Hutan Mangrove Pembawa Berkah Warga Desa Wisata Budo Minahasa Utara

Menghidupkan hutan mangrove membawa berkah bagi warga Desa Wisata Budo. Tidak hanya melindungi desa dari abrasi, mangrove juga menghidupkan sektor pariwisata.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 19 Agu 2023, 16:06 WIB
Diterbitkan 19 Agu 2023, 15:15 WIB
Pesona Desa Wisata Budo Minahasa Utara Tak Sekadar Hutan Mangrove
Kawasan mangrove di Desa Wisata Budo. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Liputan6.com, Jakarta - Seiring bergeliatnya sektor pariwisata, desa wisata pun makin bermunculan. Salah satu yang layak dikunjungi adalah Desa Wisata Budo yang berlokasi di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara.

Daya tarik utamanya hutan mangrove yang mulai dirimbunkan sejak sekitar 20 tahun lalu. Ketua Pokdarwis Desa Budo Veki Singa menyebut luasan hutan mangrove itu kini mencapai 33 hektare dengan sekitar sembilan jenis pohon ditanam, termasuk bakau.

"Di sini sebenarnya ekosistemnya lengkap, ada mangrove, padang lamun, dan karang. Ikan-ikan bertelur di padang lamun, kemudian setelah menetas mereka bersembunyi di kawasan mangrove untuk menghindari dari predator hingga besar," tutur Rio Sahima, admin Desa Budo saat ditemui di sela kunjungan FamTrip Manado-Likupang bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Kamis, 10 Agustus 2023.

Sebelum itu, pesisir mereka hanya dijadikan tambatan perahu saja dengan kondisi hutan mangrove yang tak sehijau sekarang. Menurut Hukum Tua Lisbet Lintogareng, reboisasi kawasan mangrove digarap sekitar 20 tahun lalu. Saat ini, luas kawasan mangrove mencapai 33 hektare dengan sembilan jenis tanaman utama.

Keberadaannya mulai dimanfaatkan untuk menarik wisatawan sejak 2019. Sektor itu memperluas lapangan kerja warga setempat yang mayoritas berprofesi sebagai petani, dengan sebagian kecil sebagai nelayan.

"Penduduk di sini hampir 1.000 orang," kata Veki.

Secara swadaya, warga Desa Budo membangun sejumlah fasilitas untuk melayani wisatawan lebih baik. Jembatan kayu dan sejumlah latar untuk foto panoramik, misalnya. Menurut Veki, pemandangan matahari terbenam dari desanya adalah yang terbaik, meski saat saya ke sana, awan tebal menghalangi matahari yang akan turun ke peraduan.

"Tamu mulai muncul jam 4 sore sampai jam 10 malam. Dia buru sunset, tunggu sampai malam, lampunya bagus-bagus," ucapnya.

 

Mulai Naik Daun Saat Pandemi Covid-19

Pesona Desa Wisata Budo Minahasa Utara Tak Sekadar Hutan Mangrove
Kawasan mangrove di Desa Wisata Budo. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Perlahan-lahan, Desa Wisata Budo makin tenar. Titik naiknya terjadi saat awal pandemi Covid-19, pada 2020 lalu. Veki mengungkapkan orang-orang saat itu banyak mencari tempat wisata luar ruang yang tetap buka di masa pembatasan pergerakan.

"Yang masuk 1.500 orang. Depe (kita) besok ditegur. Kita disuruh tutup. Berawal dari situ, kita viral," ucapnya.

Setelah jalan hampir dua tahun, kunjungan wisatawan ke tempat itu terbilang stabil. Pada hari biasa, jumlah tamu yang datang bisa mencapai 100 orang, tetapi di akhir pekan jumlahnya bisa mencapai 500--600 orang. Pengelola menggunakan sistem pemesanan tiket online untuk mengontrol keramaian di tempat itu.

"Harga tiketnya Rp10 ribu per orang. Kita juga sediakan paket Rp60 ribu, termasuk tiket masuk dan makan. Ada paket linglung yang sekalian lunch box, sengaja pakai nama unik supaya orang tertarik," imbuh Rio. Ohya, jangan sampai melewatkan mengudap olahan pisang di Desa Budo. Pisang goreng dan goroho yang dicolek ke berbagai sambal, khususnya sambal roa, lezatnya bikin ketagihan. 

Mayoritas tamu yang datang adalah warga lokal dari Sulawesi Utara. Mereka terkadang dikunjungi turis asing, seperti seorang turis Prancis yang sedang menginap di homestay setempat lebih dari seminggu.

"Di master plan ada 10 (homestay), tapi baru mau ada tiga. Harga promo untuk menginap Rp750 ribu per malam. Homestay bisa diisi sampai empat orang," kata Rio lagi.

Habitat Kuda Laut

Pesona Desa Wisata Budo Minahasa Utara Tak Sekadar Hutan Mangrove
Pisang goreng tepung sambal roa di Desa Wisata Budo. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Desa Wisata Budo ingin mengembangkan ekonomi hijau sekaligus ekonomi biru di satu tempat. Didukung oleh PLN, mereka sudah memiliki stasiun pengisian kapal listrik di satu titik. Mereka juga terus menggerakkan penanaman mangrove dengan melibatkan warga di luar desa.

Selain itu, mereka akan mulai membuka diving center bulan depan. Mereka percaya diri perairan mereka bisa menarik para penyelam karena keberadaan habitat kuda laut yang jarang ditemukan.

Mengutip laman Jadesta Kemenparekraf, Sabtu (19/8/2023), hewan laut yang bernama latin Hippocampus bergibanti itu memiliki ukuran kurang lebih 2 cm. Tidak semua taman laut memiliki spesies tersebut, tetapi pengunjung bisa melihatnya di dekat hutan mangrove Desa Budo, yakni spesies Bergibanti yang memiliki dua varian warna, abu-abu dengan tuberkel merah dan kuning dengan tuberkel oranye.

"Sekitar 80 meter dari sini," kata Rio seraya menunjuk ke satu arah.

Di masa promosi, pihaknya berencana akan membuka paket menyelam Rp500 ribuan yang sudah termasuk makan dan menyelam satu kali. Pihaknya menyiapkan peralatan dan pemandu sesuai standar keselamatan yang diakui internasional.

 

Karya Terampil Para Oma

Pesona Desa Wisata Budo Minahasa Utara Tak Sekadar Hutan Mangrove
Kerajinan tangan dari rumput ginto di Desa Wisata Budo. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Jika tak bisa menyelam, pengunjung bisa memilih alternatif mendaki Gunung Dapi-Dapi yang masih berada di desa wisata itu. Rio mengaku treking itu sejauh ini gratis, tetapi pengunjung diwajibkan menjaga kebersihan areal tersebut dengan membawa pulang sampah yang dihasilkan.

"Kita juga akan membuka beberapa warung di sekitar gunung agar warga bisa menjual hasil buminya. Kita ada mangga, pisang, kelapa," kata dia.

 

Selain hasil bumi, warga setempat juga merintis suvenir khas Desa Wisata Budo yang terbuat dari rumput liar yang biasa ditemukan di sekitar pohon kelapa. Warga setempat menyebutnya sebagai ginto. Rumput liar itu dianyam oleh para oma di desa itu dan dibentuk menjadi beragam bentuk. Ada yang dijadikan liontin, tatakan gelas, dan piring.

"Ada tas juga. Pak Ridwan Kamil pernah order," kata Rio.

Rombongan kami kebetulan mendapat kalung dengan liontin berbahan ginto yang dijual Rp50 ribu. Meski terbuat dari rumput, hasil jadinya ternyata cukup kuat. "Sebelum ada alat, alternatif angkut kelapa itu kita pakai keranjang anyam dari ginto. Bahasa di sini bika," imbuhnya. 

Dengan berkembangnya sektor pariwisata di Desa Wisata Budo, pengelola bisa memperoleh Rp50--60 juta sebulan. Anda tertarik datang ke desa ini? Akses paling mudah adalah menggunakan kendaraan pribadi, tetapi sebenarnya juga bisa menumpang angkutan umum.

"Dari Pasar 45 Manado, ada terminal, angkot yang langsung ke arah Budo. Tarifnya Rp20 ribu. Biasa sampai malam," ujar Rio.

Infografis 6 Desa Wisata yang Wajib Dikunjungi
Infografis 6 Desa Wisata yang Wajib Dikunjungi (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya