika Anda menganggur, Anda tidak memiliki landasan untuk berpijak. Anda khawatir tentang bagaimana orang lain memandang Anda saat menderita secara finansial. Beban psikologis juga meningkat. Akibatnya, Anda merasa lebih terisolasi dan dikucilkan lingkungan," katanya.

Dikucilkan Masyarakat

20160223-Ilustrasi-Pengganguran-iStockphoto
Ilustrasi Tidak Bekerja atau Pengangguran (iStockPhoto)

Jeon Seong shin, perwakilan NEET People, yaitu startup nirlaba menyebutkan bahwa masyarakat Korea gagal merangkul orang-orang yang melepaskan diri dari norma-norma sosial, terutama dalam hal karier dan pendidikan. Jeon menambahkan ketika melewatkan satu langkah dan menyimpang dari perjalanan pendidikan tersebut, seseorang akan segera menghadapi rintangan.

Biasanya lingkungan masyarakat Korea tidak terlalu murah hati kepada seseorang yang mencoba memilih "jalannya" sendiri. "(Misalnya) mempertimbangkan remaja yang ingin meninggalkan sekolah dan mempertimbangkan orang yang memilih bekerja dan keluar dari universitas. Pilihan tersebut memberikan efek yang lebih besar dari apa yang mereka harapkan sebelumnya," kata Jeon.

Terkait hal ini, perwakilan NEET People lainnya, Park Eun Mi menyebut bahwa kebijakan pemerintah seharusnya lebih beragam untuk merangkul anak muda yang masih menjadi pengangguran. Misalnya, menerima pelatihan kejuruan di level tiga. "Kebijakannya juga harus fokus pada orang yang di level satu atau dua agar bisa naik ke level tiga," katanya.

Startup NEET

Bekerja sama dengan guru
Ilustrasi guru konseling di sekolah. (Sumber foto: Pexels.com).

Untuk menangani hal ini, ada sebuah startup nirlaba di Korea Selatan, yaitu NEET. NEET merupakan singkatan dari Not in Education, Employment, or Training yang bertujuan membantu kaum muda yang menganggur menghadapi situasi mereka dengan cara yang sehat.

Park menyebut bahwa anak muda dapat mengikuti kegiatan ini juga karena beberapa peserta yang memiliki pengalaman kerja yang buruk akan mengalami frustasi. "Pengalaman frustasi tersebut membuat anak muda tidak hanya mengalami kesulitan psikologis seperti gangguan panik atau depresi, tetapi juga penyakit fisik. Karena tidak sehat, mereka kehilangan vitalitas dan akhirnya sendirian," tuturnya.

Park mengatakan bahwa kaum muda yang menganggur juga ingin berhenti merasa lelah dan ingin memiliki pekerjaan. Woongbi juga bergabung dengan NEET, alasannya adalah karena mereka bersama menjaga, mendukung, dan menghibur sehingga bisa merasa lebih nyaman dan meningkatkan kepercayaan diri.

"Fakta bahwa para pengangguran ada di sini bersama, menjaga dan mendukung satu sama lain menghibur saya. Saya bukan satu-satunya yang berjuang dengan rasa malu menjadi pengangguran," pungkas Woongbi.

Merangkul

[Fimela] Depresi
Ilustrasi Depresi | unsplash.com/@anthonytran

NEET juga memiliki program yang belakangan ini baru berlangsung, yaitu NEET Walking Day. Program ini mengajak para anak muda pengangguran untuk berjalan-jalan dan membuat koneksi dengan peserta lain. Peserta datang dari seluruh negeri untuk acara tersebut, salah satunya adalah peserta yang berasal dari barat daya Kota Gwangju rela menginap untuk mengikuti acara tersebut.

Sementara, beberapa lainnya menempuh perjalanan menggunakan bus selama berjam-jam. Meski asing, para peserta berkumpul bersama dengan satu harapan, yaitu keluar dari kamar mereka dan terhubung dengan yang lain.

"Jika Anda merasa sedih di rumah karena pengangguran, mengapa Anda tidak keluar, berjalan-jalan, bersantai dan menikmati pemandangan yang indah?" kata salah satu perwakilan kepada The Korea Times.

Salah satu peserta mengatakan bahwa walau ada perasaan canggung di awal pertemuan tapi akan hilang ketika mulai berjalan. "Ketika saya tiba di sini, saya merasa canggung karena tidak ada orang yang saya kenal, tapi itu bagus karena orang lain berbicara dengan saya lebih dulu," jelasnya. Dia juga merasa pihak NEET merangkul semua peserta sehingga dapat saling berbagi pengalaman dan merasa terikat satu sama lain.

Infografis 6 Pasal Sorotan UU Cipta Kerja
Infografis 6 Pasal Sorotan UU Cipta Kerja (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya