Liputan6.com, Jakarta - Perundungan atau bullying merupakan salah satu masalah yang umum terjadi pada anak-anak di usia sekolah. Permasalahan yang kembali marak ini perlu mendapat tanggapan secara serius, karena bisa berdampak besar bagi kesehatan mental dan perilaku anak, baik yang menjadi korban maupun pelaku.
Kebanyakan orangtua biasanya lebih berjaga-jaga agar anak-anak mereka tidak menjadi target bullying. Namun, tidak menyadari bahwa mengajarkan anak agar tidak melakukan tindak perundungan atau pelaku perundungan juga tidak kalah penting.
Baca Juga
Menurut psikolog klinis Dian Ibung., S.Psi., Psikolog, CMHA yang perlu dilakukan adalah penanaman kesadaran mengenai efek negatif bullying sejak dini. Efek negatifnya tidak saja menimpa korban tapi juga bagi pelaku. Untuk korban bullying bisa mendapatkan luka psikis yang panjang dan traumatis, bahkan depresi dan berujung kematian. Luka fisik juga berdampak negatif bagi kondisi fisik dan mental korban.
Advertisement
Sedangkan bagi pelaku, ada perasaan super power yang berlandaskan pada kepercayaan diri yang tidak tepat. "Pelaku bisa memiliki kepercayaan diri berlebihan dengan konsep diri yang tidak realistis. Mereka juga kurang atau tidak empati pada sesama dan kurang mampu mengembangkan atau mempertimbangkan suara hati," terang Dian Ibung pada Liputan6.com, Kamis, 29 Februari 2024.
Selain itu, orangtua juga disarankan untuk mengingatkan pentingnya berhati dan bersikap baik. Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan orangtua saat tahu anaknya menjadi pelaku bullying? Menurut Dian, tanyakan pada anak apa yang sebenarnya terjadi kemudian cek dan ricek dengan saksi-saksi mengenai kejadian tersebut.
Ajak anak bicara mengenai kejadian tersebut. Tanyakan alasan melakukan, bagaimana, dimana, kapan, apa yang terjadi, dan siapa saja yang ada di sana (korban dan saksi pelaku lain. "Tanyakan apa yang anak pikirkan sehingga melakukan hal tersebut dan apa yang mereka rasakan ketika melakulan hal tersebut. Sampaikan konsekuensi apa yang akan diterima anak sebagai pelaku dan apa akibatnya bagi korban," jelasnya.
Minta Maaf pada Korban
Katakan juga bahwa anak harus bertanggung jawab atas perbuatannya lalu minta maaf pada korban dan yang terdampak. "Anak juga harus paham dan siap menerima konsekuensinya. Mereka harus menyadari dan berjanji untuk tidak mengulanginya,” ucapnya.
Mengenai orangtua cenderung tetap membela anaknya meski sudah terbukti melakukannya, maka menurut Dian, orangtua tidak mendidik anak mengenai nilai yang benar dan salah. Jika terus dilakukan pada banyak hal yang terjadi, maka ini dapat membuat anak memiliki konsep diri yang tidak tepat, tidak realistis dan sulit diterima lingkungan. Dengan kondisi demikian, bukan tak mungkin orangtua pun akan sulit menangani anaknya kemudian.
Sementara menurut Yusar, sosiolog dan pengamat sosial, saat anak menjadi pelaku bullying, sebaiknya orangtua tidak melindungi anaknya secara berlebihan. Orangtua perlu memberikan hukuman kepada anaknya secara proporsional atas tindakannya sebagai pelaku bullying. Bisa juga diberikan pemahaman dikaitkan dengan nilai kepercayaan atau religi.
"Misalnya soal karma, jika kamu menyakiti orang lain, kelak akan ada orang yang menyakitimu.” Hal lain yang saya pikir penting juga untuk dilakukan adalah orangtua pelaku bullying perlu membangun hubungan yang baik dengan keluarga dan terutama dengan korban bullying," terang Yusar pada Liputan6.com, Kamis, 29 Februri 2024.
Orangtua pelaku bullying perlu memperlakukan korban perundungan sebagai anaknya sendiri, maksudnya untuk menunjukkan penghormatan pada orang lain sekaligus memperlihatkan perlindungan terhadap korban. Dengan demikian pelaku bullying akan mempertimbangkan situasi bahwa orangtuanya dekat dan melindungi si korban hingga ia tidak lagi berani mengulangi perbuatannya karena adanya “benteng perindungan” yang diberikan oleh orangtua si pelaku.
Advertisement
Pembelaan Berlebihan Terhadap Anak Pelaku Bullying
Mengenai orangtua yang membela anaknya yang melakukan bullying, menurut Yusar adalah hal yang biasa dan wajar. "Namun, kasih sayang orangtua tersebut sangat mungkin terekspresikan secara berlebihan, dalam hal ini pembelaan yang berlebihan orangtua pelaku bullying seolah memberi dukungan perbuatan anaknya,” tutur Yusar.
"Adanya pembelaan ini sangat mungkin membuat si pelaku bullying merasa punya “backingan” yang membuatnya semakin merasa kuat, mendapat perlindungan dan pembenaran atas perbuatannya. Karena hal tersebut, si pelaku bullying sangat mungkin untuk mengulangi perbuatannya atau bahkan menambah korbannya," lanjutnya.
Yusar menambahkan, pada kasus-kasus bullying yang pernah viral, si pelaku bullying nampak tidak menunjukan rasa bersalah atau menyesal. Hal itu terjadi karena ia merasa ada “backing” yakni orangtuanya sendirI yang tidak lain adalah orang terdekat si pelaku.
Hal senada juga dikatakan Satriawan Salim, Kordinator Nasional (Kornas) Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). Faktor pola asuh orangtua dan lingkungan sangat mempengaruhi seorang anak yang menjadi pelaku bullying.
Di era sekarang ini bisa dibilang anak jarang bertemu dengan orangtua karena kesibukan mereka masing-masing. Orangtua harus bekerja dan anak-anak setelah pulang sekolah jarang bisa bertemu orangtuanya yang sibuk bekerja.
Orangtua Sebaiknya Mendengarkan Keluh Kesah Anak
Situasi itu biasanya membuat anak lebih dekat dengan teman-temannya dan punya grup atau geng tertentu (peer group) atau lebih sering berkutat di media sosial. Pengaruh kurang baik dari teman satu geng atau media sosial bisa jadi faktor pemicu anak untuk melakukan perundungan.
Untuk itu, pola asuh dan peran orangtua sangat penting dalam mendidik anak. Meski tidak punya banyak waktu, orangtua sebaiknya mendengarkan keluh kesah anak dan berusaha untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang dialami anak-anak mereka.
Bila anak kita melakukan perundungan di sekolah misalnya, sebaiknya melakukan pengceka lebih dulu untuk memastikan kabar tersebut. “Bila memang anak kita terbukti melakukan bullying, sebaiknya jangan kita bela karena itu bertentangan dengan nila-nilai pendidikan dan akan berdampak kurang baik bagi anak di masa mendatang,” terang Satriawan Salim pada Liputan6.com, Jumat, 1 Maret 2024.
Satriawan juga menyarankan agar pihak sekolah membuat TPPK(Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan) yang bertugas menyelidiki kasus bullying di sekolah. Tim ini akan meastikan siapa yang jadi korban dan siapa saja yang menjadi pelakunya.
Advertisement
Komponen Penting dalam Mengawasi Kasus Bullying
"Sayangnya sekolah-sekolah di Indonesia banyak yang belum punya TPPK, padahal aturannya sudah ada yaitu Permendikbud nompr 46 Tahun 2923. Hal ini jiuga banyak belum diketahui pemerinah provinsi karena saat ini baru ada di delapan provinsi. TPPK. Tim ini bukan hanya terdiri dari guru dan masyarakat tapi juga harus ada unsur orangtua karena mereka yang lebih tahu bagaimana karakter dan kondisi anak-anaknya,” tutur Satriawan.
"Kita juga harus melundungi anak yang sebenarnya tidak melakkan bully tapi justru dituduh melakukan bullying. Mereka ini justru juga bisa jadi korban bully. Jadi harus dipastikan lebih dulu siapa saja yang melakukan bullying dan siapa yang jadi korban," sambungnya.
Ia menambahkan ada tiga komponen penting dalam mengawasi kasus bullying yaitu wali kelas, orangtua dan anak. Tiga unsur ini harus menjalin komunikasi yang baik karena bisa berperan besar dalam mencegah terjadinya perundungan.
"Kalau tidak terjadi komunikasi yang baik antar tiga unsur ini terutama antara orangtua dan pihak sekolah maka bisa timbul rasa saling curiga bila ada kasus seperti bullying dan anak kembali jadi korbannya. Tapi kalau terjadi komunikasi dan sinergi yang baik maka beragam persoalan seperti bullying bisa ditangani dengan lebih baik," pungkasnya.