Liputan6.com, Jakarta - Adalah Moonlight, merek cookies populer di Jepang yang siap memasarkan "produk tidak sempurna" mereka. Produsennya, Morinaga, memutuskan demikian untuk tidak menambah volume sampah makanan yang kian mengkhawatirkan.
Melansir Japan Today, Kamis, 29 Juni 2023, mulai Rabu, 28 Juni 2023, mereka mulai menjual Imperfect Moonlight (Wakeari Moonlight). Kue Moonlight berasal dari tahun 1960, menggunakan ramuan bahan sangat sederhana dengan dominan rasa telur yang manis nan ringan. Nama mereka merepresentasi bentuknya yang seperti bulan kecil.
Baca Juga
Versi barunya, Imperfect Moonlight, adalah kue-kue yang telah mengalami keretakan, terkelupas, pecah, atau masih ada tepung tambahan yang menempel di dalamnya dari proses pembuatan. Semua hal ini dijamin "tidak berpengaruh pada rasa kue."
Advertisement
Produk kue Moonlight ini akan diberi label "Imperfect," dan bagi mereka yang tidak memperhatikan atau tidak dapat membacanya, boksnya menampilkan gambar biskuit rusak di samping cookies yang masih utuh. Ini menunjukkan bahwa pembeli akan dapatkan campuran kualitas cookie.
Morinaga mengatakan, lini baru kue Moonlight adalah bagian dari tujuan mereka mengurangi limbah makanan hingga 70 persen. Selain menjual cookies yang rusak, mereka juga mengaku mencoba menggunakan sumber daya makanan dengan lebih efisien dan mempromosikan daur ulang.
Perusahaan tidak menentukan harga eceran yang disarankan untuk cookies ini, menyerahkannya ke masing-masing toko. Berat kemasannya adalah 336 gram, dan karena satu kue Moonlight beratnya sekitar delapan gram, satu bungkus Imperfect Moonlight dapat berisi sekitar 40 kue, jauh lebih banyak daripada 14 kue yang dimiliki kotak biasa.
Jadi, alih-alih menurunkan harga, mungkin nilainya akan berupa mendongkrak jumlah cookies.
Limbah Pangan Global
Mengutip World Economic Forum, tercatat bahwa sekitar sepertiga dari semua makanan yang diproduksi hilang atau terbuang setiap tahun, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Karenanya, salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan PBB adalah mengurangi separuh limbah pangan global.
Juga, mengurangi kehilangan pangan dalam produksi dan pasokan pada 2030. Sebuah studi menilai emisi kehilangan dan pemborosan makanan di setiap rantai pasokan, mulai dari saat makanan dipanen hingga berakhir di TPA atau kompos.
Ditemukan bahwa pada 2017, limbah makanan global menghasilkan 9,3 miliar ton emisi, kira-kira sama dengan total emisi gabungan Amerika Serikat dan Uni Eropa di tahun yang sama. Bersamaan dengan emisi karbon, ini terjadi saat lebih dari 800 juta orang terdampak kelaparan pada 2021, menurut PBB.
Studi baru, yang diterbitkan di Nature Food, mengeksplorasi sejumlah cara di mana emisi dari limbah makanan dapat dikurangi, seperti mengurangi separuh konsumsi daging dan pengomposan daripada membuang sampah makanan.
Advertisement
Apa Saja yang Berperan dalam Tingkat Emisi Limbah Makanan di Seluruh Dunia?
Sistem pangan global mengeluarkan sekitar sepertiga dari total emisi gas rumah kaca tahunan. Limbah makanan menyebabkan sekitar setengah dari emisi ini, kata studi baru tersebut. Lokasi, perbedaan sosial ekonomi, dan faktor lain berperan dalam tingkat emisi limbah makanan di seluruh dunia.
Negara-negara maju, misalnya, umumnya memiliki teknologi lebih maju dan lebih ramah lingkungan yang dapat menghasilkan emisi pengelolaan limbah lebih rendah, kata studi tersebut.
Prof Ke Yin, seorang profesor di Universitas Kehutanan Nanjing di China dan salah satu penulis korespondensi dalam penelitian tersebut, mengatakan bahwa timnya berharap temuan mereka akan membuat orang sadar akan "sejumlah besar" emisi limbah makanan.
Ia mengatakan pada Carbon Brief, "Beberapa negara telah melakukan upaya mencegah pemborosan makanan, seperti pendidikan publik dan kebijakan pemerintah. Beberapa contohnya adalah pemilahan sampah di Jepang, Jerman, dan, baru-baru ini, China."
"Namun, banyak negara menghabiskan sedikit, bahkan tidak ada upaya (memerangi masalah) karena berbagai alasan, seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, dan ketidakstabilan politik," imbuhnya.
Negara-negara berkembang, khususnya, menghadapi masalah menghindari sampah makanan setelah panen. Jika produsen, terutama yang berada di iklim lebih hangat, tidak memiliki akses ke lemari es, makanan tersebut dapat rusak dalam perjalanannya ke konsumen.
Studi ini menggunakan data persediaan makanan dari FAO yang mencakup 164 negara dan wilayah antara tahun 2001 dan 2017.
Cegah Sesuai Konteks Lokal
Penelitian ini mengkaji kehilangan dan pemborosan 54 komoditas makanan berbeda dalam empat kategori berbeda: sereal dan kacang-kacangan; daging dan produk hewani; umbi-umbian dan tanaman minyak; serta buah-buahan dan sayuran.
Studi ini menilai emisi limbah dari berbagai aktivitas rantai pasokan dan proses pengelolaan limbah, menggunakan pendekatan "cradle-to-grave." Ini memeriksa emisi dari kehilangan makanan dan limbah yang dihasilkan selama sembilan langkah berbeda setelah makanan dipanen dan berjalan di sepanjang rantai pasokan.
Tahapan pasokan ini adalah panen, produsen, penyimpanan, pengangkutan, perdagangan, pemrosesan, grosir, eceran, dan penggunaan konsumen. Para peneliti juga menilai emisi yang dihasilkan dari makanan yang berakhir di TPA, memeriksa bagaimana kehilangan makanan dan emisi limbah bervariasi tergantung pada negara, wilayah, dan jenis makanan.
Pendapatan, kapasitas teknologi, dan pola diet semuanya memengaruhi tingkat emisi di masing-masing negara dan wilayah regional. Studi ini menemukan bahwa, jika digabungkan, China, India, AS, dan Brasil menghasilkan lebih dari 44 persen emisi terkait pasokan global dari limbah makanan dan 38 persen emisi terkait pengelolaan limbah global.
Para peneliti mengatakan temuan mereka dapat membantu para pembuat keputusan menyesuaikan intervensi yang berbeda pada kehilangan dan pemborosan makanan untuk konteks lokal.
Advertisement